Senin, 31 Desember 2012

Poligami Dalam Pandangan Syariah

  1.  Tuduhan Terhadap Islam
Para orientalis, pendeta agama masehi, kelompok sekuleris dan kalangan anti Islam pada hari ini sedang gencar mengkampanyekan gerakan anti poligami.
Kampanye mereka itu mulai dari yang bersifat sindiran, pernyataan sinis sampai kepada yang langsung mencaci maki, baik syariat Islam sebagai sebuah sistem hidup maupun pribadi Rasulullah SAW.
Kambing hitam yang selalu disudutkan tidak lain adalah syariat Islam. Menurut mereka, syariat Islam itu tidak sesuai dengan jiwa keadilan, mendorong laki-laki mengumbar syahwat, juga tidak berpihak kepada wanita yang selalu berada dalam posisi terzhalimi. Sampai-sampai dengan sengaja mereka membuat tayangan sinetron yang menggambarkan betapa hancurnya sebuah rumah tangga yang melakukan poligami.
Lebih jauh lagi, mereka juga menuduh bahwa Rasulullah SAW adalah budak nafsu, karena menikah dengan 12 orang wanita.. Sehingga mereka menuduh bahwa nabi itu kerjanya tukang kawin dan main perempuan. Nauzu billahi min zalik.
Dalam catatan sirah nabawiyah, Rasulullah SAW tercatat pernah menikahi 12 orang wanita.Yaitu :
  1. Khodijah binti Khuwailid RA, ia dinikahi oleh Rasulullah SAW di Mekkah ketika usia beliau 25 tahun dan Khodijah 40 tahun.
  2. Saudah binti Zam’ah RA, dinikahi oleh Rasulullah SAW pada bulan Syawwal tahun kesepuluh dari kenabian beberapa hari setelah wafatnya Khodijah. Ia adalah seorang janda yang ditinggal mati oleh suaminya yang bernama As-Sakron bin Amr.
  3. Aisyah binti Abu Bakar RA, dinikahi oleh Rasulullah SAW bulan Syawal tahun kesebelas dari kenabian.
  4. Hafsoh binti Umar bin Al-Khotob RA, beliau ditinggal mati oleh suaminya Khunais bin Hudzafah As-Sahmi, kemudian dinikahi oleh Rasulullah SAW pada tahun ketiga Hijriyah. Beliau menikahinya untuk menghormati bapaknya Umar bin Al-Khotob.
  5. Zainab binti Khuzaimah RA, dari Bani Hilal bin Amir bin Sho’sho’ah dan dikenal sebagai Ummul Masakin karena ia sangat menyayangi mereka. Sebelumnya ia bersuamikan Abdulloh bin Jahsy akan tetapi suaminya syahid di Uhud, kemudian Rasulullah SAW menikahinya pada tahun keempat Hijriyyah. Alasan beliau menikahinya adalah untuk menghormati Ummu Salamah dan memelihara anak-anak yatim tersebut.
  6.  Zainab binti Jahsyi bin Royab RA, dari Bani Asad bin Khuzaimah dan merupakan puteri bibi Rasulullah SAW. Sebelumnya ia menikah dengan Zaid bin Harits kemudian diceraikan oleh suaminya tersebut. Ia dinikahi oleh Rasulullah SAW di bulan Dzul Qo’dah tahun kelima dari Hijrah.
  7. Juwairiyah binti Al-Harits RA, pemimpin Bani Mustholiq dari Khuza’ah. Ia merupakan tawanan perang yang sahamnya dimiliki oleh Tsabit bin Qais bin Syimas, kemudian ditebus oleh Rasulullah SAW dan dinikahi oleh beliau pada bulan Sya’ban tahun ke 6 Hijrah. Alasan beliau menikahinya adalah untuk menghormatinya dan meraih simpati dari kabilahnya (karena ia adalah anak pemimpin kabilah tersebut) dan membebaskan tawanan perang.
  8. Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan RA, sebelumnya ia dinikahi oleh Ubaidillah bin Jahsy dan hijrah bersamanya ke Habsyah. Suaminya tersebut murtad dan menjadi nashroni dan meninggal di sana. Ummu Habibbah tetap istiqomah terhadap agamanya. Alasan yang paling kuat adalah untuk menghibur beliau dan memberikan sosok pengganti yang lebih baik baginya. Serta penghargaan kepada mereka yang hijrah ke Habasyah karena mereka sebelumnya telah mengalami siksaan dan tekanan yang berat di Mekkah.
  9. Shofiyyah binti Huyay bin Akhtob RA, dari Bani Israel, ia merupakan tawan perang Khoibar lalu Rasulullah SAW memilihnya dan dimeredekakan serta dinikahinya setelah menaklukan Khoibar tahun 7 Hijriyyah. Pernakahan tersebut bertujuan untuk menjaga kedudukan beliau sebagai anak dari pemuka kabilah.
  10. Maimunah binti Al- Harits RA, saudarinya Ummu Al-Fadhl Lubabah binti Al-Harits. Ia adalah seorang janda yang sudah berusia lanjut, dinikahi di bulan Dzul Qa’dah tahun 7 Hijrah pada saat melaksanakan Umroh Qadho.
Kampanye itu rupanya berjalan sangat efektif dalam menyudutkan Islam, karena mampu menggerakkan banyak kalangan yang tidak sehat berpikir termasuk para aktifis wanita untuk ikut-ikutan menyudutkan Islam. Dan dengan bahasa wanita, mereka terus menggelembungkan semangat anti poligami sekaligus semangat anti Islam di kalangan publik terutama di kalangan wanita.
Lucunya, sebagian dari tokoh agama yang terlalu dekat dengan kalangan mereka pun ikut-ikutan menentang poligami, lalu mensitir sekian ayat dan hadits yang diplintir sedemikian rupa untuk menentang keabsahan poligami dalam Islam. Entah karena mau dibilang moderat atau motivasi lainnya.

     2.   Poligami Sudah Ada jauh Sebelum Islam
Padahal poligami itu bukan semata-mata produk syariat Islam. Jauh sebelum Islam lahir di tahun 610 masehi, peradaban manusia di penjuru dunia sudah mengenal poligami.
Dr. Yusuf Al-Qaradawi menuliskan bahwa di masa lalu, peradaban manusia sudah mengenal poligami dalam bentuk yang sangat mengerikan, karena seorang laki-laki bisa saja memiliki bukan hanya 4 istri, tapi lebih dari itu. Ada yang sampai 10 bahkan ratusan istri. Bahkan dalam kitab orang yahudi perjanjian lama, Daud disebutkan memiliki 300 orang istri, baik yang menjadi istri resminya maupun selirnya. (Dr. Yusuf Al-Qaradawi, Ruang lingkup Aktivitas Wanita Muslimah, hal. 184)
Dalam Fiqhus-Sunnah, As-Sayyid Sabiq dengan mengutip kitab Hak-hak Wanita Dalam Islam karya Ustaz Dr. Ali Abdul Wahid Wafi menyebutkan bahwa poligami bila kita runut dalam sejarah sebenarnya merupakan gaya hidup yang diakui dan berjalan dengan lancar di pusat-pusat peradaban manusia. Bahkan bisa dikatakan bahwa hampir semua pusat peradaban manusia (terutama yang maju dan berusia panjang) mengenal poligami dan mengakuinya sebagai sesuatu yang normal dan formal. Para ahli sejarah mendapatkan bahwa hanya peradaban yang tidak terlalu maju saja dan tidak berusia panjang yang tidak mengenal poligami.
Bahkan agama nasrani sekalipun mengenal dan mengajarkan poligami. Berbeda dengan apa yang sering mereka ungkapkan hari ini, namun Nabi Isa dan para pengikutnya mengajarkan dan mengakui poligami. Masih menurut ahli sejarah, karena saat itu penyebaran nasrani terjadi di romawi dan yunani, sementara kedua peradaban ini memang tidak mengenal poligami, jadilah akhirnya seolah-olah agama nasrani itu melarang poligami. Sesuatu yang sebenarnya bertentangan dengan sumber asli ajaran mereka sendiri.
Ustaz As-Sayyid Sabiq menyebutkan bahwa peradaban maju seperti Ibrani yang melahirkan bangsa yahudi mengenal poligami. Begitu juga dengan peradaban Shaqalibah yang melahirkan bangsa Rusia, Lituania, Ustunia, Chekoslowakia dan Yugoslavia semuanya sangat mengenal poligami. Begitu juga dengan Bangsa Jerman, Swis, Saksonia, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia, Norwegia dan Enggris. Jadi pendapat bahwa poligami itu hanya produk hukum Islam adalah tidak benar. Begitu juga dengan bangsa Arab sebelum Islam, mereka pun mengenal poligami. Dalam salah satu hadits disebutkan bahwa ada seorang masuk islam dan masih memiliki 10 orang istri. Lalu oleh Rasulullah SAW diminta untuk memilih empat saja dan selebihnya diceraikan. Beliau bersabda,”Pilihlah 4 orang dari mereka dan ceraikan sisanya”. (Hadits itu adalah hadits Iibnu Umar yang diriwayatkan oleh At-tirmizy hadits no. 1128, oleh Ibnu Majah hadits no. 1953)
Masih menurut beliau, poligami itu bukan hanya milik peradaban masa lalu dunia, tetapi hari ini masih tetap diakui oleh negeri dengan sistem hukum yang bukan Islam seperti Afrika, India, China dan Jepang.
Sehingga jelaslah bahwa poligami adalah produk umat manusia, produk kemanusiaan dan produk peradaban besar dunia. Islam hanyalah salah satu yang ikut di dalamnya dengan memberikan batasan dan arahan yang sesuai dengan jiwa manusia.
Islam datang dalam kondisi dimana masyarakat dunia telah mengenal poligami selama ribuan tahun dan telah diakui dalam sistem hukum umat manusia. Justru Islam memberikan aturan agar poligami itu tetap selaras dengan rasa keadilan dan keharmonisan. Misalnya dengan mensyaratkan adanya keadilan dan kemampuan dalam nafkah. Begitu juga Islam sebenarnya tidak membolehkan poligami secara mutlak, sebab yang dibolehkan hanya sampai empat orang istri. Dan segudang aturan main lainnya sehingga meski mengakui adanya poligami, namun poligami yang berkeadilan sehingga melahirkan kesejahteraan.
   3.  Barat Adalah Pendukung Poligami Yang Tidak Manusiawi
Dan kini karena masyarakat barat banyak menganut agama nasrani, ditambah lagi latar belakang budaya mereka yang berangkat dari romawi dan yunani kuno, maka mereka pun ikut-ikutan mengharamkan poligami. Namun anehnya, sistem hukum dan moral mereka malah membolehkan perzinahan, homoseksual, lesbianisme dan gonta ganti pasangan suami istri. Padahal semua pasti tahu bahwa poligami jauh lebih beradab dari semua itu. Sayangnya, ketika ada orang berpoligami dan mengumumkan kepoligamiannya, semua ikut merasa `jijik`, sementara ketika hampir semua lapisan masyarakat menghidup-hidupkan perzinahan, pelacuran, perselingkuhan, homosek dan lesbianisme, tak ada satu pun yang berkomentar jelek. Semua seakan kompak dan sepakat bahwa perilaku bejat itu adalah `wajar` terjadi sebagai bagian dari dinamika kehidupan modern.
Dr. Yusuf Al-Qaradawi mengatakan bahwa pada hakikatnya apa yang dilakukan oleh Barat pada hari ini dengan segala bentuk pernizahan yang mereka lakukan tidak lain adalah salah satu bentuk poligami juga meski tidak dalam bentuk formal.
Dan kenyataaannya mereka memang terbiasa melakukan hubungan seksual di luar nikah dengan siapapun yang mereka inginkan. Di tempat kerja, hubungan seksual di luar nikah menjadi sesuatu yang lazim dilakukan mereka baik sesama teman kerja, antara atasan dan bawahan atau pun klien mereka. Ditempat umum mereka terbiasa melakukan hubungan seksual di luar nikah baik dengan wanita penghibur, pelayan restoran, artis dan selebritis. Di sekolah pun mereka menganggap wajar bila terjadi hubungan seksual baik sesama pelajar, antara pelajar dengan guru atau dosen, antar karyawan dan seterusnya. Bahkan di dalam rumaah tangga pun mereka menganggap boleh dilakukan dengan tetangga, pembantu rumah tangga, sesama angota keluarga atau dengan tamu yang menginap. Semua itu bukan mengada-ada karena secara jujur dan polos mereka akui sendiri dan tercermin dalam film-film hollywood dimana hampir selalu dalam setiap kesempatan mereka melakukan hubungan seksual dengan siapa pun.
Jadi peradaban barat membolehkan poligami dengan siapa saja tanpa batas, bisa dengan puluhan bahkan ratusan orang yang berlainan. Dan sangat besar kemungkinannya mereka pun telah lupa dengan siapa saja pernah melakukannya karena saking banyaknya. Dan semua itu terjadi begitu saja tanpa pertanggung-jawaban, tanpa ikatan, tanpa konsekuensi dan tanpa pengakuan. Apabila terjadi kehamilan, sama sekali tidak ada konsekuensi hukum untuk mewajibkan bertanggung-jawab atas perbuatan itu. Poligami tidak formal alias seks di luar nikah itu alih-alih dilarang, malah sebaliknya dilindungi dan dihormati sebagai hak asasi. Lucunya, banyak negara yang mengharamkan poligami formal yang mengikat dan menuntut tanggung jawab, sebaliknya seks bebas yang tidak lain merupakan bentuk poligami yang tidak bertanggung jawab malah dibebaskan, dilindungi dan dihormati.
Untuk kasus ini, Syiekh Abdul Halim Mahmud menceritakan sebuah kejadian lucu yang terjadi di sebuah negeri sekuler di benua Afrika. Ada seorang tokoh Islam yang menikah untuk kedua kalinya (berpoligami) secara syah menurut aturan syar`i. Namun berhubungan negeri itu melarang poligami secara tegas, maka pernikahan itu dilakukan tanpa melaporkan kepada pemerintah. Rupanya, inteljen sempat mencium adanya pernikah itu dan setelah melakukan pengintaian intensif, dikepunglah rumah tokokh ini dan diseretlah dia ke pengadilan untuk dijatuhi hukuman seberat-beratnya. Melihat situasi yang timpang seperti ini, maka akal digunakan. Tokoh ini dengan kalem menjawab bahwa wanita yang ada di rumahnya itu bukan istrinya, tapi teman selingkuhannya. Agar tidak ketahuan istri pertamanya, maka mereka melakukannya diam-diam. Mendengar pengakuannya, kontak pihak pengadilan atas nama pemerintah meminta maaf yang sebesar-besarnya atas kesalah-pahaman itu. Dan memulangkannya dengan baik-baik serta tidak lupa tetap meminta maaf atas insiden itu. (Dr. Yusuf Al-Qaradawi, Ruang lingkup Aktivitas Wanita Muslimah, hal. 213-214)
   
     4. Tujuan dan Syarat Poligami Dalam Islam
Poligami atau dikenal dengan ta`addud zawaj pada dasarnya mubah atau boleh. Bukan wajib atau anjuran. Karena melihat siyaq ayatnya memang mensyaratkan harus adil. Dan keadilan itu yang tidak dimiliki semua orang.
Allah berfirman :
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yang yatim, maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil , maka seorang saja , atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.(QS. An-Nisa : 3)
Jadi syarat utama adalah adil terhadapat istri dalam nafkah lahir dan batin. Jangan sampai salah satunya tidak diberi cukup nafkah. Apalagi kesemuanya tidak diberi cukup nafkah, maka hal itu adalah kezaliman.
Sebagaimana hukum menikah yang bisa memiliki banyak bentuk hukum, maka begitu juga dengan poligami, hukumnya sangat ditentukan oleh kondisi seseorang, bahkan bukan hanya kondisi dirinya tetapi juga menyangkut kondisi dan perasaan orang lain, dalam hal ini bisa saja istrinya atau keluarga istrinya. Pertimbangan orang lain ini tidak bisa dimentahkan begitu saja dan tentunya hal ini sangat manusiawi sekali.
Karena itu kita dapati Rasulullah SAW melarang Ali bin abi Thalib untuk memadu Fatimah yang merupakan putri Rasulullah SAW. Sehingga Ali bin Abi Thalim tidak melakukan poligami.
Kalau hukum poligami itu sunnah atau dianjurkan, maka apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW untuk melarang Ali berpoligami akan bertentangan.
Selain itu yang sudah menjadi syarat paling utama dalam pertimbangan poligami adalah masalah kemampuan finansial. Biar bagaimana pun ketika seorang suami memutuskan untuk menikah lagi, maka yang harus pertama kali terlintas di kepalanya adalah masalah tanggung jawab nafkah dan kebutuhan hidup untuk dua keluarga sekaligus. Nafkah tentu saja tidak berhenti sekedar bisa memberi makan dan minum untuk istri dan anak, tapi lebih dari itu, bagaiman dia merencakan anggaran kebutuhan hidup sampai kepada masalah pendidikan yang layak, rumah dan semua kebutuhan lainnya.
Ketentuan keadilan sebenarnya pada garis-garis umum saja. Karena bila semua mau ditimbang secara detail pastilah tidak mungkin berlaku adil secara empiris. Karena itu dibuatkan garis-garis besar seperti maslaah pembagian jatah menginap. Menginap di rumah istri harus adil. Misalnya sehari di istri tua dan sehari di istri muda. Yang dihitung adalah malamnya atau menginapnya, bukan hubungan seksualnya. Karena kalau sampai hal yang terlalu mendetail harus dibuat adil juga, akan kesulitan menghitung dan menimbangnya.
Secara fitharah umumnya, kebutuhan seksual laki-laki memang lebih tinggi dari wanita. Dan secara faal, kemampuan seksual laki-laki memang dirancang untuk bisa mendapatkan frekuensi yang lebih besar dari pada wanita.
Nafsu birahi setiap orang itu berbeda-beda kebutuhannya dan cara pemenuhannya. Dari sudut pandang laki-laki, masalah `kehausan` nafsu birahi sedikit banyak dipengaruhi kepada kepuasan hubungan seksual dengan istri. Bila istri mampu memberikan kepuasan skesual, secara umum kehausan itu bisa terpenuhi dan sebaliknya bila kepuasan itu tidak didapat, maka kehausan itu bisa-bisa tak terobati. Akhirnya, menikah lagi sering menjadi alternatif solusi.
Umumnya laki-laki membutuhkan kepuasan seksual baik dalam kualitas maupun kuantitas. Namun umumnya kepuasan kualitas lebih dominan dari pada kepuasan secara kuantitas. Bila terpenuhi secara kualitas, umumnya sudah bisa dirasa cukup. Sedangkan pemenuhan dari sisi kuantitas saja sering tidak terlau berarti bila tidak disertai kualitas, bahkan mungkin saja menjadi sekedar rutinitas kosong. Lagi-lagi menikah lagi sering menjadi alternatif solusi.
Secara pisik, terkadang memang ada pasangan yang agak ekstrim. Dimana suami memiliki kebutuhan kualitas dan kuantitas lebih tinggi, sementara pihak istri kurang mampu memberikannya baik dari segi kualitas dan juga kuantitas. Ketidak-seimbangan ini mungkin saja terjadi dalam satu pasangan suami istri. Namun biasanya solusinya adalah penyesuaian diri dari masing-masing pihak. Dimana suami berusaha mengurangi dorongan kebutuhan untuk kepuasan secara kualitas dan kuantitas. Dan sebaliknya istri berusaha meningkatkan kemampuan pelayanan dari kedua segi itu. Nanti keduanya akan bertemu di satu titik.
Tapi kasus yang ekstrim memang mungkin saja terjadi. Suami memiliki tingkat dorongan kebutuhan yang melebihi rata-rata, sebaliknya istri memiliki kemampuan pelayanan yang justru di bawah rata-rata. Dalam kasus seperti ini memang sulit untuk mencari titik temu. Karena hal ini merupakan fithrah alamiah yang ada begitu saja pada masing-masing pihak. Dan kasus seperti ini adalah alasan yang paling logis dan masuk akal untuk terjadinya penyelewengan, selingkuh, prostitusi, pelecehan seksual dan perzinahan.
Sehingga jauh-jauh hari Islam sudah mengantisipasi kemungkinan terjadinya fenomena ini dengan membuka pintu untuk poligami dan menutup pintu ke arah zina. Dari pada zina yang merusak nilai kemanusiaan dan harga diri manusia, lebih baik kebutuhan itu disalurkan lewat jalur formal dan legal. Yaitu poligami.
Dan kenyataanya, angka kasus sejenis lumayan banyak. Namun antisipasinya sering terlihat kurang cerdas bahkan mengedepankan ego. Hukum agama nasrani jelas-jelas melarang poligami yang legal. Begitu juga hukum positif di banyak negeri umumnya cenderung menganggap poligami itu tidak bisa diterima. Apalagi hukum non formal yang berbentuk penilaian masyarakat yangumumnya juga menganggap poligami itu hina dan buruk.
Secara tidak sadar semuanya lebih memaklumi kalau dalam kasus seperti yang kita bicarakan ini, solusinya adalah ZINA dan bukan poligami. Nah, inilah terjungkir baliknya nilai-nilai agama yang dikalahkan dengan rasa dan selera subjektif hawa nafsu manusia.
             
            5. Berlebihan Dalam Memahami Masalah Poligami Dalam Islam
Ada orang yang terlalu berlebihan dalam memahami kebolehan poligami dalam Islam. Dan sebaliknya, ada kalangan yang berusaha mengahalang-halangi terjadinya poligami dalam Islam, meski tidak sampai menolak syariatnya.
  a. Pihak yang berlebihan
Menurut kalangan ini, poligami adalah perkara yang sangat utama untuk dikerjakan bahkan merupakan sunnah muakkadah dan pola hidup Rasulullah SAW. Kemana-mana mereka selalu mendengungkan poligami hingga seolah hamir mendekati wajib.
Pemahaman keliru seperti itu sering menggunakan ayat poligami yang memang bunyinya seolah seperti mendahulukan poligami dan bila tidak mampu, barulah beristri satu saja. Istilahnya, poligami dulu, kalau tidak mampu, baru satu saja.
“Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja , atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.(QS. An-Nisa : 3)
Padahal makna ayat itu sama sekali tidak demikian. Karena meski sepintas ayat itu kelihatan mendahulukan poligami lebih dahulu, tapi dalam kenyataan hukum hasil dari istinbath para ulama dengan membandingkannya dengan dalil-dalil lainnya menunjukan bahw poligami merupakan jalan keluar atau rukhshah (bentuk keringanan) atas sebuah kebutuhan. Bukan menempati posisi utama dalam masalah pernikahan. Alasan agar tidak jatuh ke dalam zina adalah alasan yang ma`qul dan sangat bisa diterima. Karena Allah SWT memang memerintahkan agar seorang mukmin menjaga kemaluannya.
Allah SWT berfiramn :
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, (QS. Al-Mukminun : 5)
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. (QS. An-Nur : 30)
Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, (QS. Al-Ma`arij : 29)
Bila satu istri saja masih belum bisa menahan gejolak syahwatnya, sementara secara nafkah dia mampu berbuat adil, bolehlah seseorang untuk menikah lagi dengan niat menjaga agamanya. Bukan sekedar memuaskan nafsu syahwat saja.
Bentuk kekeliruan yang lain adalah rasa terlalu optimis atas kemampuan menanggung beban nafkah. Padahal Islam tetap menutut kita berlaku logis dan penuh perhitungan. Memang rezeki itu Allah SWT yang memberi, tapi rezeki itu tidak datang begitu saja.
Bahkan untuk orang yang baru pertama kali menikah pun, Rasulullah SAW mensyaratkan harus punya kemampuan finansial. Dan bila belum mampu, maka hendaknya berpuasa saja.
Jangan sampai seseorang yang penghasilannya senin kamis, tapi berlagak bak seorang saudagar kaya yang setiap hari isi pembicaraannya tidak lepas dari urusan ta`addud. Ini jelas sangat `njomplang`, jauh asap dari api.

              b. Pihak yang mencegah poligami
Di sisi lain, ada kalangan yang menentang poligami atau paling tidak kurang bersimpati terhadap poligami. Mereka pun sibuk membolak balik ayat Al-Quran Al-Karim dan Sunnah Rasulullah SAW untuk mencari dalih yang bisa melarang atau minimal memberatkan jalan menuju poligami.
Misalnya dengan mengikat seorang suami untuk janji tidak menikah lagi ketika melangsungkan pernikahan pertamanya. Janji itu diqiyaskan dengan sighat ta’liq yang bila dilanggar maka istrinya diceraikan.
Menanggapi hal ini, para ulama berbeda pendapat tentang syarat tidak boleh melakukan poligami bagi suami yang diajukan oleh isterinya pada saat aqad nikah. Apakah pensyaratan tersebut dibolehkan atau tidak?
Sebahagian ulama menyatakan bahwa pensyaratan tersebut diperbolehkan, sedangkan yang lain berpendapat hal tersebut dimakruhkan tetapi tidak haram. Karena dengan adanya pensyaratan tersebut maka suami akan merasa terbelenggu yang pada akhirnya akan menimbulakn hubungan yang kurang harmonis di antara keduanya.
Lantas bagaimana sikap suami, apakah harus memenuhi syarat tersebut atau tidak? Ada dua pendapat ulama. Pendapat pertama menyatakan bahwa hukum memenuhi pensyaratan tersebut hanya sunah saja dan tidak wajib. Oleh karena itu suami bisa saja menikah dengan wanita yang lain. Hal tersebut berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Aisyah RA.
“Barangsiapa yang mensyaratkan suatu syarat yang tidak terdapat dalam kitab Allah, maka ia tidak berhak melakukannya (Dan tidak perlu dipenuhi), meskipun ia mensyaratakan seratus persyaratan. Persyaratan Allah-lah yang lebih berhak dan lebih kuat” (HR Bukhori/Fathul Bari 6/115)
Ali bin Abi Tholib pernah berkata: “Syarat Allah sebelum syaratnya (wanita tersebut)”. Ibun Abdil Barr mengomentari bahwa Allah telah membolehkan melarang apa yang engkau kehendaki dengan sejumlah syarat, sedangkan apa yang Allah perbolehkan adalah lebih utama” (At-Tamhid 18/168-169)
Pendapat kedua menyatakan bahwa suami wajib memenuhi persyaratan isterinya tersebut disebabkan pensyaratan tersebut adalah syah secara agama. Oleh karena itu ia tidak boleh melakukan poligami. Hal tersebut berdasarkan hadis :
“Pensyaratan yang paling utama untuk dipenuhi adalah syarat yang menghalakan terjadinya hubungan badan” (HR Muslim 3/573, Tirmidzi No. 1124, Abu Daud 2139, Nasa’i 6/93 dan Ibnu Majah No. 1954)
Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa Nabi SAW bersabda :”Orang-orang muslim itu berdasarkan syarat-syarat mereka (yang disepakati) kecuali syarat yang menghalakan yang haram atau syarat yang mengharamkan yang halal” (HR. Muslim 2/1036)
Pendapat kedua ini dipegang oleh sejumlah sahabat dan ulama antara lain Umar bin Al-Khottob, Amr bin Al-Ash, Syuraikh Al-Qodhi, Ishaq, Imam Ahmad, Ibnu Taimiyyah dan lain-lain (Jami’ Ahkamun-Nisaa III/361-370)
Ada bentuk lain lagi dalam perkara mengahalangi poligami, yaitu mereka mengatakan bahwa Rasulullah SAW tidak pernah melakukan poligami kecuali hanya kepada janda saja. Tidak pernah kepada wanita yang perawan. Memang ketika menikahi Aisyah ra, status Rasulullah SAW adalah seorang duda yang ditinggal mati istrinya.
Dalam menjawab masalah ini, sebenarnya syarat harus menikahi wanita yang berstatus janda bukanlah syarat untuk poligami. Meski Rasulullah SAW memang lebih banyak menikahi janda ketimbang yang masih gadis. Namun hal itu terpulang kepada pertimbangan teknis di masa itu yang umumnya untuk memuliakan para wanita atau mengambil hati tokoh di belakang wanita itu. Pertimbangan ini tidak menjadi syarat untuk poligami secara baku dalam syariat Islam.
Sebagian kalangan juga ingin menghalangi poligami dengan dasar bahwa syarat berlaku adil dalam Al-Quran Al-Karim adalah sesuatu yang tidak mungkin bisa dilakukan. Dengan demikian, maka poligami dilarang dalam Islam.
Padahal, meski ada ayat yang demikian, yang dimaksud dengankeadilantidak dapat dilakukan adalah keadilan yang bersifat menyeluruh baik materi maupun ruhi. Sementara keadilan yang dituntut dalam sebuah poligami hanay sebatas keadilan secara sesuatu yang bisa diukur dan lebih bersifat materi. Sedangkan masalah cinta dalam dada, sangat sulit untuk diidentifikasi. Namun demikian, Rasulullah SAW mengancam orang yang berlaku tidak adil kepada istrinya dengan ancaman.

BACA SELENGKAPNYA »»  

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG STATUS ANAK LUAR KAWIN

 PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG STATUS ANAK LUAR KAWIN

Oleh: Syafran Sofyan, S.H., Sp.N., M.Hum.

(copas dari web jimly assiddiqi)
I.        UMUM :
Mahkamah  Konstitusi adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung. Pasal 24 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menyatakan, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (MK).

Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD 1945.

Berdasarkan pasal 24C ayat 1 UUD 1945 yang ditegaskan kembali dalam pasal 10 ayat 1 huruf a sampai dengan d UU 24/2003, Kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut :
  1. menguji undang-undang terhadap UUD NRI Th.1945;
  2. memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI Th.1945;
  3. memutus pembubaran partai politik;
  4. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

 II.      PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI  REPUBLIK INDONESIA 
           Nomor 46/PUU-VIII/2010, Tanggal 13 Februari 2012.

Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji materiil UU Perkawinan (UU No.1 Tahun 1974) yang diajukan Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim yang meminta puteranya Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono agar diakui sebagai anak almarhum Moerdiono, mantan Menteri Sekretaris Negara di era Presiden Soeharto, memicu perseteruan antara dirinya dengan keluarga almarhum Moerdiono.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Berdasarkan Pasal  51 ayat 1 UU 24/2003 untuk mengajukan perkara konstitusi si pemohon harus memiliki kedudukan hukum (legal standing), sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu :
  1. perorangan warga Negara Indonesia;
  2. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
  3. badan hukum public atau privat; atau
  4. lembaga Negara

Dengan demikian, para pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu :
  1. kedudukannya sebagai para pemohon sebagaimana dimaksud pasal 51 ayat 1 UU 24/2003
  2. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.

Pemohon mengajukan uji materiil terhadap :

UUD  1945
UU No 1 Th 1974 tentang Perkawinan
Pasal 28 B ayat 1
“ Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah “
Pasal 2 ayat 2
“ Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku “
Pasal 28 B ayat 2
“ Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi “
Pasal 43 ayat 1
“ Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya “
Pasal 28 D ayat 1
“ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum “


Mahkamah Konstitusi memberikan putusan mengabulkan sebagian permohonan para pemohon.  Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan tidak dikabulkan sebab perkawinan yang dicatatkan adalah untuk mencapai tertib administrasi.

Pencatatan secara administratif yang dilakukan Negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh Negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan dapat terselenggara secara tertib dan efisien. Artinya, dengan dimilikinya bukti otentik akta perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan proses pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai asal-usul anak dalam pasal 55 UU perkawinan yang mengatur bahwa bila asal-usul anak tidak dapat dibuktikan dengan akta otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang berwenang. Pembuktian yang demikian pasti tidak lebih efektif dan efisien bila dibandingkan adanya akta otentik sebagai bukti.

Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan dikabulkan karena hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapat perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya.

Komisi perlindungan anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan hampir 50 juta anak di Indonesia tidak memiliki akta kelahiran karena berbagai sebab antara lain karena pernikahan tidak sah atau tercatat di atau kawin siri, angka ini hampir separuh dari total jumlah anak dibawah 5 tahun yang ada di Indonesia. KPAI sangat mengapresiasi putusan MK beberapa waktu lalu yang mengabulkan permohonan uji materiil atas pasal anak diluar pernikahan sah dalam UU perkawinan.

Menurut ketua Komnas perlindungan Anak Aris Merdeka Sirait, perubahan pada Undang-undang Perkawinan oleh Mahkamah Konstitusi ini akan menjadi landasan hukum yang sah dalam memajukan upaya advokasi bagi anak-anak diluar pernikahan yang sah untuk memperoleh hak keperdataannya.

“Jadi putusan MK kemarin memberikan hak keperdataan yang selama ini tidak diakui negara. Makanya akta lahirnya itu tidak mencantumkan nama ayah. Dan tentu ini akan berimplikasi tidak mendapatkan “hak waris” dan tidak bisa mencantumkan siapa bapaknya, nah..itukan merugikan anaknya. Didalam konvensi PBB juga pengakuan keperdataan dalam bentuk identitas nama dan kewarganegaraan itu harus diberikan oleh negara, tidak harus bergantung pada sah tidaknya perkawinan. Tetapi juga sebagai hak konstitusi, hak keperdataan, itu adalah hak yang sangat mendasar dan konstitusional”.

Ketua Majelis Ulama Indonesia Umar Shihab juga menyambut baik putusan MK ini, menurut Umar, putusan ini bisa menjadi dasar hukum bagi hakim dalam memutuskan sengketa anak.

Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan.

Berdasarkan uraian ini Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan ini harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. “

Bagaimana tindakan notaris apabila ada anak luar kawin/kuasa/walinya tersebut minta dibuatkan akta keterangan waris sementara ada penyangkalan dari ahli waris yang sah?

Dari sisi praktisi notaris yang berwenang untuk membuat suatu keterangan waris, hal ini agak merepotkan, karena untuk membuat suatu keterangan waris diharuskan untuk menerima bukti-bukti otentik berupa akta kelahiran yang menyatakan bahwa anak tersebut merupakan anak sah dari hasil perkawinan kedua orangtuanya. Ada kekhawatiran dalam praktik di masyarakat, tiba-tiba akan bermunculan berbagai kasus sehubungan dengan adanya tuntutan dari anak-anak luar kawin yang tidak/belum pernah diakui oleh pewaris, yang menuntut bagian dari warisan tersebut.

Berdasarkan KUH Perdata dan UU Perkawinan
Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010
Surat Keterangan Hak Waris biasanya dibuat oleh Notaris yang berisikan keterangan mengenai pewaris, para ahli waris dan bagian-bagian yang menjadi hak para ahli waris berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Anak Luar Kawin dalam BW dan KUH Perdata bisa mendapat bagian waris melalui proses pengakuan yang ditetapkan oleh pengadilan. Walaupun dengan adanya perbuatan hukum pengakuan ini sang anak maksimal mendapat 1/3 bagian waris.
Ketika pewaris meninggal, timbulah warisan dan ahli waris. Keberadaan anak luar kawin yang sudah ditetapkan pengadilan tetap akan mendapatkan bagian waris. Apabila ahli waris lain menolak, nama sang ahli waris ( anak luar kawin yang mendapatkan pengakuan ) sudah tercatat dan harus dimasukkan dalam surat keterangan waris.
Notaris akan mengecek terlebih dahulu berapa jumlah ahli waris yang tercatat oleh Negara. Dengan demikian jika ahli waris di luar anak luar kawin yang mendapat pengakuan menyangkal, surat keterangan waris tidak dapat dibuat.
Anak luar kawin berdasarkan putusan MK ini dapat membuktikan dengan ilmu pengetahuan jika anak memiliki hubungan darah dengan ayahnya.
Jika ia terbukti berdasarkan ilmu pengetahuan merupakan anak pewaris maka anak tersebut mempunyai hak waris yang sama besarnya dengan ahli waris lainnya.
Peraturan pelaksana putusan MK ini belum ada sehingga masih terdapat kekosongan hukum bagaimana anak luar kawin mendapat jaminan ia akan mendapatkan warisannya.
Kemajuan yang dibuat putusan MK ini setelah dilakukannya pembuktian melalui ilmu pengetahuan ahli waris lain tidak dapat menyangkal keberadaan anak luar kawin ini. Karena secara ilmu pengetahuan anak luar kawin ini adalah anak dari pewaris.
Surat keterangan waris dapat dibuat namun dapat terjadi permasalahan dalam administrasi pengurusan surat keterangan waris.

 III.    PEMBAHASAN

A. Anak Luar Kawin Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Anak luar kawin yang diakui secara sah adalah salah satu ahli waris menurut undang-undang yang diatur dalam KUHPerdata berdasarkan Pasal 280 jo Pasal 863 KUHPerdata. Anak luar kawin yang berhak mewaris tersebut merupakan anak luar kawin dalam arti Sempit, mengingat doktrin mengelompokkan anak tidak sah dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu anak luar kawin, anak zina, dan anak sumbang, sesuai dengan penyebutan yang diberikan oleh pembuat undang-undang dalam Pasal 272 jo 283 KUHPerdata (tentang anak zina dan sumbang). Anak luar kawin yang berhak mewaris adalah sesuai dengan pengaturannya dalam Pasal 280 KUHPerdata.

Pembagian seperti tersebut dilakukan, karena undang-undang sendiri, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada, memang memberikan akibat hukum lain-lain (sendiri-sendiri) atas status anak-anak seperti tersebut di atas. Sekalipun anak zina dan anak sumbang sebenarnya juga merupakan anak luar kawin dalam arti bukan anak sah, tetapi kalau dibandingkan dengan Pasal 280 dengan Pasal 283 KUHPerdata, dapat diketahui anak luar kawin menurut Pasal 280 dengan anak zina dan anak sumbang yang dimaksud dalam Pasal 283 adalah berbeda.

Demikian pula berdasarkan ketentuan Pasal 283, dihubungkan dengan Pasal 273 KUHPerdata, bahwa anak zina berbeda dengan anak sumbang dalam akibat hukumnya. Terhadap anak sumbang, undang-undang dalarn keadaan tertentu memberikan perkecualian, dalam arti, kepada mereka yang dengan dispensasi diberikan kesempatan untuk saling menikahi (Pasal 30 ayat (2) KUHPerdata) dapat mengakui dan mengesahkan anak sumbang mereka menjadi anak sah (Pasal 273 KUHPerdata). Perkecualian seperti ini tidak diberikan untuk anak zina.

Perbedaan antara anak luar kawin dan anak zina terletak pada saat pembuahan atau hubungan badan yang menimbulkan kehamilan, yaitu apakah pada saat itu salah satu atau kedua-duanya (maksudnya laki-laki dan perempuan yang mengadakan hubungan badan di luar nikah) ada dalam ikatan perkawinan dengan orang lain atau tidak, sedangkan mengenai kapan anak itu lahir tidak relevan. Anak zina adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan luar nikah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan di mana salah satu atau kedua-duanya, terikat perkawinan dengan orang lain. Adapun anak sumbang adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang antara keduanya berdasarkan ketentuan undang-undang ada larangan untuk saling menikahi (Pasal 31 KUHPerdata).

Dengan demikian anak luar kawin dalam arti sempit adalah anak yang dilahirkan dari hasil hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang kedua-duanya tidak terikat perkawinan dengan orang lain dan tidak ada larangan untuk saling menikahi, anak-anak yang demikianlah yang bisa diakui secara sah oleh ayahnya (Pasal 280 KUHPerdata).

Hubungan antara ibu dan anak terjadi dengan sendirinya karena kelahiran, kecuali apabila anak itu "overspelig atau bloedsrhenning (anak zinah). Antara ayah dan anak hanya terjadi hubungan perdata karena pengakuan (Pasal 280 KUHPerdata).

Pasal 280 KUHPerdata, yang mengatakan; bahwa dengan pengakuan yang dilakukan terhadap seorang anak luar kawin, timbullah hubungan perdata antara anak dan bapak atau ibunya. Hal ini berarti, bahwa antara anak luar kawin dan "ayah" (biologisnya) maupun "ibunya" pada asasnya tidak ada hubungan hukum. hubungan hukum itu baru ada kalau "ayah" dan atau "ibunya"memberikan pengakuan, bahwa anak itu adalah anaknya. Dengan demikian, tanpa pengakuan dari ayah dan atau ibunya, pada asasnya anak itu bukan anak siapa-siapa. Ia tidak mempunyai hubungan hukum dengan siapa pun.

Kalau kita melihat prinsip seperti tersebut di atas, kita bisa menyimpulkan, bahwa hubungan hukum antara orang-tua dan anaknya yang sah didasarkan atas adanya hubungan darah antara keduanya. akan tetapi, kalau kita hubungkan dengan anak luar kawin, hubungan hukum antara anak luar kawin dan ayah yang mengakuinya, didasarkan atas hubungan darah melalui suatu pengakuan dengan demikian, hubungan darah dalam hal ini adalah hubungan darah dalam arti yuridis, bukan dalam arti biologis. Kedudukan anak luar kawin di dalam hukum secara realitas adalah lebih rendah dibanding dengan anak sah, dengan pengertian bagian waris yang diterima oleh anak luar kawin lebih kecil dibandingkan dengan anak sah. Selain hal tersebut, anak sah berada di bawah kekuasaan orang tua sebagaimana diatur dalam Pasal 299 KUHPerdata, sedangkan anak luar kawin yang telah diakui secara sah berada di bawah perwalian sebagaimana diatur dalam Pasal 306 KUHPerdata.

Untuk dapat menjadi seorang ahli waris KUHPerdata telah menetapkan syarat-syarat sebagai berikut :
  1. Berdasarkan Pasal 832 KUHPerdata untuk dapat menjadi ahli waris harus memiliki hubungan darah baik sah atau luar kawin. Dimungkinkan menjadi ahli waris melalui  pemberian melalui surat wasiat sebagaimana diatur dalam Pasal 874 KUHPerdata.
  2. Berdasarkan Pasal 836 KUHPerdata Ahli waris, harus sudah ada pada saat pewaris meninggal dunia. Namun, ketentuan ini disimpangi oleh Pasal 2 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana kepentingan si anak menghendakinya.

Ketentuan Pasal 832 KUHPerdata memperjelas kedudukan masing-masing ahli waris harus didasari oleh suatu hubungan darah baik sah maupun luar kawin. Dalam hal ini, perlu diidentifikasi lebih lanjut tentang kedudukan anak-anak pewaris sebagai ahli waris. Mengingat dalam suatu pewarisan menurut KUHPerdata dikenal anak luar kawin baik yang diakui secara sah maupun tidak. KUHPerdata tidak menjelaskan lebih lanjut pengertian yang jelas tentang anak luar kawin. KUHPerdata hanya memberikan penjelasan tentang pengertian anak sah sebagaimana diatur dalam Pasal 250 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa anak sah adalah setiap anak yang dilahirkan dan atau dibuahkan dari suatu perkawinan yang sah. Berdasarkan batasan yang diberikan oleh Pasal 250 KUHPerdata dapat ditarik kesimpulan bahwa yang disebut dengan anak luar kawin adalah setiap anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah.
UU No. 1 Tahun 1974 mengatur kedudukan anak luar kawin dalam Pasal 43, yaitu:
  1. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya;
  2. Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Kompilasi Hukum Islam Pasal 4 menyebutkan Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.”

Namun, perkawinan tersebut harus dilaporkan dan dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA) atau di Catatan Sipil bagi yang bukan beragama Islam, karena Pencatatan perkawinan seperti yang diamanatkan Pasal 2 ayat (2) UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertujuan untuk melindungi warga negara dalam membangun keluarga dan memberikan kepastian hukum terhadap hak suami, istri, dan anak-anaknya.

UU No. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 2 menyebutkan “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Begitu pula di dalam Pasal 5 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan:
  1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
  2. Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.

Walaupun pernikahan siri dianggap sah secara agama Islam, yaitu adanya ijab dan Kabul serta wali nikah dan pengantin sudah cukup umur, perkawinan tersebut juga harus sah secara hukum Negara. Tanpa adanya pencatatan secara hukum Negara, maka anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut tidak dapat dibuktikan secara hukum merupakan anak sah dari ayahnya. Akibatnya, si anak hanya memiliki hubungan hukum dengan ibu yang melahirkannya.

Dari lima rukun nikah itu, tak ada seorang ulama (empat mazhab) yang mengemukakan sebuah pernikahan harus dicatat. Sebab, tak ada ditemukan dalil dalam Al-Qur’an dan Hadits Sahih yang secara eksplisit mewajibkan adanya pencatatan nikah. Jadi jika pernikahannya sah sekalipun tidak tercatat, anaknya  tetap dianggap anak sah.

Sebuah Hadits Sahih yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra, Rasulullah bersabda, “Anak hanya bernasab kepada pemilik tempat tidur suami, sedangkan pezina hanya akan memperoleh sial atau batu hukuman.”  Dari hadits itu, dapat dijelaskan anak juga bernasab (hubungan hukum) dengan lelaki yang memiliki tempat tidur yang sah. Sebab, ia adalah suami sah dari ibu kandungnya. Sementara, perzinaan tidak pernah mengakibatkan adanya hubungan nasab anak terhadap bapaknya karena pezina hanya layak diberi hukuman. Jika pernikahan sah, anak yang dilahirkan bernasab pada ibu dan bapaknya, kecuali karena perzinahan anak hanya bernasab dengan ibunya.

Pasal 42 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan definisi bagi anak yang sah yaitu anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

Sedangkan Pasal 250 KUHPerdata menentukan bahwa tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya. Berdasarkan kedua ketentuan di atas, keabsahan suatu perkawinan sangat menentukan kedudukan hukum dari anak-anak, anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya. Berdasarkan kedua ketentuan di atas, keabsahan suatu perkawinan sangat menentukan kedudukan hukum dari anak-anak.

B. Kedudukan Anak Luar Kawin
Berdasarkan Pasal 280 KUHPerdata, seorang anak luar kawin akan memiliki hubungan keperdataan dengan orang tuanya apabila telah diakui secara sah. Dengan demikian, apabila seorang anak luar kawin tidak diakui oleh orang tuanya, maka ia tidak akan memiliki hubungan keperdataan baik dengan bapak maupun ibu biologisnya.

Namun, menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan kedudukan anak luar kawin demi hukum memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya, sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hanya saja, dalam ayat (2) disebutkan bahwa Kedudukan anak luar kawin tersebut akan diatur lebih lanjut dalam suatu peraturan pemerintah yang sampai sekarang belum diundangkan oleh pemerintah.Dengan demikian, berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka berlakulah ketentuan yang lama dalam hal ini KUHPerdata.

Sehingga kedudukan anak luar kawin secara hukum setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tetap diperlukan suatu pengakuan untuk menciptakan hubungan keperdataan antara seorang anak luar kawin dengan orang tuanya.

Pengakuan terhadap anak luar kawin, dapat dilakukan dengan :

  1. Pengakuan sukarela
Pengakuan sukarela yaitu : suatu pengakuan yang dilakukan oleh seseorang dengan cara yang ditentukan undang-undang, bahwa ia adalah bapaknya (ibunya) seorang anak yang telah dilahirkan di luar perkawinan). Dengan adanya pengakuan, maka timbulah hubungan Perdata antara si anak dan si bapak (ibu) yang telah mengakuinya sebagaimana diatur dalam Pasal 280 KUHPerdata.
Pengakuan sukarela dapat dilakukan dengan cara-cara yang ditentukan dalam Pasal 281 KUHPerdata, yaitu :
  1. Dalam akta kelahiran si anak Menurut Pasal 281 ayat (1) KUHPerdata, untuk dapat mengakui seorang anak luar kawin bapak atau ibunya dan atau kuasanya berdasarkan kuasa otentik harus menghadap di hadapan pegawai catatan sipil untuk melakukan pengakuan terhadap anak luar kawin tersebut.
  2. Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat pula dilakukan pada saat perkawinan orang tuanya berlangsung yang dimuat dalam akta perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (2). Jo Pasal 272 KUHPerdata. Pengakuan ini akan berakibat si anak luar kawin akan menjadi seorang anak sah.
  3. Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat dilakukan dalam akta oteintik seperti akta notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (1) KUHPerdata.
  4. Dengan akta yang dibuat oleh pegawai catatan sipil, yang dibutuhkan dalam register kelahiran catatan sipil menurut hari Penanggalannya sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (2) KUHPerdata.

  1. Pengakuan Paksaan
Pengakuan anak luar kawin dapat pula terjadi secara paksaan, yakni dapat dilakukan oleh si anak yang lahir di luar perkawinan itu, dengan cara mengajukan gugatan terhadap bapak atau ibunya kepada Pengadilan Negeri, agar supaya anak luar kawin dalam arti sempit itu diakui sebagai anak bapak atau ibunya, ketentuan ini diatur dalam Pasal 287-289 KUHPerdata.

Anak luar kawin yang dapat diakui adalah anak luar kawin dalam arti sempit, yaitu anak yang terlahir dari ibu dan bapak yang tidak terikat perkawinan yang sah baik di antara mereka maupun dengan orang lain (tidak tergolong anak zina atau anak sumbang).

Menurut KUHPerdata ahli waris yang berhak mewaris dapat dibagi menjadi 4 (empat) golongan, yaitu :
  1. Golongan I : Anak, atau keturunannya dan janda/duda, yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 852, 852a, 852b, dan 515 KUHPerdata.
  2. Golongan II : Orang tua (bapak/ibu), saudara-saudara atau keturunannya, yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam pasal 854, 855, 856, dan 857 KUHPerdata.
  3. Golongan III : Kakek dan nenek, atau leluhur dalam garis lurus terus ke atas, yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 853, 858 ayat (1) KUHPerdata.
  4. Golongan IV : Sanak keluarga di dalam garis menyamping sampai tingkat ke-6 yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 858 ayat (2), 861, 832 ayat (2), 862, 863, 864, 856 dan 866 KUHPerdata.

C. Peran Notaris dalam Pembuatan Akta Warisan untuk Anak Luar Kawin
Perjanjian-perjanjian yang dapat digunakan dan dibuat untuk menyelesaikan sengketa waris apabila terdapat anak luar kawin adalah dengan membuat:
  1. Akta Pembatalan, merupakan akta yang memuat kesepakatan para ahli waris untuk membatalkan Akta Pembagian Waris yang telah pernah dibuat sebelumnya dan untuk kemudian dibuat Akta Pembagian Waris yang baru, dalam akta ini anak luar kawin yang dahulu belum masuk sebagai ahli waris, dicantumkan sebagai ahli waris dengan bagian sesuai yang telah ditentukan oleh undang-undang;
  2. Akta Perdamaian, akta ini merupakan kesepakatan ahli waris untuk menyelesaikan sengketa waris dengan cara bermufakatan, dan membagi waris menurut undang-undang.
  3. Akta Perjanjian Pelepasan Hak Tuntutan, pembuatan akta ini merupakan solusi dari sengketa hak waris dalam pewarisan yang di dalamnya terdapat anak luar kawin yang dahulu pada saat pembuatan Akta Pembagian Waris tidak masuk sebagai ahli waris dan tidak memperoleh haknya. Akta Perjanjian Pelepasan Hak Tuntutan, dibuat tanpa membatalkan Akta Pembagian Waris yang telah dibuat, melainkan dalam akta ini anak luar kawin tersebut membuat pernyataan bahwa ia telah melepaskan segala haknya atas harta warisan dan tidak akan menuntut ahli waris lainnya atas harta warisan. Dalam akta ini juga diperjanjikan untuk itu si anak luar kawin mendapatkan kompensasi dari ahli waris yang lain sesuai dengan kesepakatan di antara para ahli waris.

IV.   Penutup.
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, maka diakuinya anak luar kawin (hasil biologis) sebagai anak yang sah berarti akan mempunyai hubungan waris dengan bapak biologisnya tanpa harus didahului dengan pengakuan dan pengesahan, dengan syarat dapat dibuktikan adanya hubungan biologis antara anak dan bapak biologis berdasarkan ilmu pengetahuan, misalnya melalui hasil tes DNA. Namun demikian, apabila ada penyangkalan mengenai anak luar kawin ini dari anak-anak ahli waris yang sah, menurut saya, maka dalam hal ini tetap perlu dimohonkan Penetapan Pengadilan mengenai status anak luar kawin tersebut sebagai ahli waris yang sah.

Mengharapkan pemerintah dengan putusan MK tersebut membuat sinkronisasi hukum dan peraturan perundang undangan yang berkaitan dengan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya  sehingga tidak menimbulkan pendapat/opini yang tumpang tindih yang menimbulkan banyak masalah baru dan diharapkan penegakkan hukum serta rasa keadilan di masyarakat dapat terwujud.

* Notaris-PPAT-Pejabat Lelang DKI Jakarta, Majelis Pengawas Notaris Daerah Jakarta,Dosen Magister Kenotariatan & Pasca Sarjana Hukum, Dosen Diklat Perbankan/BUMN, Tenaga Profesional Bidang Hukum dan HAM Lemhannas RI
BACA SELENGKAPNYA »»  

Rabu, 26 Desember 2012

definisi nafsu




Definisi nafsu ini juga mengandung banyak pengertian yang hampir serupa. Yang menyangkut dalam pembahasan kami daripadanya ada dua pengertian:

Pengertian pertama, bahwa yang dimaksudkan dengan definisi nafsu ialah pengertian yang menghimpun pada kekuatan marah dan nafsu syahwat pada manusia, yang akan diuraikan pada kesempatan yang lain.

Pemakaian ini adalah yang biasa pada ahli tasawuf, karena yang mereka maksudkan dengan nafs (nafsu) ialah : pokok yang menghimpun akan sifat yang tercela pada manusia.

Lalu mereka berkata, bahwa mau tidak mau harus melawan nafsu dan menghancurkannya. Dalam kaitan ini Nabi Muhammad saw memberi isyarat dengan sabdanya:

“A’daa ‘aduwwika nafsuka-allatii baina janbaika.”

Artinya: “Musuhmu yang terbesar, nafsumu yang berada diantara dua lambungmu.”

Pengertian kedua, yaitu: yang halus (lathifah) yang telah kami sebutkan diatas, dimana pada hakekatnya, itulah manusia. Yaitu : diri manusia dan zatnya. Tetapi disifatkan dengan bermacam-macam sifat, sesuai dengan keadaannya.

Apabila dia itu tenang, dibawah perintah dan jauh dari kegoncangan disebabkan karena tantangan dari nafsu syahwat, maka dinamakan nafsu muthmainnah (diri atau jiwa yang tenang). Allah Ta’ala berfirman tentang contohnya:

“Yaa ayyatuhannafsul muthmainnatu, irji’ii ilaa rabbiki raadliyyatan mardliyyah.”

Artinya : “Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah pada Tuhanmu, dengan merasa senang (kepada Tuhan), dan (Tuhan) merasa senang kepadanya.”

Nafsu (jiwa) menurut pengertian yang pertama, tidaklah tergambar kembalinya kepada Allah Ta’ala, malahan menjauhi dari Allah, dan dia itu termasuk golongan syetan.

Apabila tidak sempurna ketenangannya, akan tetapi jadi pendorong pada nafsu syahwat, maka dinamakan nafsu lawwamah (jiwa yang mencela). Karena jiwa itu mencela tuannya karena teledor dalam menyembah Tuhannya. Tuhan berfirman:

“Wa laa uqsimu bin nafsil lawwamah.”

Artinya: “Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat mencela (pada kejahatan).”

Kalau nafsu (jiwa) itu meninggalkan tantangan, tunduk dan patuh menurut kehendak nafsu syahwat dan panggilan syetan, maka dinamakan : nafsu yang menurut kepada sesuatu yang jahat (an nafsul ammarah bissuu’).

Dalam kaitannya dengan nafsu ammarah ini, Allah berfirman, menceritakan tentang Yusuf as. atau isteri seorang pembesar Mesir yang membujuk Yusuf as. :

“Wa maa ubarriu nafsii, inan nafsa la ammaaratun bis suu-i.”

Artinya: “Dan aku tidaklah membebaskan diriku (dari kesalahan) karena sesungguhnya nafsu itu cenderung kepada menyuruh yang buruk.”

Kadangkala boleh dikatakan bahwa yang dimaksud dengan suka menyuruh kepada yang buruk itu, ialah : nafsu dengan pengertian pertama. Jadi, nafsu dengan pengertian pertama itu, sangat tercela.

Sedangkan nafsu dengan pengertian yang kedua amatlah terpuji, karena dia adalah nafsu (diri) manusia. Artinya : zat dan hakekatnya, yang mengetahui Allah Ta’ala dan pengetahuan-pengetahuan lainnya.

(Sumber: Al-Ghazali Dalam Kitab Rahasia Keajaiban Hati).
BACA SELENGKAPNYA »»  

Definisi akal

Ini juga bisa diartikan menjadi bermacam-macam yang telah kami sebutkan pada “Kitab Ilmu.” Yang menyangkut dengan maksud kami dari jumlah pengertiannya, ialah dua pengertian:

Pengertian pertama, kadangkala ditujukan dan dimaksudkan dengan akal itu: pengetahuan tentang hakekat segala keadaan. Maka akal itu, ialah ibarat dari sifat-sifat ilmu, yang tempatnya terdapat dalam hati. Pengertian yang kedua ialah: yang memperoleh pengetahuan itu. Itu adalah “hati”, yakni yang halus itu.

Kita mengetahui, bahwa tiap-tiap orang yang berilmu, maka ia memiliki wujud pada dirinya, yaitu: pokok yang berdiri dengan sendirinya. Ilmu adalah suatu sifat yang bertempat padanya. Ia (sifat) bukanlah benda yang disifatkan. Seringkali akal itu diartikan: sifat orang yang berilmu. Kadang-kadang pula: tempat pengetahuan, yakni: yang mengetahui barangkali inilah yang dimaksud dengan sabda Nabi Muhammad saw:

“Awwalu maa khalaqallaahul ‘aqlu.”

Artinya: “Yang pertama dijadikan oleh Allah adalah akal.”

Sesungguhnya ilmu itu ialah sifat (‘Aradl), yang tidak tergambar bahwa dia itu adalah makhluq yang pertama. Akan tetapi, tidak boleh tidak, bahwa tempat itu yang dijadikan sebelum ilmu atau bersama ilmu. Karena itu tidak mungkin ditujukan perkataan kepada ilmu. Dalam salah satu riwayat, Allah Ta’ala berfirman kepada akal: “Menghadaplah!” lalu ia menghadap. Kemudia Allah berfirman kepada akal: “Membelakanglah!” lalu ia membelakang.....(al-hadits).

Jadi, sesungguhnya telah terbuka bagi kita, bahwa pengertian nama-nama tersebut itu ada. Yaitu hati jismani (hati yang berbentuk jisim), roh jismani (berbentuk jisim) nafsu syahwat dan ilmu.

Inilah empat pengertian yang ditujukan empat “kata.” Dan pengertian kelima, yaitu: yang halus dari manusia, yang mengetahui dan merasa. Dari perkataan yang empat itu keseluruhannya, banyak sekali yang datang pemakaiannya pada yang halus itu.

Jadi perkataan empat mengandung lima pengertian. Tiap-tiap perkataan, ditujukan kepada dua pengertian. Kebanyakan ‘ulama telah meragukan mereka, perbedaan kata tersebut dan kebiasaan pemakainya. Karena itu Anda akan melihat mereka, mengemukakan tentang goresan-goresan hati (al khawathir).

Mereka lalu mengatakan: ini goresan akal, ini goresan jiwa, ini goresan hati, dan ini goresan nafsu (diri). Orang yang memperhatikan, tidak akan tahu perbedaan-pengertian nama-nama itu. Guna menyingkap tabir dari yang demikian itu, maka kami telah mendahulukan dalam menguraikan nama-nama tersebut.

Bila perkataan qalbu (hati) tersebut didalam Al Qur’an dan Sunnah, maka yang dimaksudkan ialah pengertian yang dipahami dari manusia dan yang mengetahui akan hakekat sesuatu. Kadang-kadang dengan bahasa sindiran (kinayah), disebutkan hati itu, akan tetapi yang didalam dada, karena di antara yang halus itu dan antara jisim hati, ada kaitan khusus. Dan yang halus itu, walaupun ada sangkut pautnya dengan seluruh tubuh dan dipakai untuk seluruh tubuh, akan tetapi ia bersangkutan dengan tubuh itu, dengan perantara hati.
                           

Oleh karena itu, yang pertama sangkutannya dengan hati. Seakan-akan hati itu merupakan tempatnya dari yang halus (lathif) tersebut, baik kerajaannya, alamnya dan binatang kendaraannya. Karena itu, maka Sahl At Tusturi menyerupai hati dengan ‘Arasy dan dada dengan Kursy. Ia mengatakan: hati itu ialah ‘Arasy, sedang dada itu ialah Kursy. Tak seorang pun menyangka, bila ia berpendapat , bahwa itu ‘arasy Allah dan Kursy-Nya, karena demikian adalah mustahil.

Ia bermaksud bahwa hati itu kerajaan-Nya serta saluran pertama untuk mengatur dan memperlakukannya. Maka keduanya (hati dan dada) dibandingkan kepada manusia, adalah ibarat ‘Arasy dan Kursy dibandingkan kepada Allah Ta’ala. Penggambaran semacam ini tidaklah lurus, kecuali ditinjau dari beberapa segi. Uraian ini tidak relevant dengan tujuan kita sekarang. Maka dari itu hendaklah kita lampaui saja.

(Sumber: Al-Ghazali Dalam Kitab Rahasia Keajaiban Hati).
BACA SELENGKAPNYA »»  

qolbu

Qalbu atau hati adalah merupakan sarana untuk ma’rifah (mengenal) Allah dan bukan anggota badan yang lain. Dengan hati manusia mendekati (taqarrub) kepada Allah, dan dengan hati pula manusia mengenal Allah.

Sebaliknya anggota badan hanyalah sekedar pengikut, pelayan dan alat yang di gunakan oleh hati. Ia di pakainya laksana penilik memakai budaknya, pemimpin menerima layanan rakyatnya, dan pekerja bagi perabotnya.

Manakala manusia itu selamat sejahtera dari selain Allah, maka hatilah yang di terima di sisi-Nya. Hati akan memperoleh kemenangan dan kebahjagiaan, apabila ia mau dan mampu mensucikan dirinya. Sebaliknya, ia akan terhijab (terhalang, terdinding) dari Allah, manakala tergiur, atau tenggelam pada selain dari-Nya. Lebih-lebih ia akan memperoleh kekecewaan dan kesengsaraan, manakala hatinya kotor dan rusak.

Apabila manusia telah mengenal hatinya, maka berarti manusia itu mengenal dirinya. Konklusinya, bila hati tidak di kenal manusia, maka manusia tidak mengenal dirinya. Begitu pula, apabila manusia tidak mengenal dirinya, maka ia tidak akan mengenal akan Tuhannya. Dan barangsiapa tidak mengenal hatinya, maka ia lebih tidak mengenal lagi akan lainnya, karena kebanyakan manusia, tidak mengetahui hatinya dan dirinya sendiri.

Orang tidak mengenal hatinya untuk bermuraqabah, menjaga dan mengintip apa yang tampak dari dan dalam gudang alam malakut, maka orang tersebut termasuk dalam golongan sebagaimana di firmankan Allah dalam Al-qur’an:

Artinya: “Mereka yang telah melupakan Allah, lalu Allah melupakan mereka kepada dirinya sendiri. Itulah orang-orang yang fasiq.”

Mengenal hati, hakekat dan sifat-sifatnya itu adalah pokok agama dan merupakan sendi bagi orang-orang yang sedang menekuni jalan menuju Allah (salik).
BACA SELENGKAPNYA »»  

Definisi Roh

b. Definisi roh (nyawa) ini mengandung dua pengertian, yakni: Pertama: tubuh halus (jisim lathif). Sumbernya adalah lubang hati yang bertubuh, lalu tersebar dengan perantaraan urat-urat yang memanjang ke segala bagian tubuh yang lain.

Mengalirnya dalam tubuh, membanjirnya cahaya hidup, perasaan, penglihatan, pendengaran dan penciuman daripadanya karena anggota-anggota itu, menyerupai memancarnya cahaya lampu-lampu yang mengelilingi sudut-sudut rumah. Sesungguhnya cahaya itu tidak sampai kepada sebagian dari rumah, akan tetapi terus disinarinya.

Hidup tak ubahnya seperti cahaya yang kena pada dinding. Nyawa (roh) adalah seperti lampu. Jadi perjalanan nyawa dan bergeraknya pada bathin, adalah seperti bergeraknya lampu pada sudut-sudut rumah, dengan digerakkan oleh penggeraknya.

Para dokter, bila mereka menyebutkan secara mutlak “roh” (nyawa), maka yang dikehendaki oleh mereka ialah definisi ini. Yaitu: uap yang halus, yang dimasakkan oleh kepanasan hati (al qalb). Kami tidak bermaksud menguraikan ini, karena adalah merupakan wewenang dokter dalam usaha mengobati tubuh.

Adapun tujuan dokter agama, ialah mengobati hati agar terbawa ke sisi Tuhan Seru Sekalian Alam dan tidak sekali-kali menyangkut pembahasan nyawa itu.

Pengertian yang kedua, yaitu: yang halus dari manusia yang mengetahui dan merasa (al-lathifah-al-‘alimah-al mudrikah minal insan). Inilah yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala didalam firmanNya:

“Qulir ruukhu min amri rabbii.”

Artinya: “Jawablah! Nyawa (roh) itu termasuk urusan Tuhanku.”

(Membahas) masalah itu  adalah menyangkut urusan ketuhanan yang maha menakjubkan, melemahkan kebanyakan akal dan paham daripada mengetahui hakekatnya.

(Sumber: Al-Ghazali Dalam Kitab Rahasia Keajaiban Hati).

BACA SELENGKAPNYA »»  

Jumat, 21 Desember 2012

Tahlilan, Maulidan, yasinan, kok dianggap “Bid’ah” kenapa? Alasanya? Dalilnya ?

Tahlilan, Maulidan, yasinan, kok dianggap “Bid’ah” kenapa? Alasanya? Dalilnya ?


bismillahirahmanirahim
kawanku semua yang dirahmati Allah, banyak seakali diantara kita yang membidahkan acara tahlilan dan yasinan, acara tahlilan hari ke 7, 40, 100 dan 1000. padahal tahlilan dan yasinan adalah tuntunan para wali songo, orang yang sangat berjasa besar dalam penyebaran islam di indonesia, dakwah mereka melalui kultural dan budaya, mendekati dari hati ke hati sehingga orang berbondong-bondong masuk islam karena keihlasana hatinya bukan sebuah keterpaksaan. untuk itu yang masih mengganggap itu sesat dan akan masuk neraka, alangkah baiknya kita kaji dimana sesatnya…? dalilnya kuat gak? tafsiranya sesuai gak… sanadnya ada gak?  ato sekedar menafsirkan dan menyomot dalil yang gak jelas. ingat ulama itu pewaris para nabi, ilmu para walisanga jauh lebih tinggi daripada ilmu kita, dan jasa mereka sangat besar , kita pun gak mampu menyamainya? lantas apakah kita serta merta membidahkan apa yang mereka ajarkan? sungguh sombongnya kita, jika demikian…
mari kita kaji bersama, saya sangat senang berdiskusi… ayo kita berdiskusi
jangan cuma asal ikut sana, ikut sini..  tanpa tahu dari mana asalanya.. sepeti mengikuti gerakan Wahabi yang berkembang di Indonesia yg berasal dari Arab Saudi. Tujuan mereka ingin mengajarkan pemurnian Islam versi mereka, versi mereka lho, bukan mengikuti rosulullah to maghdab 4, sementara ajaran lain dianggap tidak benar dan harus diperangi. aliran Wahabi cukup berbahaya dan mengancam kelangsungan hidup Islam. Sebab aliran ini banyak menjalakan amalan-amalan yang justru tidak sejalan dengan ajaran Islam.
perlu diingat saja. AL Hafidh adalah Ahli hadits yg hafal lebih dari 100.000 hadits dengan sanad dan hukum matannya, dan Al Hujjah adalah yg hafal lebih dari 300.000 hadits dengan sanad dan hukum matannya, sebagaimana Imam Nawawi yg telah melebih derajat Al hujjah sehingga digelari Hujjatul Islam, demikian pula Hujjatul Islam Imam Ghazali, demikian pula Hujjatul Islam Imam Ibn Hajar AL Asqalaniy dan banyak lagi,
dan Imam Ahmad bin Hanbal (hambali) ia hafal 1 juta hadits berikut sanad dan hukum matannya, dan ia adalah Murid Imam Syafii, dan ia berkata : “tak kulihat seorangpun lebih menjaga hadits seperti Imam Syafii.
wahabi itu tak satupun yg sampai jadi ahli hadits.
mereka juga tak punya sanad, berkata para ahli hadits: “Tiada ilmu tanpa sanad”
kita ahlussunnah waljamaah tak mau ilmu yg tak ada sanadnya, kita bicara syariah kita punya sanad, kita bicara tauhid kita punya sanad, kita bicara hadits kita punya sanad kepada para ahli hadits, kita punya sanad kepada Imam Bukhari, kita punya sanad kepada Kutubussittah, kita bicara fiqih madzhab kita punya sanad kepada Imam Imam Madzhab.
mereka wahabi itu tak punya sanad, hanya nukil nukil dari buku, lalu mengaku sebagai ahli hadits, padahal dalam pendapat para ahli hadits tidak diterima ucapan nukil nukil, mesti ada sanad periwayatnya, menurut para ahli hadits tak bisa kita shalat lihat dari buku, tapi mesti : “aku rukuk melihat si fulan seperti ini ruku’nya, dan aku tahu dia orang terpercaya, aku tahu dia shalih, aku tahu dia berilmu, aku tahu dia tsiqah, aqil,. baligh, dan rasyiid (bisa dipercaya untuk diikuti), dan aku tahu bahwa dia itu ruku’nya mengikuti gurunya, si fulan, yg juga orang mulia, dan gurunya itu rukuk mengikuti gurunya lagi yaitu…., demikian hingga Rasulullah saw.
dengan cara ini baru ruku kita diterima, kalau tak punya riwayat maka dhoif, omongannya tak didengar, fatwanya tertolak, dan ucapannya tak bisa dijadikan rujukan fatwa,
inilah keadaan kita ahlussunnah waljamaah, kita lihat guru kita, bukan nukil dari buku, demikian dalam pelbagai ibadah kita punya guru, berbeda dengan mereka, tak punya guru, hanya nukil nukil dari buku lalu berfatwa,
lalu yg lucu, mereka mengaku merekalah madzhab ahlul hadits ,ini seperti orang yg membuka kursus meenjahit padahal ia sendiri tak tahu menjahit itu apa.
maka berhati-hatilah kawan atas dampak ajaran wahabi yangt berada diindonesia.. yang selalu membidahkan segala aspek maslah… mari kita kaji dulu bersama
sebuah kisah menarik bacalah dengan seksama…….
Disebuah desa di daerah Banyuwangi, terdapat seorang Kyai yang cukup disegani dan memiliki lembaga pendidikan dengan jumlah santri yang cukup banyak, sebut saja Kyai Fulan. Kyai Fulan, tampaknya kurang begitu puas dengan ilmu yang diperoleh dari berbagai pondok pesantren yang pernah ia singgahi waktu muda dulu. Dia mempunyai seorang putra yang ia gadang-gadang menjadi penggantinya kelak jika ia sudah menghadap Sang Pencipta.
Sebagai calon pengganti si Anak -sebut saja Gus Zaid- ia ‘titipkan’ pada lembaga-lembaga pendidikan agama yang dibilang favorit di negeri ini. Dikatakan favorit, karena lembaga ini dikelola dengan manajemen yang rapi, dan moderen, juga ditangani oleh guru-guru yang ‘alim’ lulusan universitas-universitas di Arab Saudi, negara tempat Islam dilahirkan.

Saat Gus Zaid masih dalam penyelesaian pendidikannya di lembaga favorit itu, Kyai Fulan wafat. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Gus Zaid pun diminta pulang oleh keluarganya.
Seperti lazimnya adat kalangan NU, upacara pemakaman Kyai Fulan dilakukan dengan tradisi-tradisi yang indentik dengan kalangan nahdliyin. Ketika Gus Zaid sampai di rumah dan melihat acara pemakaman yang sedang berlangsung, ia kaget dan menahan amarah, karena semua acara yang dilaksanakan dianggapnya bid’ah. Tapi saat ini ia mampu bersabar.
Saat seorang Kyai tetangga yang juga teman Kyai Fulan, –sebut saja Kyai Umar– memberikan sambutan atas nama wakil tuan rumah, ketika jenazah akan diberangkatkan, setelah bicara ini dan itu, ia menyampaikan bahwa nanti malam sampai malam ke-7 kematian Kyai Fulan akan diadakan acara tahlilan setelah maghrib. Mendengar hal itu, Gus Zaid yang semenjak kedatangannya sudah memendam amarah dan kebencian, tanpa ba bi bu, ia langsung menyambar mikrofon dari Kyai Umar dan berkata: “Tidak ada tahlil bagi bapakku malam nanti. Tahlil adalah bid’ah dan doa orang yang masih hidup untuk orang yang telah meninggal dunia tidak sampai, wa an laysa lil insani illa ma sa’a. Sekian terima kasih!”. Lalu ia berikan lagi mikrofon itu kepada Kyai Umar.
Para pelayat tersentak kaget. Kyai Umar hanya tersenyum dan melanjutkan sambutannya. “Benar saudara-saudaraku sekalian, wa an laysa lil insani illa ma sa’a. Karena Gus Zaid sudah mengatakan demikian, maka nanti malam dan seterusnya tahlil tidak diadakan. Sekarang mari kita berdoa semoga Kyai Fulan di siksa dalam Kubur!. Semoga dosa-dosa tidak terampuni, semoga dia menjadi bahan bakar api neraka dan tidak pernah dimasukkan ke dalam Surga!”.
Para pelayat serentak meneriakkan, “Amiiiiin!”.
Gus Zaid: “?????”. “Kok mendoakan begitu untuk bapakku”.
Kyai Umar dengan enteng menjawab: “Kan Allah berfirman, wa an laysa lil insani illa ma sa’a?”.
Gus Zaid: Ya sudah nanti malam tahlilan…..!

Sampainya Do’a Kepada Orang Yg Sudah Meninggal

Fadhilatusy Syaikh asy-Sya’raawi dalam himpunan fatwanya “al-Fatawa” mukasurat 201-202 menyatakan seperti berikut:-
  • Telah disebut oleh asy-Syaikh al-’Adawi rhm. dalam “Masyaariqul Anwaar” bahawasanya:- “Telah sepakat atas sampainya (pahala) sedekah kepada si mati. Tidak ada bezanya sama ada sedekah tersebut dilakukan jauh dari kubur si mati atau dekat. Dan demikian jugalah pada doa dan istighfar.” Dan telah berkata al-Imam al-Qurthubi bahawa telah ijma` sekalian ulama atas sampainya (pahala) sedekah kepada orang-orang mati, dan demikian pula perkataannya pada bacaan al-Quran, doa dan istighfar yang dikuatkannya dengan hadis: ” Dan setiap ma’ruf itu adalah sedekah“. Demikian lagi dikuatkannya dengan hadis Junjungan s.a.w.: ” Orang mati itu di dalam kuburnya seperti orang lemas yang meminta-minta pertolongan. Dia menunggu doa berhubungan dengannya daripada saudaranya atau sahabatnya, maka mendapat doa tersebut adalah lebih baik baginya dari dunia seisinya.” Dan juga dalil atas sampainya pahala tadi ialah hadis Junjungan s.a.w.: “Sesiapa yang melalui perkuburan lalu membaca Suratul Ikhlash 11 kali, kemudian dihadiahkan pahalanya kepada orang-orang mati, dikurniakan pahala baginya sebanyak bilangan orang-orang mati tersebut.” Adalah al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata:- “Apabila kamu memasuki kawasan perkuburan, maka kamu bacalah al-Fatihah dan al-Mu`awwidzatain dan Suratul Ikhlash dan kamu jadikanlah pahala yang sedemikian itu buat ahli kubur tersebut, maka bahawasanya pahala tersebut sampai kepada mereka.”
Tok Syaikh Daud al-Fathani pula dalam “Bughyatuth Thullab” juzuk 2 mukasurat 33 menulis:-
  • (Faedah) Telah datang daripada salaf bahawasanya barangsiapa membaca surah Qul Huwa Allahu Ahad sebelas kali dan dihadiahkan pahalanya bagi ahli kubur , diampun Allah ta`ala dosanya dengan sebilang-bilang orang yang mati di dalam kubur itu dan riwayat yang lain diberi akan dia pahala sebilang orang yang mati padanya.
Sa’ad Azzanjani meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah RA dengan hadits marfu’:
BARANG SIAPA MEMASUKI PEKUBURAN KEMUDIAN MEMBACA FATIHAH,QUL HUWALLOHU AHAD,ALHA KUM ATTAKATSUR KEMUDIAN DIA BERKATA: YA ALLAH AKU MENJADIKAN PAHALA BACAAN KALAMMU INI  UNTUK AHLI KUBUR DARI ORANG-ORANG MU’MIN,MAKA AHLI KUBUR ITU AKAN MENJADI PENOLONGNYA NANTI DI HADAPAN ALLAH SWT…..
Abdul Azizi Shahib Al-kholllal meriwayatkan dengan sanadnya dari Anas dalam hadits  marfu’:
NABI SAW BERSABDA:
BARANGSIAPA YANG MEMASUKI PEKUBURAN KEMUDIAN DIA MEMBACA YASIN, MAKA ALLAH AKAN MERINGANKAN SIKSAAN MEREKA,DAN DIA AKAN MENDAPATKAN PAHALA AHLI KUBUR TERSEBUT…...
kawanku semua yang baik
ada orang yang bertanya kepada habieb lutfi pekalongan. Saya pernah membaca buku yang menyatakan sesatnya tarekat dan mengharamkan membaca sholawat. Saya bingung, bagaimana mungkin sebuah komunitas zikir disebut sesat. Alasannya, tak ada tuntunan Rasulullah. Saya semakin bingung lagi. Pertanyaan saya, begitu sempitkah ajaran Islam itu sehingga semuanya harus mengikuti Rasulullah? Menurut saya, tarekat juga membaca wirid yang diajarkan Rasulullah. Dan menurut sebuah hadist, Allah swt dan malaikat pun bersholawat kepada Rasulullah saw. Hanya karena dikelompokkan dan kemudian berzikir secara bersamaan dalam sebuah kelompok disebut sesat dan bid’ah? Mohon penjelasan, apa batasan bid’ah itu? Apakah juga untuk semua hal, termasuk wirid secara bersama-sama? Terima kasih. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Jabir Ibnu Hayyan
jawaban habieb.
Islam adalah agama yang universal. Ini dapat dibuktikan dengan keuniversalan Al-Qur’an. Orang yang mempelajari Al-Qur’an atas dasar keuniversalannya justru akan selalu melihat bahwa manusia perlu dimodernisasikan. Untuk itu paling tidak diperlukan dan dibekali ilmu yang cukup dalam mempelajari Al-Qur’an.
Islam itu luwes. Sebab kejadian yang tidak terjadi di zaman Rasulullah bisa saja terjadi di zaman para sahabat. Demikian pula, kejadian yang tidak terjadi di zaman sahabat, bisa terjadi di zaman tabi’in yaitu orang-orang yang hidup pada generasi setelah para sahabat Nabi (saw), dan begitupun seterusnya.
Mestinya para ulama itu dapat memberikan jawaban sesuai dengan generasinya karena adanya sebuah perkembangan zaman. Namun itu bukan berarti bahwa Al-Qur’an tidak bisa menjawab persoalan. Al-Qur’an siap menjawab persoalan sepanjang masa. Tapi siapakah yang sanggup memberi penjelasan jika tanpa dibekali ilmu Al-Qur’an yang cukup.
Misalnya saja, pada zaman Rasulullah, pencangkokan mata, ginjal dan sebagainya belum terjadi. Namun, kemungkinan ilmu-ilmu untuk mencangkok sudah ada. Tapi peristiwa itu secara syariat di zaman Rasul belum ada. Mungkin saja terjadi di suatu zaman, contohnya ada seseorang memerlukan kornea mata, dan ahli medis siap untuk melakukannya sebagai sebuah ikhtiar. Untuk orang yang bersangkutan, apakah ini tidak dibenarkan?
Untuk masalah zikir, siapa yang bilang tidak ada ajaran tentang zikir dari Rasulullah. Misalnya, satu Hadist Qudsi -Hadist yang diyakini sebagai firman Allah, bukan ucapan Nabi (saw)- menyebutkan, diriwayatkan oleh Imam Ali Ridha, “Kalimat La ilaha Illallah itu benteng-Ku. Barang siapa mengucapkan kalimat La ilaha Illallah berarti orang itu masuk ke dalam pengayoman-Ku (dalam benteng-Ku). Dan barang siapa yang masuk ke dalam benteng-Ku, berarti amanlah mereka dari siksa-Ku.” Apakah ini tidak bisa dianggap sebagai tuntunan?
Selanjutnya, mohon maaf, sebelum Anda ikut-ikutan mengatakan bahwa tarekat itu sesuatu yang bid’ah, ada baiknya Anda mempelajari dulu perihal tarekat. Setelah itu melaksanakan ajaran dalam tarekat tersebut dalam kehidupan Anda sehari-hari. Jadi bukan hanya bersumberkan pada pertanyaan tadi. Lebih dari itu, melaksanakan tarekat sesuai ajaran dan kaidah yang ada dalam tarekat. Nanti Anda akan langsung mengetahui, termasuk siapa ulama-ulama itu, tepat atau tidak bila seorang ulama itu telah mengatakannya sebagai bid’ah.
Apakah sejauh itu prasangka kita pada ulama-ulama? Seolah-olah ulama-ulama itu tidak mengerti dosa, dan hanya kita sendiri yang mengerti bid’ah?
Harap diingat, melihat figur jangan sampai dijadikan ukuran. Sebab sebuah figur belum merupakan orang yang alim. Makanya syarat orang yang mengikuti tarekat itu, haruslah mengetahui arkan al-iman (rukun iman) dan Islam. Mengetahui batalnya shalat, rukun shalat, rukun wudhu, batalnya wudhu, dan sebagainya. Juga mengetahui sifat-sifat Allah yang wajib dan yang jaiz, juga tahu sifat para rasul, membedakan barang halal dan haram. Setelah itu baru dipersilahkan mengikuti tarekat. Itulah dasar kita masuk tarekat. Bukan suatu yang bersifat ikut-ikutan. Sedangkan orang yang masuk terkadang tertarik oleh sebuah ritus, termasuk mendekatkan diri pada ulama. Tetapi di dalam dirinya masih ada banyak kekurangan, sehingga apa yang sebenarnya bukan merupakan ajaran sebuah tarekat, terpaksa dilakukan. Seperti, kita menjalankan tarekatnya namun justru meninggalkan yang wajib. Sekali lagi harus diingat, tarekat adalah buah shalat. Bukan sebaliknya.
 
 kawanku semua yang baik
Imam Syafi’i rahimahullah,seorang ‘ulama besar pendiri madzhab syaafi’iyyah,mendefinisikan, bid’ah sbb,
ما أحدث يخالف كتابا أو سنة اأو أثرا أو اجماعا, فهذه البدعة الضلالة. وما أحدث من الخير, لا خلاف فيه لواحد من هذه الأصول, فهذه محدثة غير مذمومة.
“ Bid’ah adalah apa-apa yang diadakan yang menyelisihi kitab Allah dan sunah-NYA, atsar, atau ijma’ maka inilah bid’ah yang sesat. Adapun perkara baik yang diadakan, yang tidak menyelisihi salah satu pun prinsip-prinsip ini maka tidaklah termasuk perkara baru yang tercela.”
Imam Ibnu Rojab rahimahullah dalam kitabnya yang berjudul “ Jami’ul Ulum wal Hikam “ mengatakan bahwa bid’ah adalah,
ما أُحْدِثَ ممَّا لا أصل له في الشريعة يدلُّ عليه ، فأمَّا ما كان له أصلٌ مِنَ الشَّرع يدلُّ عليه ، فليس ببدعةٍ شرعاً ، وإنْ كان بدعةً لغةً ،“ Bid’ah adalah apa saja yang dibuat tanpa landasan syari’at. Jika punya landasan hukum dalam syari’at, maka bukan bid’ah secara syari’at, walaupun termasuk bid’ah dalam tinjauan bahasa.”
Tahlil telah menjadi perdebatan yang sampai sekarang belum belum menacpai kesepakatan. Tanpa ikut berpolemik, sedikit kami urai permasalahan tahlil dan tawassul yang menurut sebagian orang dianggap bid’ah dan syirik.
Arti tahlil secara lafdzi adalah bacaan kalimat Thayyibah (لااله الا الله). Namun kemudian kalimat tahlil menjadi sebuah istilah dari rangkaian bacaan beberapa dzikir, alqur’an dan do’a tertentu yang dibaca untuk mendo’akan orang yang sudah mati. Ketika diucapkan kata-kata tahlil pengertiannya berubah seperti itu.
Tahlil pada mulanya ditradisikan oleh Wali Sanga. Seperti yang telah kita ketahui, yang paling berjasa menyebarkan ajaran Islam di indonesia adalah Wali Sanga. keberhasilan da’wah Wali Sanga ini tidak lepas dari cara dakwahnya yang mengedepankan metode kultural atau budaya. Wali Sanga mengajarkan nilai-nilai Islam secara luwes mereka tidak secara frontal menentang tradisi tradisi hindu yang telah mengakar kuat di masyarakat, namun membiarkan tradisi itu berjalan hanya saja isinya diganti dengan nilai nilai islam, tradisi dulu bila ada orang mati maka sanak famili dan tetangga berkumpul dirumah duka yang dilakukan bukannya mendo’akan simati malah bergadang dengan bermain judi atau mabuk mabukan.
Wali Sanga tidak serta merta membubarkan tradisi tersebut, masyarakat dibiarkan tetap berkumpul namun acaranya diganti dengan mendoakan pada mayit, jadi tahlil dengan pengertian diatas sebelum Wali Sanga tidak dikenal.
1. Kalau begitu Tahlil itu bid’ah! Setiap perbuatan bid’ah sesat ! setiap sesat masuk neraka?
Tunggu dulu, anda berada didepan Komputer ini juga bid’ah sebab tidak pernah di kerjakan oleh nabi S A W kalau begitu anda sesat dan masuk neraka? Akal sesat pasti menolak logika seperti ini. it’s jangan salah menafsirkan bid’ah….
Ulama membagi bid’ah menjadi dua ,bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah , sedangkan bid’ah hasanah sama sekali tidak sesat meskipun tidak pernah dikerjakan oleh nabi jadi ukurannya bukan pernah dikerjakan oleh nabi atau tidak , namun lebih luas dari itu, apakah sesuai dengan syariat atau tidak ! yang dimaksudkan syariat disini tentu saja dalil dalil alquran sunnah ,atsarus shahabah , Ijma’ dan qiyas . jika melakukan sesuatu yang bertentangan dengan dalail dalil tersebut maka sesat.
Sekarang kita lihat apakah dalam tahlil ada yang bertentangan dengan syari’at ? tidak ada, tahlil adalah serangkaian kalimat yang berisi dzikir, bacaan alqur’an, yang disusun untuk sekedar mudah untuk di ingat, biasanya dibaca secara berjemaah yang pahalanya dihadiahkan pada mayit , rangkaian bacaan yang ada mempunyai keutamaan yang mempunyai dasar yang kuat, dari sisi ini jelas tahlil tidak ada yang bertentangan dengan syariat.
Jika yang dipermasalahkan adalah sampai dan tidaknya pahala maka perdebatan tidak akan menemui ujng usai, sebab itu masalah khilafiyah dengan argumen masing masing ada yang mengatakan pahalanya bisa sampai ada yang mengatakan tidak, pendeknya ulama’ sepakat, untuk tidak sepakat  ya sudah jangan dipermasalahkan lagi. itu urusanmu….
Hemat kita urusan pahala adalah hak prerogatif Allah yang tidak bisa di interfensi oleh siapapun. Kita yang membaca tahlil esensinya kan berdo’a semoga pahala bacaan kita disampaikan kepada mayit.
Lepas dari Khilafiyah itu KH Sahal Mahfud, kajen berpendapat bahwa acara tahlilan yang sudah mentradisi hendaknya terus dilestarikan sebagai salah satu budaya yang bernilai islami dalam rangka melaksanakan ibadah sosial sekaligus meningkatkan dzikir kepada Allah.
2. Hukum memberi jamuan dalam tahlilan
Memberi jamuan yang biasa diadakan ketika ada orang mati, itu diperbolehkan. Banyak dari kalangan ulamaa yang mengatakan bahwa semacam itu termasuk ibadah yang terpuji dan , memang, dianjurkan dengan berbagai alasan. Karena hal itu, kalau ditilik dari segi jamuannya adalah termasuk sadaqah”yang, memang, dianjurkan oleh agama menurut kesepakatan ulama’. — yang pahalanya dihadiyahkan pada orang telah mati. Dan lebih dari itu, ada tujuan lain yang ada di balik jamuan tersebut, yaitu,(1) ikramud dlaif (memulyakan tamu) (2) bersabar menghadapi musibah. (3) tidak menampakkan rasa susah dan gelisah kepada orang lain. Ketiga masalah tersebut, semuanaya, termasuk ibadah dan perbuatan taat yang diridlai oleh Allah AWT serta pelakunya akan mendapatkan pahala yang besar.
Dengan catatan biaya jamuan tersebut tidak diambilkan dari harta ahli waris yang berstatus mahjuralaih. Apabila biaya jamuan tersebut diambilakan harta ahli waris yang berstatus mahjuralaih.(seperti anak yatim), maka hukumnya tidak bolehkan.
nah jika harus jual barang berharga dan segala macemnya gimane,?
bukan tahlilanya yang salah, cara orang tersebut menyikapi hakekat tahlilan yang harus diluruskan, itulah yang menjadi polemik masyarakat saat ini..
Namun demikian shadakah itu sama sekali tidak mengurangi nilai pahala sedekah yang pahalanya dihadiahkan pada mayit seperti penjelasan diatas. ada beberapa ulama’ seperti Syaikh nawawi syaikh isma’il dan lain lain menyatakan, bersedekah untuk orang yang telah meninggal dunia itu sunnah(matlub) Cuma hal itu tidak boleh disengaja dikaitkan dengan hari hari yang telah mentradisi di suatu komunitas masyarakat. Malah jika acara tersebut dimaksudkan untuk meratapi mayit, maka haram.
Ma’khod : Nihayatuz zain(281) , I’anatut talibin 11/166
والتصدق عن الميت بوجو شرعي مطلوب ولا يتقيد بكونه فى سبعة ايام او اكثر او اقل وتقييد بعض الايام من العوائد فقط كما افتى بذلك السيد احمد دحلان وقد جرت عادة الناس بالتصدق عن الميت فىثالث من موته وفىسابع وفى تمام العشرين وفى الاربعين وفى المائة وبعد ذلك يفعل كل سنة حولا فى يوم الموت كما افاده شيخنا يوسف السنبلاوى اما الطعام الذى يجتمع عليه الناس ليلة دفن الميت المسمى بالوحشة فهو مكروه مالم يكن من مال اليتام والا فيحرم كذافى كشف اللثام
نهاية الزين 33281
ومنها مسألة مهمة ولأجلها كانت هذه الرسالة. وهي ما يصنعه أهل الميت من الوليمة ودعاء الناس اليها للأكل. فان ذلك جائز كما يدل عليه الحديث المذكور بل هو قربة من القرب لأنه اما أن يكون بقصد جصول الأجر والثواب للميت وذلك من أفضل القربات التي تلجق الميت باتفاق. واما أن يكون بقصد اكرام الصيف والتسلي عن المصاب وبعدا عن اطظهار الحزن وذلك أيصا من القربات والطعاب التي يرضاها رب العالمين وثيب فاعلها ثوابها عظيما وسواء كان ذلك يوم الوفات عقب الدفن كما فعلته زوجة الميت المذكورة فى الحديث أو بعد ذلك وفى الحديث نص صريح فى مشروعية ذلك. الى قوله
وهذا كله كما هو ظاهر فيما اذا لم يوص الميت باتخاذ الطعام واطعامه للمعزين الحاضرين والا فيجب ذلك عملا بوصيته وتطون الوصية معتبرة من الثلث أي ثلث تركة الميت قال فى التحفة-ج 3 ص 208.
قرة العين بفتاوى الشيخ اسماعيل الزين 175 -181
sahabatku yang dirahmati Allah,
kata “tahlilan “ memang didalam masa rosul tidak ada, tapi apa yang dibaca didalam tahlilan rosul mencontohkannya, nah inilah tuntunan, istilahnya memang belum ada, tapi isinya sudah dari dulu Rosul menyuruh kita mengerjakannya, itulah karena pandainya para ulama dalam menyusun suatu isitlah (tahlilan) kemudian mengumpulkan bacaan Al Qur’an, Dzikir, Tasbih, Tahmid, Tahlil, Shalawat dan bacaan lainnya. Dengan kata lain mengadakan acara Tahlilan dengan tujuan untuk memohon kepada Allah SWT., agar kerabat atau keluarga yang telah dipanggil kehadirat-Nya mendapatkan ampunan dan tempat yang layak disisi-Nya, serta berbahagia di alam kubur sana.
lihatlah satu isinya, secara dzahir saja isi daripada tahlilan tersebut sangat baik, karena berisi bacaan-bacaan dari Al Qur’an dan surat-surat yang sudah terkenal tentang fadhilah atau keutamaan surat tersebut, contohnya surat alfatihah..
diriwayatkan oleh sayyidina Ibnu Abbas dalam kitab Shahih Muslim :
أَبْشِرْ بِنُوْرَيْنِ اُوْتِيْتَهُمَا لَمْ يُؤْتَهُمَا نَبِىٌ قَبْلَكَ فَاتِحَةُ الْكِتَابِ وَخَوَاتِيْمُ سُوْرَةِ الْبَقَرَةِ لَنْ تَقْرَأَ بِحَرْفٍ مِنْهُمَا اِلاأَعْطَيْتُهُ [2
“Bergembiralah engkau (Muhammad SAW) dengan dua cahaya yang diberikan kepadamu dan beleum pernah diterima oleh nabi sebelummu yakni surat Al Fatihah dan beberapa ayat terakhir surat Al Baqarah. Tidaklah kamu membaca satu huruf dari keduanya kecuali engkau akan diberi imbalannya. (Shahih Muslim, 1339)
Selain dari surat Al Fatihah masih banyak lagi surat-surat dalam bacaan tahlil yang terkenal akan fadhilah atau keutamaan surat tersebut, seperti surat Al Ikhlas, Al Falaq, Annas dan juga surat Yasin. Disamping itu tahlilan juga memuat do’a-do’a yang diajarkan oleh Rasulullah,
dalam hal ini, siapa yang cerdas jawabnya jelas para ulama, yang lebih paham tentang alquran dan hadist, yang karena kecerdasaan ingin memudahkan bagi orang awam agar selalu mengerjakan amalan baik yang dirangkum dalam wadah tahlilan yang isinya semua dicontohkan rosul saw. mulane yuk do ngaji, ngilangke kebodohan, ngerisiki ati, golek ridhane gusti illahi robby..
dahulu ketika ada salah seorang meninggal dunia, maka yang dilakukan oleh keluarga, kerabat dan para tetangga adalah meratapi si mayit dan melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak baik, seperti bermain kartu, judi dan minum-minuman. Setelah para muballegh datang secara berangsur-angsur, kemudian mereka berusaha dengan sabar dan perlahan-lahan diajak membaca atau mengucapkan kalimah thayyibah dan bacaan-bacaan lainnya. apakah ini tidak baik, jelas ini baik sekali, bagaimana jika tradisi meratapi si mayit dan melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak baik, seperti bermain kartu, judi dan minum-minuman tidak diganti dengan membaca kalimat thayyibah dan doa2 yang baik ?, bisa dipastikan tradisi buruk itu akan diteruskan sampai generasi sekarang, tak bisa membayangkan..
apa sih tahlilan itu ?
Kata tahlil atau tahlilan secara bahasa berasal dari bahasa arab dengan fiil madhi هلل ، يهلل ، تهليلا yang artinya mengucapkan kalimah thayyibah لا اله الا الله .  dengan kata lain yaitu “pengakuan seorang hamba yang mengi’tikadkan bahwa tiada tuhan yang wajib di sembah kecuali Allah semata” Sedangkan menurut istilah tahlilan artinya “bersama-sama mengucapkan kalimah thayyibah dan berdo’a bagi orang yang sudah meninggal dunia
Dalam uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa tahlil adalah bersama-sama melakukan do’a bagi orang yang sudah meninggal dunia yang dilakukan di rumah-rumah, musholla, surau atau majlis-majlis dengan harapan semoga diterima amalnya dan diampuni dosanya oleh Allah SWT. yang sebelumnya diucapkan beberapa kalimah thayyibah, tahmid, tasbih, tahlil dan ayat-ayat suci Al Qur’an.
Indonesia merupakan salah satu Negara yang memiliki bermacam-macam budaya, salah satunya adalah tahlilan. Hal tersebut yang telah dipaparkan oleh almarhum KH. Muchit Muzadi, yang mengatakan petikan hadits, “Waladun Shalihun Yad’u lahu” (anak shaleh yang mendoakan orang tuanya) ini dirangkaikan atau direalisasikan dengan tradisi yang ada di Indonesia. Khususnya di daerah Jawa apabila ada tetangga, kerabat atau saudara yang meninggal dunia, maka para tetangga atau kerabat biasanya “jagongan” (berbincang-bincang). Dengan jagongan itu mereka membicarakan orang, terus “keademen” (kedinginan), mereka cari minuman yang hangat-hangat sambil main kartu dan lain-lain. Tradisi itu berlangsung lama, hingga ketika para mubaligh Islam, Walisongo atau kyai, menerapkan “yad’u lahu” ini dirangkaikan dengan jagongan dan “mele’an” (begadang), yang memang prosesnya lama. Kemudian yang dulunya melean dilakukan dengan minum-minuman dan main kartu kemudian diganti dengan bacaan-bacaan Al Qur’an dan do’a-do’a hingga kemudian muncul apa yang dikenal saat ini dengan istilah tradisi ritual tahlilan
kecerdasan para mubaligh dan keahlian dalam berdialog dan negosiasi dengan agama dan tradisi lokal. Sehingga Islam mudah diterima di Indonesia dengan baik dan bertahan lama, tidak seperti di sebagian Negara eropa yang perkembangan Islam dilakukan dengan cara peperangan, walaupun hasilnya cepat atau maksimal tapi kekuasaan Islam didaerah tersebut tidak berlangsung lama. Seperti di Spanyol, Turki dan lain-lain
Seringkali terjadi ekses (berlebih-lebihan) di dalam pelaksanaan tahlilan, baik mengenai “frekuensi”-nya maupun suguhannya atau ekses dalam sikap batinnya (seperti merasa sudah pasti amal orang yang ditahlili diterima Allah SWT dan segala dosanya sudah diampuni oleh-Nya, kalau sudah ditahlili atau dihauli). Sikap “memastikan” inilah yang bertentangan dengan syari’at agama. Ekses-ekses inilah yang harus menjadi garapan wajib para pemimpin umat, untuk meluruskannya. Memang masih banyak amalan-amalan kaum muslimin yang belum sesuai benar dengan ajaran Islam. Sedangkan agama Islam sudah sempurna, tetapi dalam kenyataanya kebanyakan pengamalan kaum muslimin tidak sesempurna Islam itu. Maka dari itulah tahlilan sering jadi bahan perdebatan bagi kelompok yang tidak setuju dengan tahlilan ataupun kelompok pembaharu yang sengaja ingin membumi hanguskan acara ritual tahlilan karena dianggap sesat, bid’ah dan tidak mempunyai landasan-landasan yang kuat.
Dalam Artikel karangan Drs. KH. Ahmad Masduqi yang berjudul “Ahlu Sunnah Wal Jama’ah dan Ijtihad” Ritual Tahlilan atau upacara selametan untuk orang yang meninggal, biasanya dilakukan pada hari pertama kematian sampai hari ke-tujuh atau bahasa jawanya mitung dina, selanjutnya dilakukan pada hari ke-40, ke-100, ke-satu tahun pertama, kedua, ketiga dan seterusnya, dan ada juga yang melakukan pada hari 1000. Dalam upacara dihari-hari tersebut, keluarga si mayyit mengundang orang untuk membaca beberapa ayat dan surat Al Qur’an, dan szikir seperti : tahlil, tasbih, tahmid, shalawat dan do’a-do’a, pahala bacaan Al Qur’an dan dzikir tersebut dihadiahkan kepada si mayit. Menurut penyelidikan para ahli, upacara tersebut diadopsi oleh para da’I terdahulu dari upacara kepercayaan animisme, agama budha dan hindu yang kemudian diganti dengan ritual yang diambil dari Al Qur’an dan Hadits.
Menurut kepercayaan Animisme, Hinduisme dan Budhisme bila seseorang meninggal dunia, maka ruhnya akan datang kerumah pada malam hari mengunjungi keluarganya. Jika dalam rumah tadi tidak ada orang ramai yang berkumpul-kumpul mengadakan upacara-upacara sesaji, seperti membakar kemenyan, dan sesaji kepada yang ghaib atau ruh-ruh ghaib, maka ruh orang mati tadi akan marah dan masuk (sumerup) kedalam jasad orang yang masih hidup dari keluarga si mayyit. Maka untuk itu semalaman para tetangga dan kawan-kawan atau masyarakat tidak tidur, membaca mantera-mantera atau sekedar berkumpul-kumpul. Hal seperti itu dilakukan pada malam pertama kematian, selanjutnya malam ketiaga, ketujuh, ke-100, satu tahun, dua tahun dan malam ke-1000. ٍSetelah orang-orang yang mempunyai kepercayaan tersebut masuk islam, mereka tetap melakukan upacara-upacara tersebut. Sebagai langkah awal, para da’I terdahulu tidak memberantasnya tetapi mengalihkan dari upacara yang bersipat Hindu dan Budha itu menjadi upacara yang bernafaskan islam. Sesaji diganti dengan nasi dan lauk-pauk untuk shadaqah. Mantera-mantera diganti dengan dzikir, do’a dan bacaan-bacaan Al Qur’an. Upacara seperti ini kemudian dinamakan Tahlilan yang sekarang telah membudaya pada sebagian besar masyaraka
Sebelum agama Hindu, Budha dan Islam masuk ke Indonesia, kepercayaan yang dianut bangsa Indonesia antara lain adalah paham animisme. Menurut paham ini ruh dari orang-orang yang sudah mati itu sangat menentukan bagi kebahagiaan dan kecelakaan orang-orang yang masih hidup di dunia ini. Disamping itu bangsa-bangsa yang menganut paham Animisme ini juga berkeyakinan bahwa ruh orang yang sedang mengalami kematian itu tidak senang untuk meninggalkan alam dunia ini sendirian tanpa teman, dan ingin mengajak anggota keluarganya yang lain.
Untuk itu agar anggota keluarga yang mati itu tidak mengajak keluarga yang lain, maka anggota keluarga yang ditinggal mati itu melakukan hal-hal yang antara lain sebagai berikut:
1. Menyembelih binatang ternak seperti : kerbau, sapi, kambing, babi atau ayam milik si mayyit, agar nyawa binatang tersebut menemani ruh si mayyit, agar ruh si mayyit tidak marah kepada anggota keluarganya.
2. Setelah tiga hari dari kematian, yaitu saat si mayyit yang sudah ditanam di dalam kubur mulai membengkak, di tempat tidur orang yang mati bagi orang jawa di atas buffet yang telah dipasang fotto dari orang yang mati bagi orang cina, diberikan sesaji agar ruh dari orang yang mati tidak marah, demikian pula pada hari ketujuh, keempat puluh, keseratus, satu tahun, dua tahun dan keseribu dari hari kematian.
3. Bagi orang cina, anggota keluarga yang mati itu diinapkan di rumah duka beberapa hari lamanya dan selama itu papan nama dari rumahnya disilang dengan kertas hitam atau lainya untuk mengenalkan kepada ruh si mayyit bahwa rumahnya adalah yang papan namanya diberi silang. Dan setelah si mayyit dikubur, maka tanda silang tersebut di buang, dengan maksud agar apabila ruh si mayyit tersebut pulang kerumahnya, ruh itu tersesat tidak dapat masuk kedalam rumahnya, sehingga tidak dapat menggangu anggota keluarganya.
4. Bagi orang jawa ada yang menyebarkan beras kuning dan uang logam di depan mayyit sewaktu mayyit dibawa ke pekuburan dengan maksud untuk memberitahukan kepada si mayyit bahwa jalanya dari rumah sampai ke pekuburan adalah yang ada beras kuning dan uang logam. Sehingga jika ruh si mayyit ingin pulang kerumah untuk menggangu anggota keluarganya dia tersesat, sebab beras kuning dan uang logam di jalan yang dilaluinya sudah tidak ada lagi Karena beras kuningnya sudah di makan oleh ayam atau burung, sedang uang sudah diambil oleh anak-anak. Adapula yang mengeluarkan jenazah dari rumah tidak boleh melalui pintu rumah, tetapi harus dibobolkan pagar rumah yang segera ditutup kembali setelah jenazah dibawa ke kubur dan lainnya lagi dengan maksud agar ruh si mayyit tidak dapat lagi kembali ke rumah.
Pada waktu agam Hindu dan Budha masuk di Indonesia, kedua agama ini tidak dapat merubah tradisi yang telah dilakukan oleh bangsa Indonesia yang berpaham animisme tersebut, sehingga tradisi tersebut berlangsung terus sampai saat agama Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh para penganjur Islam yang kemudian terkenal dengan nama Wali Songo.
Pada saat Wali Songo datang, tradisi bangsa Indonesia yang telah berurat berakar setelah ratusan dan bahkan mungkin ribuan tahun lamanya, tidak diberantas, tapi hanya diarahkan dan dibimbing sedemikian rupa, sehingga tidak bertentangan dengan pokok-pokok ajaran Islam.
Dengan demikian ritual Tahlil khususnya yang ada di Indonesia, adalah hasil dari negosiasi antara agama pribumi dengan agama Islam yang datang kemudian, , yang dilakukan oleh para ulama dan wali songo, dan mereka tentunya mengerti akan kondisi bangsa Indonesia. karena manusia dimanapun selalu dipengaruhi oleh lingkunganya.
cara mudah untuk memahami islam adalah berfikir,
cobalah engkau berfikri sejenak, isi tahlilan ini, dimana letak tercelanya....
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
اّلتَّهْلِيْل
إِلَى حَضْرَةِ النَّبِيِّ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمِ وَأَلِهِ وَأَزْوَاجِهِ وَأَوْلادِهِ وَذُرِّيَاتِهِ. الفاتحة………..
ثُمَّ إلِىَ حَضْرَةِ إِخْوَانِهِ مِنَ الانبِيَاءِ وَالمُرْسَلِيْنَ وَالاوْلِيَاءِ وَالصَّحَابَةِ وَالتَّابعِيْنَ وَالْعُلَمَاءِ الْعَامِلِيْنَ وَالْمُصَنِّفِيْنَ الْمُخْلِصِيْنَ وَالْمَلَائِكَةِ الْمُقَرَّبِيْنَ خُصُوْصًا سَيِّدِنَا الشَّيْخ عَبْدُالْقَادِرْ الَجَيْلانِى. الفاتحة………………………
ثُمَّ إِلَى جَمِيْعِ أَهْلِ الْقُبُوْرِمِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسلِمَاتِ وَِالمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ مِنْ مَشَارِقِ الارْضِ إلى مَغَارِبِهَا بَرِّهَا وََبَحْرِهَا خُصْوُصًا إلى أبَائِنَا وَأُمَهَاتِنَا وَأَجْدَادِنَا وَجَدَاتِنَا وَمَشِّايَخِنَا وَمَشَايِخِ مَشَايِخِنَا وَأَسَاتِذَاتِنَا وَأَسَاتِذَةِ أَسَاتِذَتِنَا وَلِمَنْ إِجْتِمَعِنَا هَاهُنَا بِسَبَبِهِ. الفاتحة……………………
Dan ada juga yang setelah membaca surat Al Fatihah dilanjutkan dengan membaca Surat Yasin kemudian dilanjutkan dengan surat yang ada dibawah ini.
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1) اللَّهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (4) لأإله إلاالله X 1
لأإلَهَ إلااللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ وَلِلَهِ الْحَمْدُ بِسْمِ اللهِ الْرَّحْمَنِ الْرَّحِيْمِ
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ (1) مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ (2) وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ (3) وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ (4) وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ (5)
لأإلَهَ إلااللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ وَلِلَهِ الْحَمْدُ بِسْمِ اللهِ الْرَّحْمَنِ الْرَّحِيْمِ
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ (1) مَلِكِ النَّاسِ (2) إِلَهِ النَّاسِ (3) مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ (4) الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ (5) مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ (6)
لأإلَهَ إلااللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ وَلِلَهِ الْحَمْدُ بِسْمِ اللهِ الْرَّحْمَنِ الْرَّحِيْمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (1) الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (2) مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (3) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (4) اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (5) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ (6) غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7)
الم (1) ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ (2) الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (3) وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآَخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ (4) أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (5) وَإِلَهُكُمْ إِلَهُ وَّاحِدْ, لَااِلَهَ اِلَّا هُوَ الرَّحْمَنِ الْرَّحِيْمِ
اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ (255) لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَإِنْ تُبْدُوا مَا فِي أَنْفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللَّهُ فَيَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (284) آَمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آَمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ (285) لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ (286)
إِرْحَمْنَا يَاأَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ
رَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهَ عَلَيْكُم أهْلَ الْبَيْتِ إنَّهُ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. إنَمَا يُرِيْدُ اللهِ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهَّرُكُمْ تَطْهِيْرَا.إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (56)اَللَّهُمَّ صَلِّى أَفْضَلَ الصَلَاةِ عَلَى أَسْعَدِ مَخْلُوقَاتِكَ نُوْرِ الْهُدَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ. عَدَدَ مَعْلُوْمَاتِكَ وَمِدَادَ كَلِمَاتِكَ كُلَّمَا ذَكَرَكَ الذَّاكِرُوْنَ. وَغَفَلَ عَنْ ذِكْرِكَ الْغاَفِلُوْنَ . اَللَّهُمَّ صَلىِّ اَفْضَلَ الصَّلَاةِ عَلَى أَسْعَدِ مَخْلُوْقَاتِكَ شَمْسِ الضُّحَى سَيِّدِنَا وَمَوْلانَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ عَدَدَمَعْلُوْمَاتِكَ وَمِدَادَكَلِمَاتِكَ كُلَّمَا ذَكَرَكَ الذَاكِرُوْنَ. وَغَفَلَ عَنْ ذِكْرِكَ الْغَافِلُوْنَ اَللهَّمَ صَلِّى أَفْضَلَ الصَّلَاةِ عَلَى أَسْعَدِ مَخْلُوْقَاتِكَ بَدْرِ الدُّجَى سَيِّدِنَا وَمَوْلَانَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ عَدَدَ مَعْلُوْمَاتِكَ وَمِدَادَ كَلِمَاتِكَ كُلَّمَا ذَكَرَكَ الذَاكِرُوْنَ . وَغَفَلَ عَنْ ذِكْرِكَ الْغَافِلُوْنَ . وَسَلَِّمْ وَرَضِيَ اللهُ تَعََالىَ عَنْ سَادَاتِنَا أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ أَجْمَعِيْنَ . حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الوَكيِلْ. نِعْمَ الَموْلَى وَنِعْمَ النَّصِير. وَلَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إلابِاللهِ العَلِيِّ الْعَظِيْمِ . أَسْتَغْفِرُاللهَ العَظِيْمِ .3X
أَفْضَلُ الذِكْرِ فَاعْلَمْ أَنَّهُ :
لاإله إلاألله ……..حَيٌّ مَوْجُوْد
لاإله إلاألله ……..حَيٌّ مَعْبُوْد
لاإله إلاألله ……..حَيٌّ باَق
لاإله إلاألله ….. X 100
لاإله إلاألله محمد رسولالله
أللهم صلى على سيدنا محمد, أللهم صلى عليه وسلم X 3
أللهم صلى على سيدنا محمد يارب صل عليه وسلم X1
سبحان الله وبحمده . سبحان الله العظيم …….. X7
سبحان الله وبحمده . سبحان الله العظيم وبحمده ….. X3. أللهم صل على حبيبك سيدنا محمد وعلى اله وصحبه وسلم ……… X 3
. أللهم صل على حبيبك سيدنا محمد وعلى اله وصحبه وبرك وسلم أجمعين . الفاتحة ………….
دعا الفاتحة
بِسْمِ اللهَِ الرَحْمَنِ الرَحيْمِ الَحَمْدُ لِلَهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ . اَلَّلهُمَّ صَلِّى عَلَى سَيِّدِنّا مُحَمَّدٍ فِي الاَوَّلِيْنَ . وَصَلِّ وَسَلِّم عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ فِي الاَخِرِيْنَ. . وَصَلِّ وَسَلِّم عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ فِي المَلَاءاِلاَعْلَى إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ . اَللَّهُمَّ اجْعَلْ وَاَوْصِلْ ثَوَابَ مَاقَرَأْنَاهُ مِنَ القُرْأَنِ العَظِيْمِ . وَمَا قُلْنَا مِنْ قَوْلِ لَااِلَهَ اِلَّا الله وَمَا سَبَّحْنَاهُ وَبِحَمْدِهِ . وَمَا صَلَّيْنَاُه عَلَى النَّبِيِّ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم فِى هَذَا المَجْلِسِ المُبَارَك , هَدِيَّةً وَاصِلَةً , وَرَحْمَةً نَازِلَةً , وَبَرَكَةََ شَامِلَةً , وَصَدَقَةً مُتَقَبَّلَةً , نُقَدِّمَ ذَلِكَ وَنُهْدِيْهِ اِلَى حَضْرَةِ سَيِّدِنَا وَحَبِيْبِنَا وَشَفِيْعِيْنَا وَقُرَّةِ أَعْيُنِنَا مُحَمَّدٍ صَلَى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ . ثُمَّ إِلَى أَرْوَاحِ أَبَائِهِ وَإِخْوَانِهِ مِنَ الاَنِبيَاءِ وَالمُرْسَلِيْنَ . صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلَمُهَُ عَلَيْهِ وَعَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ .وَإِلَى رُوْحِ أَلِ كُلِّ وَالصَحَابَةِ وَالقَرَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَّابِعِ التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَاِن إِلَى يَوْمِ الدَّيْنِ . ثُمَّ إِلَى جَمِيْعِ أَهْلِ القُبُوَْرِ مِنَ المُسْلِمِيْنَ وَالمُسْلِمَاتِ وَالمُؤْمِنِيْنَ وَالمًؤْمِنَاتِ الاَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالَامْوَاتِ مِنْ مَشَارِقِ الاَرْضِ إِلَى مَغَارِبِهَابَرِّهَا وَبَحْرِهَا خُصُوصًا إِلَى أَبَائِنَا وَأُمَّهَاتِنَا وَأَسَاتِذَتِنَا وَأَسَاتِذَةِ أَسَاتِذَتِنَا وَلِمَنِ اجْتَمَعْنَا هَاهُنَا بِسَبَبِهِ وَلِاَجْلِهِ اَللَّهُمَّ اغْفِرْلَهُ (لها / لهم ) وَارْحَمْهُ (لها / لهم ) وَعَافِهِ (لها/ لهم ) وَعْفُ عَنْهُ (لها / لهم ) وَوَالِدِيْنَا وَوَالِدِيْهِمْ وَأُصُوْلِهِمْ وَفُرُوْعِهِمْ . اَللَّهُمَّ اجْبُرْانكِسَارَنَا وَاقْبَلِ اعتِذَارَنَا واَخْتِمْ باِلصَّالِحَاتِ أَعْمَالَنَا وَعَلَى الاِيْمَانِ وَالاِسْلَامِ جَمِيْعًا تَوَفنَّاَ . وَأَنْتَ رَاضٍ عَنَّا . وَلَاتُخَيِّبْنَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْلَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ . وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ . سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمِّا يَصِفُوْنَ . وَسَلَامٌ عَلَى المُْرسَلِيْنَ وَ الْحَمْدُ لِلَهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ . الفاتحة…………………
Dalam uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa tahlil adalah perkara yang baik (khair) bukan perkara yang buruk (sayyiah) karena berisikan shalawat, tasbih, tahmid, tahlil dan do’a-do’a yang bagus serta tahlil juga bisa melatih lisan untuk selalu berdzikir kepada Allah
beberapa keutamaan tahlilan yang populer
1. Surat Al Fatihah
روى مسلم في (صحيحه) سنده, عن ابن عباس رضى الله عنهما قال: بينما جبريل قاعد عند النبي صلى الله عليه وسلم سمع نقيضا من فرقه , فرفع رأسه فقال : ((هذا باب من السماء فتح اليوم لم يفتح قط الا اليوم . فنزل منه ملك فقال: هذا ملك نزل الى الارض لم ينزل قط الا اليوم . فسلم وقال: أبشر بنورين أوتتهما لم يؤتهما نبي قبلك , فاتحة الكتاب وخواتيم سورة البقرة . لن تقرأ بحرف منهما الا أعطيتها)).[52]
“Dari Ibnu Abbas RA, ia berkata, ketika Malaikat Jibril duduk bersama Nabi SAW, beliau mendengae suara pintu terbuka dari atasnya. Kemudian Nabi SAW menengadahkan kepala. Malikat Jibril AS lalu berkata, pada hari ini pintu langit dibuka dan belum pernah dibuka sebelumnya. Malaikat turun kebumi yang tidak pernah turun kecuali hari ini. Ia kemudian mengucapakan salam kepana Nabi SAW seraya berkata, bergembiralah engakau (Muhammad SAW) dengan dua cahaya yang diberikan kepadamu dan belum pernah diterima oelh Nabi sebelumnya, yakni surat Al Fatehah dan beberapa ayat terakhir Surat Al Baqarah. Tidaklah kamu membaca satu huruf dari keduanya kecuali engkau akan diberi imbalanya.”
وروى البخري في (صحيحه) بسنده, عن أبي سعيد ابن المعلى رضي الله عنه قال : كنت أصلى, فدعانى النبي صلى الله عليه وسلم فلم أجبه, قلت: يارسول الله إني كنت أصلى, قال : ألم يقل الله (استجيبوا لله وللرسول إذا دعاكم) ثم قال : الا أعلمك أعظم سورة في القرأن قبل أن تخرج من المسجد. فأخذ بيذي, فلما أردنا أن تخرج قلت: يا رسول الله . إنك قلت :لأعلمنك أعلم سورة في القرأن , قال: (الحمد لله رب العالمين) هي السبع المثاني والقرأن العظيم اللذي أوتيته)[54]
“Diriwayatkan dari Abi Sa’id Bin Ma’ali RA, ia berkata, ketika saya sedang shalat, kemudian Nabi SAW memanggil saya kemudian saya tidak menemui Nabi, kemudian saya berkata, ya Rasulallah sesungguhnya saya telah melakukan shalat, kemudian Nabi berkata, bukankah Allah telah berfirman “Istajibu lillahi Wa lirrosuli ida dakum” kemudian Nabi Berkata, maukah kamu saya ajarkan surat yang agung yang ada dalam Al Qur’an sebelum kamu keluar dari masjid”, sambil memegangi tanganku. Kemudian ketika saya hendak keluar maka saya berkata kepada rosul bahwa engakau mau mengajarkan surat kepada saya, maka rasul menjawab, yaitu “Al Hamdu lillahi Rabbil Alamin”. Dia adalah tuju ayat yang diulang-ulang dan juga Al Qur’an yang paling agung yang diberikan kepadaku”.
  1. Surat Al Ikhlas
روى البخرى فى (صحيحه) بسنده عن أبى سعيد الخذرى رضي الله عنه أن رجلا سمع رجلا يقرأ : (قل هو الله أحد) يرددها فلما أصبح جاء إلى النبي صلى الله عليه وسلم فذكر له ذلك وكأن الرجل يتقالها . فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم (والذي نفسي بيده إنها لتعدل ثلث القرأن)[55]
Ada seorang laki-laki mendengar seseoarang laki-laki lain yang sedang membaca surat Al Ikhlas dengan berulang-ulang, tatkala pagi hari, laki yang mendengar itu mendatangi rosul dan menyebutkan demikian seakan-akan laki-laki tersebut menganggap remeh terhadap surat Al Ikhlas maka Rasul menjawab Demi Dzat yang jiwaku dalam kekuasaanya, sesungguhnya Al Ikhlas dapat membandingi sepertiga Al Qur’an.”
3. Surat Al Falaq dan Surat An Nas
وروي الترمذي بسنده عن عقبه بن عامر الجهنى رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (قد أنزل علي أيات لم ير مثلهن : قل أعوذ برب الناس. إلى أخر السورة . و قل أعوذ برب الفلق. إلى أخر السورة)[56]
Imam At Tirmidzi meriwayatkan dengan sanadnya dari Uqbah Bin Amir Al Juhni RA. dari Nabi SAW. Nabi bersabda : Sesungguhnya Allah telah menurunkan kepadaku beberapa Ayat yang Nabi belum melihat yang menyerupainya (yang menyamainya ) yaitu: Surat Annas dan Surat Al Falaq”.
4. Bacaan Laa Ilaaha Il lallah
Pada sub bab pembahasan isi, bacaan Tahlil sudah sedikit disinggung tentang keutamaan kalimah Thayyibah, bahwa kalimat tersebut adalah sebaik baiknya dzikir seperti yang diriwayatkan oleh Shahbat Jabir Bin Abdillah. Selain dari pada keutamaan tersebut, Kalimah Thayyibah juga memiliki keutamaan yang lain diantaranya; Hadis yang diriwayatkan oleh shahabat Abu Hurairah ra.
وروى الترمذي بسنده عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: مَا قَالَ عَبْدٌ لا إله إلا الله قَطٌّ مُْحلِصًا إلا فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ السَّمَاءِ حَتَّى تُفْضِي إلى العرشِ مَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرَ. [57]
“Tidaklah seorang hamba mengucapkan Laa Ilaa Ha Illallah dengan penuh keikhlasan melainkan akan dibukakan baginya pintu-pintu langit sehingga Laa Ilaa Ha Illallah dilaporkan keatas selama ia menjauhi dosa-dosa besar.”
Dan masih bnyak lagi keutaman daripada kalimah Thayyibah tersebut.
dalil alquran dan hadist
DALIL DARI ALQURAN
Seperti yang tersebut didalam Al Qur’an:
1. Qs. Muhammad 19
وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ
“dan mohonlah ampunnan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan.”[66]
Dari ayat tersebut menerangkan bahwa orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan mendapatkan manfaat dari istighfar orang mukmin lainnya.
2. Qs. Al Nuh 28
رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِمَنْ دَخَلَ بَيْتِيَ مُؤْمِنًا وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَلَا تَزِدِ الظَّالِمِينَ إِلَّا تَبَارًا
“Ya tuhanku ampunilah aku. Ibu bapakku, orang yang masuk kerumahku dengan beriman, serta semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zhalim itu selain kebinasaan.”[67]
3. Qs. Ibrohim 40-41
رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ (40) رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ (41)
“Ya tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya tuhan kami, perkenankanlah do’aku . Ya tuhan kami, ampunilah aku dan kedua ibu bapakku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab.”[68]
4. Qs. Al Hasyr 10
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan anshar), mereka berdo’a, ya tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya tuhan kami, sesungguhnya Engkau MahaPenyantun lagi Maha Penyayang.”[69]
5. Qs. At Tur 21
وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
“dan orang-orang yang beriman, serta anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap mausia terikat dengan apa yang dikerjakannya.”[70]
Mengenai ayat ini Syekh ‘Alauddin Ali Bin Muhammad Bin Ibrahim Al Baghdadi memberikan penjelasan sebagai berikut:
“kami menyamakan anak-anak mereka yang kecil dan yang dewasa dengan keimanan orang tua mereka. Yang dewasa dengan keimanan mereka sendiri, sementara yang kecil dengan keimanan orang tuanya. Keislaman seorang anak yang masih kecil diikutkan pada salah satu dari kedua orang tuanya. (kami menyamakan kepada mereka keturunan mereka) artinya menyamakan orang-orang mukmin di surga sesuai dengan derajat orang tua mereka, meskipun amal-amal mereka tidak sesuai dengan derajat orang tua mereka, meskipun amal-amal mereka tidak sampai pada derajat amal orang tua mereka. Hal itu sebagai penghormatan kepada orang tua mereka agar mereka senang. Keterangan ini diriwayatkan dari Ibn Abbas ra.”[71]
6. Al-Baqarah : 186
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ (186)
“dan apabila hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku dekat, Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memnuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran .“[72]
Beberapa ayat dan keterangan tersebut menjadi bukti nyata bahwa orang yang beriman tidak hanya memperoleh pahala dari perbuatannya sendiri. Mereka juga dapat merasakan manfaat amaliyah orang lain.
DALIL DARI HADIST
Selain dalil dari Al Qur’an yang menerangkan bahwa, orang yang sudah meninggal dunia dapat merasakan manfaat amaliyah orang lain, dalam hadispun tedapat keterangan yang menyatakan hal tersebut. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Shahabat Abu Hurairah ra.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِذَا صَلَّيْتُمْ عَلَى الْمَيِّتِ فَأَخْلِصُوْا لَهُ الدُّعَاَء (سنن الترمذى رقم 2784)
“Dari Abu Hurairah RA, Aku mendengar Rosulullah SAW bersabda, Jika kamu semua menshalati mayit, maka berdo’alah dengan ikhlas untuknya. (Sunan Al Tirmidzi, 2784)”[73]
Hadist tersebut secara jelas menerangkan bahwa Rosulullah SAW memerintahkan kepada umat islam untuk mendo’akan orang yang sudah meninggal dunia dengan tulus ikhlas. Hal ini berarti bahwa do’a yang dibaca dengan ikhlas dapat bermanfaat bagi mayit yang dimaksud. Juga hadits lain menerangkan bahwa Rosul pernah mendo’akan orang yang sudah mati seperti hadits yang diriwayatkan oleh Auf bin Malik ra.
عَنْ عَوْفٍ بْنٍ مَالِكِ رَضِيَ اللهُ عَنْهَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلًّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى جَنَازَةٍ فَحَفِظْتُ مِنْ دُعَائِهِ وَهُوَ يَقُوْلُ اَللَّهُمَّ اغْفِرْلَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ وَاَكْرِمْ نُرُلَهُ وَوَسِعْ مَدْخَلَهُ وَاَغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالْثَّلْجِ وَالْبَرَدِ وَنَقِِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ الْاَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ وَاَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ وَاَهْلًا خَيْرًا مِنْ اَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةًَ وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ عَذَابِ النَّارِ (صحيح مسلم, رقم ..16)
“Diriwayatkan dari Auf bin Malik RA, ia berkata, Rasulullah SAW pernah menshalati jenazah dan saya hafal do’a Rasulullah SAW tersebut. Do’a yang beliau baca adalah, Ya Allah, ampunillah dosanya, kasihanilah dia, selamatkanlah dan maafkanlah dia. Ya Allah, baguskanlah tempat kembalinya, luaskanlah kediamanya, bersihkanlah ia dengan air dan embun, bersihkanlah ia dari dosa-dosanya, sebagaimana Engkau membersihkan baju putih nan suci dari kotoran. Berilah ia rumah yang lebih bagus, karuniakanlah isteri yang lebih baik dari isterinya (ketika di dunia), masukanlah ia kedalam surga, dan selamatkanlah ia dari siksa kubur dan siksa api neraka.”[74]
Hadits tersebut menerangkan bahwa Rasulullah SAW pernah mendo’akan orang yang sudah mati dan memohon agar dosanya diampuni. Maka semakin jelaslah orang yang sudah meninggal dunia dapat memperoleh manfaat dari amal orang-orang yang masih hidup.
اَنَّ عَائِسَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا سَأَلَتِ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ أَقُوْلُ إِذَا اسْتَغْفَرْتُ لِاَهْلِ الْقُبُوْرِقَالَ قُوْلِى اَلسَّلَامُ عَلَى أَهْلِ الْدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِيْنَ وَإنَّا إنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لَاحِقُوْنَ (صحيح مسلم, رقم 1619)
“Sesungguhnya ‘Aisyah RA bertanya kepada Rasulullah SAW, apa yang harus dibaca ketika kami memohon ampun bagi ahli kubur? Rasulullah SAW menjawab, Ucapkanlah, Salam sejahtera atas engkau semua wahai ahli kubur dari golongan mukminin dan muslimin, semoga Allah SWT melimpahkan Rahmat-Nya bagi orang-orang yang mendahului serta orang-orang yang datang kemudian dari kami. Dan Insya Allah kami akan menyusul kalian.”[75]
Hadits diatas menerangkan bahwa Rasulullah menganjurkan untuk ziarah kubur dan mengucapkan salam kepada ahli kubur serta mendo’akannya dan ada juga hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW sering ziarah kemaqam baqi’. Bisa dipahami dari penjelasan tersebut, bahwa ahli kubur dapat mendengar salam dari orang yang mengucapkan salam kepada ahli kubur tersebut dan memperoleh manfaat dari do’a tersebut.
عن عثمان بن عفان رضي الله عنه قال كان النبي صلى الله عليه وسلم إذَا فَرَغَ مِنْ دَفْنِ الْمَيِّتِ وَقَفَ عَلَيْهِ فَقَالَ اِسْتَغْفِرُوا لاَخِيْكُمْ وَسَلُوا لَهُ بِالْتَّثْبِيْتِ فَاِءنَّهُ الآنَ يُسْأَلُ (سنن ابي داود, رقم 2804 )
“Dari Usman bin Affan, ia berkata jika Nabi Muhammad SAW selesai menguburkan jenazah, beliau berdiri didekat kubur lalu bersabda, hendaklah kamu sekalian memintakan ampunan bagi saudaramu (yang meninggal ini) baginya karena saat ini dia sedang ditanya oleh malaikat.”[76]
عَنْ عَائِسَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ رَجُلا أَتَى النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ أُمِّىْ أُفْتُلِتَتْ َنفْسُهَا وَلَمْ تُوْصِ وَأَظَنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ أَفَلَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا ؟ قَالَ نَعَمْ (صحيح مسلم , رقم 1672 )
“Dari ‘Aisyah RA, seseorang laki-laki bertanya kepada Nabi Muhammad SAW, Ibu saya meninggal dunia secara mendadak dan tidak sempat berwasiat. Saya menduga seandenya dia dapat berwasiat, tentu ia akan bersedekah. Apakah ia akan mendapat pahala jika saya bersedekah atas namanya ? Nabi Muhammad SAW menjawab, “Ya”.”[77]
عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَبْرَيْنِ فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيْرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لا يَسْتَتِرُ مِنَ الْبَوْلِ وَأَمَّا الاخَرُ فَكَانَ يَمْشِى بِالنَّمِيْمَةِ ثُمَّ أَخَذَ جَرِيْدَةً رَطْبَةً فَشَقَّهَا نِصْفَيْنِ فَغَرَزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةٍ , قَالُوا يَا رَسُولُ الله لِمَ فَعَلْتَ هَذَا ؟ قَالَ لَعَلَّهُ يُخَفَّفُ عَنْهُمَا مَالَمْ يَيْبَسَا (صحيح البخارى, رقم 209)
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, ia berkata, suatu hari Nabi SAW berjalan melewati dua pemakaman. Kemudian beliau bersabda, kedua orang yang berada dalam kuburan ini sekarang sedang disiksa. Namun keduanya disiksa bukan karena dosa besar. Yang satu disiksa karena ia kencing dan tidak menutup auratnya. Dan yang lain disiksa karena suka mengadu domba. Lalu Nabi SAW mengambil pelapah kurma dan membelahnya menjadi dua, kemudian menancapkanya diatas kubur masing-masing. Para shahabat bertanya, mengapa engkau melakukan hal tersebut ? Nabi SAW menjawab, semoga keduanya mendapatkan keringanan siksa selama pelepah kurma ini belum kering.”[78]
عَنْ مَعْقِلٍ بْنِ يَسَارٍ أَنَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَيس قَلْبُ اٍلقُرْأَنِ لا يَقْرَؤُهَا رَجُلٌ يُرِيْدُ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَالدَّارَ الاخِيْرَةَ إلا غُفِرَ لَهُ وَاقْرَؤُهَا عَلَى مَوْتَاكُمْ (مسند احمد بن حنبل , رقم 1941 )
“Diriwayatkan dari Ma’kil bin Yasar RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, surat yasin adalah intisari Al Qur’an. Tidaklah seseorang membacanya dengan mengharap rahmat Allah SWT kecuali Allah SWT akan mengampuni dosa-dosanya. Maka bacalah surat Yasin atas orang-orang yang telah meninggal diantara kamu sekalian.”[79]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ . قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ دَخَلَ الْمَقَابِرَ ثُمَّ قَرَأَ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدْ وَأِلَهُكُمُ الْتَكَاثُرُ ثُمَّ قَالَ إِنِّي جَعَلْتُ ثَوَابَ مَا قَرَأْتُ مِنْ كَلَامِكَ لاَهْلِ الْمَقَابِرِ مِنَ اْلمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ كَانُوْا شُفَعَاءَ لَهُ إِلَى اللهِ تَعَالَى (أخرجه أبو القاسم الزنجاني , حول خصائص القرأن : 46 )
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, barang siapa memasuki pemakaman lalu membaca sura Al Fatihah, Al Ikhlas dan At Takatsur, lalu berdo’a, Aku hadiahkan bacaan yang aku baca dari firman-Mu untuk semua Ahli Qubur dari kalangan mukmiin dan mukminat, maka semua ahli qubur itu akan memberikan syafa’at (pertolongan) kepada orang yang membaca surat tersebut.”[80]
كَانَتِ الاَنْصَارُ إِذَا مَاتَ لَهُمُ الْمَيِّتُ اخْتَلَفُوْا عَلَى قَبْرِهِ يَقْرَؤُنَ عِنْدَهُ الْقُرْأَنَ (الروح: 11 )
“Jika ada shahabat dikalangan Anshar meninggal dunia, mereka berkumpul di depan kuburnya sambil membaca Al Qur’an.”[81]
Demikianlah beberapa Hadits yang bisa Disebutkan dalam penulisan risalah ini, tentunya masih banyak sekali dalil-dalil dari hadits yang menjelaskan bahwa amaliyah orang yang masih hidup dapat bermanfaat bagi orang yang sudah meninggal dunia, dan dengan disebutkannya beberapa dalil dari hadits yang tersebut diatas penulis berharap bagi para pembaca ketika melakukan ritual tahlil tidak lagi mersa bimbang dan khawatir kalau-kalau perbuatan tersebut sia-sia.
sungguh hanya orang-orang yang paham mendalam alquran dan hadist sajalah yang bisa demikian, itulah hebatnya para ulama, maka telitilah kawan, kajilah, maka engkau kan dapatkan kebenaran-kebenaran.. jangan gunakan nafsumu, maupun kebodohan-kebodohanmu…
beberpa pendapat tentang tahlilan
  1. Pendapat Almarhum KH. Muchit Muzadi dalam artikelnya yang berjudul “Tidak Mungkin Agama Terlepas dari Tradisi Lokal” yang termuat dalam majalah Afkar sebagai berikut: “bagaimana sebenarnya pandangan Nahdlatul Ulama terhadap tradisi local ? NU termasuk organisasi Islam yang bisa menerima tradisi lokal. Bahkan bisa dikatakan lebih bisa menerima tradisi lokal ketimbang beberapa organisasi islam yang lain. “Agama apa sih yang bisa diterapkan tanpa pengaruh dan percampuran dengan tradisi lokal ? itu tidak mungkin. Karena agama itu untuk manusia dan manusia dimanapun selalu dipengaruhi oleh lingkungannya”.Dengan dicontohkan “waladun shalihun ya’du lahu” di Indonesia waladun shalihun dirangkaikan dengan cara ritual tahlilan.
  2. Imam Al Syaukani mengatakan bahwa setiap perkumpulan yang didalamnya dilaksanakan kebaikan, misalnya membaca Al Qur’an, Dzikir dan Do’a, itu adalah perbuatan yang dibenarkan meskipun tidak pernah dilaksanakan pada masa Rosulullah. Begitupula tidak ada larangan untuk menghadiahkan pahala bacaan Al Qur’an atau lainnya kepada orang yang sudah meninggal dunia.
  3. Imam Ibnu Taymiah Syaikhul Islamnya Salafiyyin (Wahabi) suatu ketika pernah ditanya, apakah bacaan keluarga mayyit, tasbih, tahmid, takbir, tahlil jika dihadiahkan pahalanya untuk si mayyit akan sampai atau tidak? Maka beliau menjawab: “akan sampai bacaan keluarga si mayyit seperti bacaan tasbih, tahmid, tahlil dan seluruh jenis dzikir kepada Allah jika dihadiahkan kepada mayyit akan sampai”
  4. dan masih banyak lagi…
kawanku semua yang dirahmati Allah
Pada hakikatnya majelis tahlil atau tahlilan adalah hanya nama atau sebutan untuk sebuah acara di dalam berdzikir dan berdoa atau bermunajat bersama. nah kan sudah jelas…. hanya sebuah nama...  Yaitu berkumpulnya sejumlah orang untuk berdoa atau bermunajat kepada Allah SWT dengan cara membaca kalimat-kalimat thayyibah seperti tahmid, takbir, tahlil, tasbih, Asma’ul husna, shalawat dan lain-lain. apakah itu salah? apakah itu bidah? jelas tidak kawan….
Maka sangat jelas bahwa majelis tahlil sama dengan majelis dzikir, hanya istilah atau namanya saja yang berbeda namun hakikatnya sama. (Tahlil artinya adalah lafadh Laa ilaaha illallah) Lalu bagaimana hukumnya mengadakan acara tahlilan atau dzikir dan berdoa bersama yang berkaitan dengan acara kematian untuk mendoakan dan memberikan hadiah pahala kepada orang yang telah meninggal dunia ? Dan apakah hal itu bermanfaat atau tersampaikan bagi si mayyit ?
Menghadiahkan Fatihah, atau Yaasiin, atau dzikir, Tahlil, atau shadaqah, atau Qadha puasanya dan lain lain, itu semua sampai kepada Mayyit, dengan Nash yang Jelas dalam Shahih Muslim hadits no.1149, bahwa “seorang wanita bersedekah untuk Ibunya yang telah wafat dan diperbolehkan oleh Rasul saw”, dan adapula riwayat Shahihain Bukhari dan Muslim bahwa “seorang sahabat menghajikan untuk Ibunya yang telah wafat”, dan Rasulullah SAW pun menghadiahkan Sembelihan Beliau SAW saat Idul Adha untuk dirinya dan untuk ummatnya, “Wahai Allah terimalah sembelihan ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan dari Ummat Muhammad” (Shahih Muslim hadits no.1967).
Dan hal ini (pengiriman amal untuk mayyit itu sampai kepada mayyit) merupakan Jumhur (kesepakatan) Ulama seluruh madzhab dan tak ada yang memungkirinya apalagi mengharamkannya, dan perselisihan pendapat hanya terdapat pada madzhab Imam Syafi’i, bila si pembaca tak mengucapkan lafadz : “Kuhadiahkan”, atau wahai Allah kuhadiahkan sedekah ini, atau dzikir ini, atau ayat ini..”, bila hal ini tidak disebutkan maka sebagian Ulama Syafi’iy mengatakan pahalanya tak sampai.
Jadi tak satupun ulama ikhtilaf dalam sampai atau tidaknya pengiriman amal untuk mayiit, tapi berikhtilaf adalah pada Lafadznya. Demikian pula Ibn Taimiyyah yang menyebutkan 21 hujjah (dua puluh satu dalil) tentang Intifa’ min ‘amalilghair (mendapat manfaat dari amal selainnya). Mengenai ayat : “DAN TIADALAH BAGI SESEORANG KECUALI APA YG DIPERBUATNYA, maka Ibn Abbas ra menyatakan bahwa ayat ini telah mansukh dengan ayat “DAN ORANG ORANG YG BERIMAN YG DIIKUTI KETURUNAN MEREKA DENGAN KEIMANAN”,
Mengenai hadits yang mengatakan bahwa bila wafat keturunan adam, maka terputuslah amalnya terkecuali 3 (tiga), shadaqah Jariyah, Ilmu yang bermanfaat, dan anaknya yang berdoa untuknya, maka orang orang lain yang mengirim amal, dzikir dll untuknya ini jelas jelas bukanlah amal perbuatan si mayyit, karena Rasulullah SAW menjelaskan terputusnya amal si mayyit, bukan amal orang lain yang dihadiahkan untuk si mayyit, dan juga sebagai hujjah bahwa Allah memerintahkan di dalam Al Qur’an untuk mendoakan orang yang telah wafat : “WAHAI TUHAN KAMI AMPUNILAH DOSA-DOSA KAMI DAN BAGI SAUDARA-SAUDARA KAMI YG MENDAHULUI KAMI DALAM KEIMANAN”, (QS Al Hasyr-10).
Mengenai rangkuman tahlilan itu, tak satupun Ulama dan Imam Imam yang memungkirinya, siapa pula yang memungkiri muslimin berkumpul dan berdzikir?, hanya syaitan yang tak suka dengan dzikir. Didalam acara Tahlil itu terdapat ucapan Laa ilaah illallah, tasbih, shalawat, ayat qur’an, dirangkai sedemikian rupa dalam satu paket dengan tujuan agar semua orang awam bisa mengikutinya dengan mudah, ini sama saja dengan merangkum Al Qur’an dalam disket atau CD, lalu ditambah pula bila ingin ayat Fulani, silahkan Klik awal ayat, bila anda ingin ayat azab, klik a, ayat rahmat klik b, maka ini semua dibuat buat untuk mempermudah muslimin terutama yang awam. Atau dikumpulkannya hadits Bukhari, Muslim, dan Kutubussittah, Alqur’an dengan Tafsir Baghawi, Jalalain dan Ilmu Musthalah, Nahwu dll, dalam sebuah CD atau disket, atau sekumpulan kitab, bila mereka melarangnya maka mana dalilnya ?, Munculkan satu dalil yang mengharamkan acara Tahlil?, (acara berkumpulnya muslimin untuk mendoakan yang wafat) tidak di Al Qur’an, tidak pula di Hadits, tidak pula di Qaul Sahabat, tidak pula di kalam Imamulmadzahib, hanya mereka saja yang mengada ada dari kesempitan pemahamannya.
Mengenai 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, atau bahkan tiap hari, tak ada dalil yang melarangnya, itu adalah Bid’ah hasanah yang sudah diperbolehkan , justru kita perlu bertanya, ajaran muslimkah mereka yang melarang orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, siapa yang alergi dengan suara Laa ilaaha illallah kalau bukan syaitan dan pengikutnya ?, siapa yang membatasi orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, muslimkah?, semoga Allah memberi hidayah pada muslimin, tak ada larangan untuk menyebut Laa ilaaha illallah, tak pula ada larangan untuk melarang yang berdzikir pada hari ke 40, hari ke 100 atau kapanpun, pelarangan atas hal ini adalah kemungkaran yang nyata.
Bila hal ini dikatakan merupakan adat orang hindu, maka bagaimana dengan computer, handphone, mikrofon, dan lainnya yang merupakan adat orang kafir, bahkan mimbar yang ada di masjid masjid pun adalah adat istiadat gereja, namun selama hal itu bermanfaat dan tak melanggar syariah maka boleh boleh saja mengikutinya, sebagaimana Rasul saw meniru adat yahudi yang berpuasa pada hari 10 muharram, bahwa Rasul saw menemukan orang yahudi puasa dihari 10 muharram karena mereka tasyakkur atas selamatnya Musa as, dan Rasul saw bersabda : Kami lebih berhak dari kalian atas Musa as, lalu beliau saw memerintahkan muslimin agar berpuasa pula” (HR Shahih Bukhari hadits no.3726, 3727).
Sebagaimana pula diriwayatkan bahwa Imam Masjid Quba di zaman Nabi saw, selalu membaca surat Al Ikhlas pada setiap kali membaca fatihah, maka setelah fatihah maka ia membaca AL Ikhlas, lalu surat lainnya, dan ia tak mau meninggalkan surat al ikhlas setiap rakaatnya, ia jadikan Al Ikhlas sama dengan Fatihah hingga selalu berdampingan disetiap rakaat, maka orang mengadukannya pada Rasul saw, dan ia ditanya oleh Rasul saw : Mengapa kau melakukan hal itu?, maka ia menjawab : Aku mencintai surat Al Ikhlas. Maka Rasul saw bersabda : Cintamu pada surat Al ikhlas akan membuatmu masuk sorga” (Shahih Bukhari).
Maka tentunya orang itu tak melakukan hal tsb dari ajaran Rasul saw, ia membuat buatnya sendiri karena cintanya pada surat Al Ikhlas, maka Rasul saw tak melarangnya bahkan memujinya. Kita bisa melihat bagaimana para Huffadh (Huffadh adalah Jamak dari Al hafidh, yaitu ahli hadits yang telah hafal 100.000 hadits (seratus ribu) hadits berikut sanad dan hukum matannya) dan para Imam imam mengirim hadiah pada Rasul saw :
Berkata Imam Alhafidh Al Muhaddits Ali bin Almuwaffiq rahimahullah : “aku 60 kali melaksanakan haji dengan berjalan kaki, dan kuhadiahkan pahala dari itu 30 haji untuk Rasulullah saw”.
Berkata Al Imam Alhafidh Al Muhaddits Abul Abbas Muhammad bin Ishaq Atssaqafiy Assiraaj : “aku mengikuti Ali bin Almuwaffiq, aku lakukan 7X haji yang pahalanya untuk Rasulullah saw dan aku menyembelih Qurban 12.000 ekor untuk Rasulullah saw, dan aku khatamkan 12.000 kali khatam Alqur’an untuk Rasulullah saw, dan kujadikan seluruh amalku untuk Rasulullah saw”.
Ia adalah murid dari Imam Bukhari rahimahullah, dan ia menyimpan 70 ribu masalah yang dijawab oleh Imam Malik, beliau lahir pada 218 H dan wafat pada 313H
Berkata Al Imam Al Hafidh Abu Ishaq Almuzakkiy, aku mengikuti Abul Abbas dan aku haji pula 7X untuk rasulullah saw, dan aku mengkhatamkan Alqur’an 700 kali khatam untuk Rasulullah saw. (Tarikh Baghdad Juz 12 hal 111).
seseorang bertanya kepada habieb munzir Almusyawwa
MOhon habib memberikan penjelasan mengenai kutipan al Umm imam Syafi’i ini,
Imam Asy Syafi’I, yakni seorang imamnya para ulama’, mujtahid mutlak, lautan ilmu, pembela sunnah dan yang khususnya di Indonesia ini banyak yang mengaku bermadzhab beliau, telah berkata dalam kitabnya Al Um (I/318) :
” Aku benci al ma’tam yaitu berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbaharui kesedihan .”

Dari pernyataan Imam Syafi’i di atas, beliau menerangkan bahwa berkumpul di rumah ahli mayit (meskipun menurut kebiasaan) akan memperbaharui kesedihan (dengan kata lain, si pemilik rumah, yg anggota keluarganya wafat, akan merasa sedih lagi, meskipun tidak mesti menangis). JANGAN SALAH, ini bukan berarti kalau tidak sedih boleh dilakukan. Sama sekali tidak! Perkataan Imam Syafi’I diatas tidak menerima pemahaman terbalik atau mafhum mukhalafah.
Dari beberapa sumber referensi, aku dapatkan pengertian bahwa : ” beliau (imam Syafi’i) dengan tegas MENGHARAMKAN berkumpul-kumpul di rumah keluarga/ahli mayit. Ini baru berkumpul saja, bagaimana kalau di sertai dengan apa yang kita namakan disini sebagai Tahlilan ?”
Sementara itu, Imam Ibnul Qayyim, di kitabnya Zaadul Ma’aad (I/527-528) menegaskan bahwa berkumpul-kumpul ( dirumah ahli mayit ) dengan alasan untuk ta’ziyah dan membacakan Qur’an untuk mayit adalah ” Bid’ah ” yang tidak ada petunjuknya dari Nabi SAW.
Bahkan para ulama/imam empat (Imam Malik, Syafi’i, Hanafi dan Hambali) sepakat dengan melarang hal tersebut (tahlilan). Mereka berempat tidak berselisih/berbeda pendapat tentang larangan hal tersebut melainkan dalam masalah tingkatannya, haram atau makruh saja. Dan tidak ada seorangpun dari mereka yang mengatakan bolehnya tahlilan. Bahkan para sahabat g menggolongkan hal tersebut sebagai niyahah/ratapan terhadap si mayit. Dan ulama telah sepakatkan keharaman niyahah.
Dengan demikian, TAHLILAN BUKANLAH AJARAN ISLAM…melainkan adopsi dari agama Hindu. Aku yakin para Wali Sanga mempunyai alasan tertentu mengapa beliau2 tidak menghapus budaya ini. Salah satu alasan yg aku ketahui adalah untuk memudahkan penyebaran agama Islam. Sebagaimana diketahui, masyarakat Indonesia (terutama Jawa) sangat mencintai budayanya (bahkan cintanya berlebihan).
Wallahu a’lam
jawaban habieb munzir atas pertanyaannya itu..
Anugerah dan Cahaya Rahmat Nya semoga selalu menerangi hari hari anda,
Saudaraku yg kumuliakan,
sebenarnya sudah jelas, bahwa ucapan Imam Syafii itu diselewengkan maknanya oleh mereka, “Ma’tam” adalah perkumpulan ratapan dan tangisan, orang orang Jahiliyah jika ada yg mati di keluarga mereka maka mereka membayar para “penangis” untuk meratap dirumah mereka, semacam adat istiadat mereka seperti itu, memang sudah ada orangnya, sebagaimana masa kini ada group Band penghibur, dimasa lalu juga ada Group penangis, khusus untuk meratap dirumah duka.
ini yg tidak disukai oleh Imam Syafii, dan tentunya Imam syafii mengetahui bahwa hal itu buruk dan dimasa beliau masih ada sisa sisanya yaitu tidak meratap dan menjerit2, tapi disebut perkumpulan Duka,
namun beliau tak menjatuhkan hukum haram, akan tetapi makruh, karena Ma’tam yg ada dimasa beliau sudah jauh berbeda dg Ma’tam yg dimasa Jahiliyah,
karena jika Ma’tam yg dimasa jahiliyah sudah jelas jelas haram, dan beliau melihat dimasa beliau masih ada sisa sisa perkumpulan tangisan dirumah duka, maka beliau memakruhkannya.
kalimat “benci/membenci” pada lafadh para muhadditsin yg dimaksud adala “Kariha/yakrahu/Karhan” yg berarti Makruh.,
Makruh mempunyai dua makna, yaitu : makna bahasa dan makna syariah.
makna makruh secara bahasa adalah benci,
makna makruh dalam syariah adalah hal hal yg jika dikerjakan tidak mendapat dosa, dan jika ditinggalkan mendapat pahala.
sang penulis menyelewengkan ucapan Imam Syafii yg mengatakan bahwa hal itu Makruh, justru Imam syafii tidak menjatuhkan hukum haram, karena jika haram maka beliau tak akan menyebut membenci, tapi haram secara mutlak,
sebab dalam istilah para ahli hadits jika bicara tentang suatu hukum, maka tak ada istilah kalimat benci, senang, ngga suka, hal itu tak ada dalam fatwa hukum, namun yg ada adalah keputusan hukum, yaitu haram, makruh, mubah, sunnah, wajib
maka jika ada fatwa para Imam dalam hukum, tidak ada istilah benci/suka, tapi hukumlah yg disampaikan, maka jelas sudah makna ucapan imam syafii itu adalah hukumnya, yaitu makruh, bukan haram
karena menurut kaidah ushul bahwa semua imam dan ulama dan siapapun, tak berhak memberi pendapat pada suatu hukum dg perasaan, tapi mereka jika berhadapan dg hukum mestilah fatwa syariah yg disampaikan, bukan perasaan benci, senang dll, karena hal itu bukan dalil.
Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu, semoga sukses dg segala cita cita,
KENDURI ARWAH, TAHLILAN & YASINAN MENURUT ULAMA
Limpahan kebahagiaan dan kasih sayang Nya swt semoga selalu tercurah pada hari hari anda,
Saudaraku yg kumuliakan,
Hal itu merupakan pendapat orang orang yg kalap dan gerasa gerusu tanpa ilmu, kok ribut sekali dengan urusan orang yg mau bersedekah pada muslimin?,
عن عائشة أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال ثم يا رسول الله إن أمي افتلتت نفسها ولم توص وأظنها لو تكلمت تصدقت أفلها أجر إن تصدقت عنها قال نعم
Dari Aisyah ra bahwa sungguh telah datang seorang lelaki pada nabi saw seraya berkata : Wahai Rasulullah, sungguh ibuku telah meninggal mendadak sebelum berwasiat, kukira bila ia sempat bicara mestilah ia akan bersedekah, bolehkah aku bersedekah atas namanya?, Rasul saw menjawab : “Boleh” (Shahih Muslim hadits no.1004).
Berkata Al Hafidh Al Imam Nawawi rahimahullah :
وفي هذا الحديث أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها وهو كذلك باجماع العلماء وكذا أجمعوا على وصول الدعاء
“Dan dalam hadits ini (hadits riwayat shahih muslim diatas) menjelaskan bahwa shadaqah untuk mayit bermanfaat bagi mayit, dan pahalanya disampaikan pada mayyit, demikian pula menurut Ijma (sepakat) para ulama, dan demikian pula mereka bersepakat atas sampainya doa doa” (syarh Imam Nawawi ala shahih muslim juz 7 hal 90)
Maka bila keluarga rumah duka menyediakan makanan dengan maksud bersedekah maka hal itu sunnah, apalagi bila diniatkan pahala sedekahnya untuk mayyit, demikian kebanyakan orang orang yg kematian, mereka menjamu tamu2 dengan sedekah yg pahalanya untuk si mayyit, maka hal ini sunnah.
Lalu mana dalilnya yg mengharamkan makan dirumah duka?
Mengenai ucapan para Imam itu, yg dimaksud adalah membuat jamuan khusus untuk mendatangkan tamu yg banyak, dan mereka tak mengharamkan itu :
Perlu diketahui bahwa Makruh adalah jika dihindari mendapat pahala dan jika dilakukan tidak mendapat dosa.
1. Ucapan Imam nawawi yg anda jelaskan itu, beliau mengatakannya tidak disukai (ghairu Mustahibbah), bukan haram, tapi orang wahabi mencapnya haram padahal Imam Nawawi mengatakan ghairu mustahibbah, berarti bukan hal yg dicintai, ini berarti hukumnya mubah, dan tidak sampai makruh apalagi haram, dan yg dimaksud adalah mengundang orang dengan mengadakan jamuan makanan (ittikhaadzuddhiyafah), beda dengan tahlilan masa kini bukanlah jamuan makan, namun sekedar makanan ala kadarnya saja, bukan Jamuan, hal ini berbeda dalam syariah, jamuan adalah makan besar semacam pesta yg menyajikan bermacam makanan, ini tidak terjadi pada tahlilan manapun dimuka bumi, yg ada adalah sekedar besek atau sekantung kardus kecil berisi aqua dan kue kue atau nasi sederhana sekedar sedekah pada pengunjung, maka sedekah pada pengunjung hukumnya sunnah.
2. Imam Ibnu Hajar Al Haitsamiy menjelaskan adalah :
من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه بدعة منكرة مكروهة
“mereka yg keluarga duka yg membuat makanan demi mengundang orang adalah hal Bid’ah Munkarah yg makruh” (bukan haram)
semoga anda mengerti bahasa, bahwa jauh beda dengan rumah duka yg menyuguhkan makanan untuk tamu yg mengucapkan bela sungkawa, jauh berbeda dengan membuat makanan demi mengundang orang agar datang, yg dilarang (Makruh) adalah membuat makanan untuk mengundang orang agar datang dan meramaikan rumah, lihat ucapan beliau, bid;ah buruk yg makruh.., bukan haram, jika haram maka ia akan menyebutnya : Bid’ah munkarah muharramah, atau cukup dengan ucapan Bid’ah munkarah, maka itu sudah mengandung makna haram, tapi tambahan kalimat makruh, berarti memunculkan hukum sebagai penjelas bahwa hal itu bukan haram,
Entahlah para wahabi itu tak faham bahasa atau memang sengaja menyelewengkan makna, sebab keduanya sering mereka lakukan, yaitu tak faham hadits dan menyelewengkan makna.
Dalam istilah istilah pada hukum syariah, sungguh satu kalimat menyimpan banyak makna, apalagi ucapan para Muhaddits dan para Imam, dam hal semacam ini sering tak difahami oleh mereka yg dangkal dalam pemahaman syariahnya,
3. Ucapan Imam Ibnu Abidin Al-Hanafy menjelaskan “Ittikhadzuddhiyafah”, ini maknanya “membuat perjamuan besar”, misalnya begini : Gubernur menjadikan selamatan kemenangannya dalam pilkada dengan “Ittikhadzuddhiyafah” yaitu mengadakan perjamuan. Inilah yg dikatakan Makruh oleh Imam Ibn Abidin dan beliau tak mengatakannya haram, kebiasaan ini sering dilakukan dimasa jahiliyah
4. Imam Ad-Dasuqi Al-Maliki berkata berkumpulnya orang dalam hidangan makan makan dirumah mayit hukumnya Bid’ah yg makruh. (Bukan haram tentunya), dan maksudnya pun sama dg ucapan diatas, yaitu mengumpulkan orang dengan jamuan makanan, namun beliau mengatakannya makruh, tidak sampai mengharamkannya. Orang orang wahabi menafsirkan kaliamt “makruh”adalah hal yg dibenci, tentu mereka salah besar, karena imam imam ini berbicara hukum syariah bukan bicara dicintai atau dibenci.
5. Syaikh An-Nawawi Al-Banteni rahimahullah menjelaskan adat istiadat baru berupa “Wahsyah” yaitu adat berkumpul dimalam pertama saat mayyit wafat dengan hidangan makanan macam macam, hal ini makruh, (bukan haram).
dan mengenai ucapan secara keseluruhan, yg dimaksud makruh adalah sengaja membuat acara “jamuan makan” demi mengundang tamu tamu, ini yg ikhtilaf ulama antara mubah dan makruh, tapi kalau justru diniatkan sedekah dengan pahalanya untuk mayyit maka justru Nash Shahih Bukhari dan Shahih Muslim diatas telah memperbolehkannya bahkan sunnah.
Dan tentunya bila mereka (keluarga mayyit) meniatkan untuk sedekah yg pahalanya untuk mereka sendiripun maka tak ada pula yg memakruhkannya bahkan mendapat pahala jika dilakukan.
Yg lebih baik adalah datang dan makan tanpa bermuka masam dan merengut sambil berkata haram..haram… dirumah duka (padahal makruh), tapi bawalah uang atau hadiah untuk membantu mereka.
dan pelarangan / pengharaman untuk tak menghidangkan makanan dirumah duka adalah menambah kesusahan keluarga duka, bagaimana tidak?, bila keluarga anda wafat lalu anda melihat orang banyak datang maka anda tak suguhkan apa2..?, datang dari Luar kota misalnya, dari bandara atau dari stasion luar kota datang dg lelah dan peluh demi hadir jenazah, lalu mereka dibiarkan tanpa seteguk airpun..???, tentunya hal ini sangat berat bagi mereka, dan akan sangat membuat mereka malu.
didalam Ushul dijelaskan bahwa Mandub, hasan, annafl, sunnah, Mustahab fiih (mustahibbah), Muragghab fiih, ini semua satu makna, yaitu yutsab ala fi’lihi walaa yu’aqabu alaa tarkihi (diberi pahala bila dilakukan dan tidak berdosa jika ditinggalkan).
imam Nawawi mengatakan hal itu ghairu mustahibbah, yaitu bukan hal yg bila dilakukan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa, maka jatuhlah derajatnya antara mubah dan makruh,
Imam Nawawi tidak mengucapkan haram, karena bila haram beliau tak payah payah menaruh kata ghairu mustahibbah dlsb, beliau akan berkata haram mutlaqan (haram secara mutlak), namun beliau tak mengatakannya,
Dan mengenai kata “Bid’ah” sebagaimana mereka menukil ucapan Imam Nawawi, fahamilah bahwa Bid;ah menurut WAHABI sangat jauh berbeda dengan BID’AH menurut Imam Nawawi, Imam Nawawi berpendapat Bid’ah terbagi lima bagian, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram (rujuk Syarh Nawawi ala Shahih Muslim Juz 6 hal 164-165),
maka sebelum mengambil dan menggunting Ucapan Imam Nawawi, fahami dulu apa maksud bid’ah dalam ta’rif Imam Nawawi, barulah bicara fatwa Bid’ah oleh Imam Nawawi,
bila Imam Nawawi menjelaskan bahwa dalam Bid’ah itu ada yg Mubah dan yg makruh, maka ucapan “Bid’ah Ghairu Mustahibbah” bermakna Bid’ah yg mubah atau yg makruh,
kecuali bila Imam Nawawi berkata “Bid’ah Muharramah” (Bid’ah yg haram).
Namun kenyataannya Imam Nawawi tidak mengatakannya haram, maka hukumnya antara Mubah dan makruh.
Untuk Ucapan Imam Ibn Hajar inipun jelas, beliau berkata Bid’ah Munkarah Makruhah, (Bid’ah tercela yg makruh), karena Bid;ah tercela itu tidak semuanya haram, sebagaimana masa kini sajadah yg padanya terdapat hiasan hiasan warna warni membentuk pemandangan atau istana istana dan burung burung misalnya, ini adalah Bid’ah buruk (munkarah) yg makruh, tidak haram untuk memakainya shalat, tidak batal shalat kita menggunakan sajadah semacam itu, namun Bid;ah buruk yg makruh, tidak haram, karena shalatnya tetap sah.
Hukum darimana makruh dibilang haram?, makruh sudah jelas makruh, hukumnya yutsab ala tarkihi wala yu’aqabu ala fi’lihi (mendapat pahala bila ditinggalkan dan tidak mendapat dosa bila dilakukan),
Dan yg dimakruhkan adalah menyiapkan makanan untuk mengundang orang, beda dengan orang datang lalu shohibul bait menyuguhi.
Berkata Shohibul Mughniy :
فأما صنع أهل الميت طعاما للناس فمكروه لأن فيه زيادة على مصيبتهم وشغلا لهم إلى شغلهم وتشبها بصنع أهل الجاهلية
Bila keluarga mayyit membuat makanan untuk orang, maka makruh, karena hal itu menambah atas musibah mereka dan menyibukkan, dan meniru niru perbuatan jahiliyah.
(Almughniy Juz 2 hal 215)
Lalu shohibul Mughniy menjelaskan kemudian :
وإن دعت الحاجة إلى ذلك جاز فإنه ربما جاءهم من يحضر ميتهم من القرى والأماكن البعيدة ويبيت عندهم ولا يمكنهم إلا أن يضيفوه
Bila mereka melakukannya karena ada sebab/hajat, maka hal itu diperbolehkan, karena barangkali diantara yg hadir mayyit mereka ada yg berdatangan dari pedesaan, dan tempat tempat yg jauh, dan menginap dirumah mereka, maka tak bisa tidak terkecuali mereka mesti dijamu (Almughniy Juz 2 hal 215)
(disini hukumnya berubah, yg asalnya makruh, menjadi Mubah bahkan hal yg mulia, karena tamu yg berdatangan dari jauh, maka jelaslah kita memahami bahwa pokok permasalahan adalah pada keluarga duka dan kebutuhan tamu,
Dijelaskan bahwa yg dimaksud adat jahiliyyah ini adalah membuat jamuan besar, mereka menyembelih sapi atau kambing demi mengundang tamu setelah ada kematian, ini makruh hukumnya, sebagian ulama mengharamkannya, namun beda dengan orang datang karena ingin menjenguk, lalu sohibulbait menyuguhi ala kadarnya, Bukan kebuli dan menyembelih kerbau, hanya besek sekedar hadiahan dan sedekah.
baiklah jika sebagian saudara kita masih belum tenang maka riwayat dibawah ini semoga dapat menenangkan mereka :
dari Ahnaf bin Qeis ra berkata : “Ketika Umar ra ditusuk dan terluka parah, ia memerintahkan Shuhaib untuk membuat makanan untuk orang orang” (AL Hafidh Al Imam Ibn Hajar pd Mathalibul ‘Aliyah Juz 1 hal 199 no.709, dan ia berkata sanadnya Hasan)
dari Thaawus ra : “Sungguh mayyit tersulitkan di kubur selama 7 hari, maka merupakan sebaiknya mereka memberi makan orang orang selama hari hari itu” (Diriwayatkan Oleh Al Hafidh Imam Ibn Hajar pd Mathalibul ‘Aliyah Juz 1 hal 199 dan berkata sanad nya Kuat
mengenai pengadaan makanan dan jamuan makanan pada rumah duka telah kuat dalilnya sebagaimana sabda Rasul saw : “Buatlah untuk keluarga Jakfar makanan sungguh mereka telah ditimpa hal yg membuat mereka sibuk” (diriwayatkan oleh Al Imam Tirmidziy no.998 dg sanad hasan, dan di Shahih kan oleh Imam Hakim Juz 1/372)
demikian pula riwayat shahih dibawah ini ;
فلما احتضرعمر أمر صهيبا أن يصلي بالناس ثلاثة أيام ، وأمر أن يجعل للناس طعام فيطعموا حتى يستخلفوا إنسانا ، فلما رجعوا من الجنازة جئ بالطعام ووضعت الموائد ، فأمسك الناس عنها للحزن الذي هم فيه ، فقال العباس بن عبد المطلب : أيها الناس ! إن رسول الله صلى الله عليه وسلم قد مات فأكلنا بعده وشربنا ومات أبو بكر فأكلنا بعده وشربنا وإنه لابد من الاجل فكلوا من هذا الطعام ، ثم مد
العباس يده فأكل ومد الناس أيديهم فأكلوا
Ketika Umar ra terluka sebelum wafatnya, ia memerintahkan pada Shuhaib untuk memimpin shalat, dan memberi makan para tamu selama 3 hari hingga mereka memilih seseorang, maka ketikan hidangan hidangan ditaruhkan, orang orang tak mau makan karena sedihnya, maka berkatalah Abbas bin Abdulmuttalib ra : Wahai hadirin.., sungguh telah wafat Rasulullah saw dan kita makan dan minum setelahnya, lalu wafat Abubakar ra dan kita makan dan minum sesudahnya, dan ajal itu adalah hal yg mesti, maka makanlah makanan ini..!”, lalu beliau ra mengulurkan tangannya dan makan, maka orang orang pun mengulurkan tangannya masing masing dan makan.
(Al fawaidussyahiir Li Abi Bakar Assyafii juz 1 hal 288, Kanzul ummaal fii sunanil aqwaal wal af’al Juz 13 hal 309, Thabaqatul Kubra Li Ibn Sa’d Juz 4 hal 29, Tarikh Dimasyq juz 26 hal 373, Al Makrifah wattaarikh Juz 1 hal 110)
Kini saya ulas dengan kesimpulan :
1. membuat jamuan untuk mengundang orang banyak dg masakan yg dibuat oleh keluarga mayyit hukumnya makruh, walaupun ada yg mengatakan haram namun Jumhur Imam dan Muhadditsin mengatakannya Makruh.
2. membuat jamuan dengan tujuan sedekah dan pahalanya untuk mayyit hukumnya sunnah, sebagaimana riwayat Shahih Bukhari seorang wanita mengatakan pada Nabi saw bahwa ibuku wafat, dan apakah ibuku mendapat pahala bila aku bersedekah untuknya?, Rasul saw menjawab : Betul (Shahih Bukhari hadits no.1322), bukankah wanita ini mengeluarkan uangnya untuk bersedekah..?,
3. menghidangkan makanan seadanya untuk tamu yg datang saat kematian adalah hal yg mubah, bukan makruh, misalnya sekedar teh, atau kopi sederhana.
4. Sunnah Muakkadah bagi masyarakat dan keluarga tidak datang begitu saja dg tangan kosong, namun bawalah sesuatu, berupa buah, atau uang, atau makanan.
5. makan makanan yg dihidangkan oleh mereka tidak haram, karena tak ada yg mengharamkannya, bahkan sebagaimana riwayat yg akan saya sebutkan bahwa Umar bin Khattab ra memerintahkan tuk menjamu tamunya jika ia wafat
6. boleh saja jika keluarga mayyit membeli makanan dari luar atau ketring untuk menyambut tamu tamu, karena pelarangan akan hal itulah yg akan menyusahkan keluarga mayyit, yaitu memasak dan merepotkan mereka.
7. makruh jika membuat hidangan besar seperti hidangan pernikahan demi menyambut tamu dirumah duka

mengenai fatwa Imam Syafii didalam kitab I’anatutthaalibin, yg diharamkan adalah Ittikhadzuddhiyafah, (mengadakan jamuan besar), sebagaimana dijelaskan “Syara’a lissurur”, yaitu jamuan makan untuk kegembiraan,
namun bila diniatkan untuk sedekah, walau menyembelih seribu ekor kerbau selama 40 hari 40 malam atau menyembelih 1.000 ekor kambing selama 100 hari atau bahkan tiap hari sekalipun, hal itu tidak ada larangannya, bahkan mendapat pahala.
MENGIRIM PAHALA DAN BACA’AN KEPADA MAYIT
1. Ucapan Imam Nawawi dalam Syarah Nawawi Ala shahih Muslim Juz 1 hal 90 menjelaskan :
من أراد بر والديه فليتصدق عنهما فان الصدقة تصل الى الميت وينتفع بها بلا خلاف بين المسلمين وهذا هو الصواب وأما ما حكاه أقضى القضاة أبو الحسن الماوردى البصرى الفقيه
الشافعى فى كتابه الحاوى عن بعض أصحاب الكلام من أن الميت لا يلحقه بعد موته ثواب فهو مذهب باطل قطعيا وخطأ بين مخالف لنصوص الكتاب والسنة واجماع الامة فلا التفات اليه ولا تعريج عليه وأما الصلاة والصوم فمذهب الشافعى وجماهير العلماء أنه لا يصل ثوابها الى الميت الا اذا كان الصوم واجبا على الميت فقضاه عنه وليه أو من أذن له الولي فان فيه قولين للشافعى أشهرهما عنه أنه لا يصلح وأصحهما ثم محققى متأخرى أصحابه أنه يصح وستأتى المسألة فى كتاب الصيام ان شاء الله تعالى
وأما قراءة القرآن فالمشهور من مذهب الشافعى أنه لا يصل ثوابها الى الميت وقال بعض أصحابه يصل ثوابها الى الميت وذهب جماعات من العلماء الى أنه يصل الى الميت ثواب جميع العبادات من الصلاة والصوم والقراءة وغير ذلك وفى صحيح البخارى فى باب من مات وعليه نذر أن ابن عمر أمر من ماتت أمها وعليها صلاة أن تصلى عنها وحكى صاحب الحاوى عن عطاء بن أبى رباح واسحاق بن راهويه أنهما قالا بجواز الصلاة عن الميت وقال الشيخ أبو سعد عبد الله بن محمد بن هبة الله بن أبى عصرون من أصحابنا المتأخرين فى كتابه الانتصار الى اختيار هذا وقال الامام أبو محمد البغوى من أصحابنا فى كتابه التهذيب لا يبعد أن يطعم عن كل صلاة مد من طعام وكل هذه إذنه كمال ودليلهم القياس على الدعاء والصدقة والحج فانها تصل
Berkata Imam Nawawi : “Barangsiapa yg ingin berbakti pada ayah ibunya maka ia boleh bersedekah atas nama mereka (kirim amal sedekah untuk mereka), dan sungguh pahala shadaqah itu sampai pada mayyit dan akan membawa manfaat atasnya tanpa ada ikhtilaf diantara muslimin, inilah pendapat terbaik, mengenai apa apa yg diceritakan pimpinan Qadhiy Abul Hasan Almawardiy Albashriy Alfaqiihi Assyafii mengenai ucapan beberapa Ahli Bicara (semacam wahabiy yg hanya bisa bicara tanpa ilmu) bahwa mayyit setelah wafatnya tak bisa menerima pahala, maka pemahaman ini Batil secara jelas dan kesalahan yg diperbuat oleh mereka yg mengingkari nash nash dari Alqur’an dan Alhadits dan Ijma ummat ini, maka tak perlu ditolelir dan tak perlu diperdulikan.
Namun mengenai pengiriman pahala shalat dan puasa, maka madzhab Syafii dan sebagian ulama mengatakannya tidak sampai kecuali shalat dan puasa yg wajib bagi mayyit, maka boleh di Qadha oleh wali nya atau orang lain yg diizinkan oleh walinya, maka dalam hal ini ada dua pendapat dalam Madzhab Syafii, yg lebih masyhur hal ini tak sampai, namun pendapat kedua yg lebih shahih mengatakan hal itu sampai, dan akan kuperjelas nanti di Bab Puasa Insya Allah Ta’ala.
Mengenai pahala Alqur’an menurut pendapat yg masyhur dalam madzhab Syafii bahwa tak sampai pada mayyit, namun adapula pendapat dari sahabat sahabat Syafii yg mengatakannya sampai, dan sebagian besar ulama mengambil pendapat bahwa sampainya pahala semua macam ibadah, berupa shalat, puasa, bacaan Alqur’an, ibadah dan yg lainnya, sebagaimana diriwayatkan dalam shahih Bukhari pada Bab : “Barangsiapa yg wafat dan atasnya nadzar” bahwa Ibn Umar memerintahkan seorang wanita yg wafat ibunya yg masih punya hutang shalat agar wanita itu membayar(meng qadha) shalatnya, dan dihikayatkan oleh Penulis kitab Al Hawiy, bahwa Atha bin Abi Ribah dan Ishaq bin Rahawayh bahwa mereka berdua mengatakan bolehnya shalat dikirim untuk mayyit,
telah berkata Syeikh Abu Sa’ad Abdullah bin Muhammad bin Hibatullah bin Abi Ishruun dari kalangan kita (berkata Imam nawawi dengan ucapan : “kalangan kita” maksudnya dari madzhab syafii) yg muta’akhir (dimasa Imam Nawawi) dalam kitabnya Al Intishar ilaa Ikhtiyar bahwa hal ini seperti ini. (sebagaimana pembahasan diatas), berkata Imam Abu Muhammad Al Baghawiy dari kalangan kita dalam kitabnya At Tahdzib : Tidak jauh bagi mereka untuk memberi satu Mudd untuk membayar satu shalat (shalat mayyit yg tertinggal) dan ini semua izinnya sempurna, dan dalil mereka adalah Qiyas atas Doa dan sedekah dan haji (sebagaimana riwayat hadist2 shahih) bahwa itu semua sampai dengan pendapat yg sepakat para ulama. (Syarh Nawawi Ala Shahih Muslim Juz 1 hal 90)
Maka jelaslah sudah bahwa Imam Nawawi menjelaskan dalam hal ini ada dua pendapat, dan yg lebih masyhur adalah yg mengatakan tak sampai, namun yg lebih shahih mengatakannya sampai,
tentunya kita mesti memilih yg lebih shahih, bukan yg lebih masyhur, Imam nawawi menjelaskan bahwa yg shahih adalah yg mengatakan sampai, walaupun yg masyhur mengatakan tak sampai, berarti yg masyhur itu dhoif, dan yg shahih adalah yg mengatakan sampai, dan Imam Nawawi menjelaskan pula bahwa sebagian besar ulama mengatakan semua amal apahal sampai.
Inilah liciknya orang orang wahabi, mereka bersiasat dengan “gunting tambal”, mereka menggunting gunting ucapan para imam lalu ditampilkan di web web, inilah bukti kelicikan mereka, Saya akan buktikan kelicikan mereka :
Lalu berkata pula Imam Nawawi :
أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها وهو كذلك باجماع العلماء وكذا أجمعوا على وصول الدعاء وقضاء الدين بالنصوص الواردة في الجميع ويصح الحج عن الميت اذا كان حج الاسلام وكذا اذا وصى بحج التطوع على الأصح عندنا واختلف العلماء في الصوم اذا مات وعليه صوم فالراجح جوازه عنه للأحاديث الصحيحة فيه
والمشهور في مذهبنا أن قراءة القرآن لا يصله ثوابها وقال جماعة من أصحابنا يصله ثوابها وبه قال أحمد بن حنبل
“Sungguh sedekah untuk dikirimkan pada mayyit akan membawa manfaat bagi mayyit dan akan disampaikan padanya pahalanya, demikian ini pula menurut Ijma (sepakat) para ulama, demikian pula mereka telah sepakat atas sampainya doa doa, dan pembayaran hutang (untuk mayyit) dengan nash2 yg teriwayatkan masing masing, dan sah pula haji untuk mayyit bila haji muslim,
demikian pula bila ia berwasiat untuk dihajikan dengan haji yg sunnah, demikian pendapat yg lebih shahih dalam madzhab kita (Syafii), namun berbeda pendapat para ulama mengenai puasa, dan yg lebih benar adalah yg membolehkannya sebagaimana hadits hadits shahih yg menjelaskannya,
dan yg masyhur dikalangan madzhab kita bahwa bacaan Alqur’an tidak sampai pada mayyit pahalanya, namun telah berpendapat sebagian dari ulama madzhab kita bahwa sampai pahalanya, dan Imam Ahmad bin Hanbal berpegang pada yg membolehkannya” (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 7 hal 90)
Dan dijelaskan pula dalam Almughniy :
ولا بأس بالقراءة ثم القبر وقد روي عن أحمد أنه قال إذا دخلتم المقابر اقرؤوا آية الكرسي وثلاث مرار قل هو الله أحد الإخلاص ثم قال اللهم إن فضله لأهل المقابر وروي عنه أنه قال القراءة ثم القبر بدعة وروي ذلك عن هشيم قال أبو بكر نقل ذلك عن أحمد جماعة ثم رجع رجوعا أبان به عن نفسه فروى جماعة أن أحمد نهى ضريرا أن يقرأ ثم القبر وقال له إن القراءة ثم القبر بدعة فقال له محمد بن قدامة الجوهري يا أبا عبد الله ما تقول في مبشر فلهذا قال ثقة قال فأخبرني مبشر عن أبيه أنه أوصى إذا دفن يقرأ عنده بفاتحة البقرة وخاتمتها وقال سمعت ابن عمر يوصي بذلك قال أحمد بن حنبل فارجع فقل للرجل يقرأ
“Tidak ada larangannya membaca Alqur’an dikuburan , dan telah diriwayatkan dari Ahmad bahwa bila kalian masuk pekuburan bacalah ayat alkursiy, lalu Al Ikhlas 3X, lalu katakanlah : Wahai Allah, sungguh pahalanya untuk ahli kubur”.
Dan diriwayatkan pula bahwa bacaan Alqur’an di kuburan adalah Bid’ah, dan hal itu adalah ucapan Imam Ahmad bin hanbal, lalu muncul riwayat lain bahwa Imam Ahmad melarang keras hal itu, maka berkatalah padanya Muhammad bin Qudaamah : Wahai Abu Abdillah (nama panggilan Imam Ahmad), apa pendapatmu tentang Mubasyir (seorang perawi hadits), Imam Ahmad menjawab : Ia Tsiqah (kuat dan terpercaya riwayatnya), maka berkata Muhammad bin Qudaamah sungguh Mubasyir telah meriwayatkan padaku dari ayahnya bahwa bila wafat agar dibacakan awal surat Baqarah dan penutupnya, dan bahwa Ibn Umar berwasiat demikian pula!”, maka berkata Imam Ahmad :”katakana pada orang yg tadi kularang membaca ALqur’an dikuburan agar ia terus membacanya lagi..”.
(Al Mughniy Juz 2 hal : 225)
Dan dikatakan dalam Syarh AL Kanz :
وقال في شرح الكنز إن للإنسان أن يجعل ثواب عمله لغيره صلاة كان أو صوما أو حجا أو صدقة أو قراءة قرآن ذلك من جميع أنواع البر ويصل ذلك إلى الميت وينفعه ثم أهل السنة انتهى والمشهور من مذهب الشافعي وجماعة من أصحابه أنه لا يصل إلى الميت ثواب قراءة القرآن وذهب أحمد بن حنبل وجماعة من العلماء وجماعة من أصحاب الشافعي إلى أنه يصل كذا ذكره النووي في الأذكار وفي شرح المنهاج لابن النحوي لا يصل إلى الميت عندنا ثواب القراءة على المشهور والمختار الوصول إذا سأل الله إيصال ثواب قراءته وينبغي الجزم به لأنه دعاء فإذا جاز الدعاء للميت بما ليس للداعي فلأن يجوز بما هو له أولى ويبقى الأمر فيه موقوفا على استجابة الدعاء وهذا المعنى لا يختص بالقراءة بل يجري في سائر الأعمال والظاهر أن الدعاء متفق عليه أنه ينفع الميت والحي القريب والبعيد بوصية وغيرها وعلى ذلك أحاديث كثيرة
“sungguh boleh bagi seseorang untuk mengirim pahala amal kepada orang lain, shalat kah, atau puasa, atau haji, atau shadaqah, atau Bacaan Alqur’an, dan seluruh amal ibadah lainnya, dan itu boleh untuk mayyit dan itu sudah disepakati dalam Ahlussunnah waljamaah.
Namun hal yg terkenal bahwa Imam Syafii dan sebagian ulamanya mengatakan pahala pembacaan Alqur’an tidak sampai, namun Imam Ahmad bin hanbal, dan kelompok besar dari para ulama, dan kelompok besar dari ulama syafii mengatakannya pahalanya sampai, demikian dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al Adzkar,
dan dijelaskan dalam Syarh Al Minhaj oleh Ibn Annahwiy : “tidak sampai pahala bacaan Alqur’an dalam pendapat kami yg masyhur, dan maka sebaiknya adalah pasti sampai bila berdoa kepada Allah untuk memohon penyampaian pahalanya itu,
dan selayaknya ia meyakini hal itu karena merupakan doa, karena bila dibolehkan doa tuk mayyit, maka menyertakan semua amal itu dalam doa tuk dikirmkan merupakan hal yg lebih baik, dan ini boleh tuk seluruh amal,
dan doa itu sudah Muttafaq alaih (tak ada ikhtilaf) bahwa doa itu sampai dan bermanfaat pada mayyit bahkan pada yg hidup, keluarga dekat atau yg jauh, dengan wasiat atau tanpa wasiat, dan dalil ini dengan hadits yg sangat banyak” (Naylul Awthar lil Imam Assyaukaniy Juz 4 hal 142, Al majmu’ Syarh Muhadzab lil Imam Nawawiy Juz 15 hal 522).
Kesimpulannya bahwa hal ini merupakan ikhtilaf ulama, ada yg mengatakan pengiriman amal pada mayyit sampai secara keseluruhan, ada yg mengatakan bahwa pengiriman bacaan Alqur’an tidak sampai, namun kesemua itu bila dirangkul dalam doa kepada Allah untuk disampaikan maka tak ada ikhtilaf lagi.
Dan kita semua dalam tahlilan itu pastilah ada ucapan : Allahumma awshil, tsawabaa maa qaraa’naa minalqur’anilkarim… dst (Wahai Allah, sampaikanlah pahala apa apa yg kami baca, dari alqur’anulkarim…dst). Maka jelaslah sudah bahwa Imam Syafii dan seluruh Imam Ahlussunnah waljamaah tak ada yg mengingkarinya dan tak adapula yg mengatakannya tak sampai.
kita ahlussunnah waljamaah mempunyai sanad, bila saya bicara fatwa Imam Bukhari, saya mempunyai sanad guru kepada Imam Bukhari,
bila saya berbicara fatwa Imam Nawawi, saya mempunyai sanad guru kepada Imam Nawawi, bila saya berbicara fatwa Imam Syafii, maka saya mempunyai sanad Guru kepada Imam Syafii.
demikianlah kita ahlussunnah waljamaah, kita tak bersanad kepada buku, kita mempunyai sanad guru, boleh saja dibantu oleh Buku buku, namun acuan utama adalah pada guru yg mempunyai sanad.
kasihan mereka mereka yg keluar dari ahlussunnah waljamaah karena berimamkan buku,
agama mereka sebatas buku buku, iman mereka tergantung buku, dan akidah mereka adalah pada buku buku.
jauh berbeda dengan ahlussunnah waljamaah, kita tahu siapa Imam Nawawi, Imam Nawawi bertawassul pada nabi saw, Imam nawawi mengagungkan Rasul saw, beliau membuat shalawat yg dipenuhi salam pada nabi Muhammad saw,
ia memperbolehkan tabarruk dan ziarah kubur, demikianlah para ulama ahlussunnah waljamaah.
Sabda Rasulullah saw : “Sungguh sebesar besar kejahatan muslimin pada muslimin lainnya, adalah yg bertanya tentang hal yg tidak diharamkan atas muslimin, menjadi diharamkan atas mereka karena ia mempermasalahkannya” (shahih Muslim hadits no.2358)
Menentukan jumlah hari (7 hari, 40, 100, setahun, 1000, dsb)
Pemilihan waktu dalam dzikir, doa maupun tilawah adalah sesuatu yang mubah saja karena dzikir, doa dan tilawah bisa dilakukan kapan pun. Memang ada waktu-waktu yang lebih dianjurkan semisal berdoa setelah shalat, membaca Al-Kahfi di malam Jum’ah, berdzikir di akhir malam dsb, namun hal itu tidak berarti bahwa dzikir di waktu lain itu tidak dianjurkan atau malah dilarang. Demikian pula menentukan dzikir di hari ke 1, 5, 7, 8, 15 dsb adalah hal mubah sepanjang tidak dijadikan pandangan keharusan karena memang tidak ada kewajiban ataupun anjuran untuk menetapkan jumlah hari tertentu. Penetapan hari 3, 7, 40, 100, 1000 hari dst sebetulnya tidak begitu saja ditetapkan, namun berdasarkan pada riwayat-riwayat meskipun memang dha’if sanadnya. Tetapi kedha’ifan tersebut tidak lantas mengubah hukum penetapan hari yang mubah menjadi makruh atau haram kecuali dianggap suatu keharusan.
Memang tidak dipungkiri bahwa sebagian masyarakat kita memahami penetapan jumlah hari ini sebagai keharusan akibat faktor gengsi atau pengajaran yang keliru dari para tokoh agama setempat. Hal ini harus diperbaiki agar tidak menimbulkan madharat apalagi jika dikaitkan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk membuat acara, padahal tujuan dari penetapan waktu-waktu tsb lebih pada upaya untuk secara konsisten mendoakan orang tua yang telah meninggal sebagai salah satu jalan pahala yang tetap mengalir setelah seseorang wafat. Bisa kita saksikan di masyarakat kita ada keluarga yang sampai harus menjual harta hanya untuk membuat acara 40 hari padahal kehidupan mereka sendiri compang-camping penuh kekurangan. Imbas-imbas buruk ini harus dikikis tanpa perlu menggeneralisasikan bahwa penetapan waktu itu membawa madharat bagi keluarga si mayyit.
Hukum dalam fiqh itu sarat dengan perbedaan pendapat (ikhtilaf) dan perbedaan ini juga ditemui dalam hukum membaca Alquran bagi wanita haid. Adapun fatwa keharaman membaca Alqur’an saat haid adalah fatwa yang masyhur dalam madzhab Syafi’i. Sedang fatwa dalam madzhab Hanafi, Maliki dan Hanbali bercabang dalam 2 pandangan, ada yang mengharamkan dan sebagian menganggapnya boleh.
Telah berkata Ibnu ‘Umar, sabda Nabi s.a.w. : „Tidak boleh membaca Qur’an orang yang junub dan tidak boleh (pula) perempuan yang berhaidl”. (H.R. Abu Dawud, Turmudzi dan Ibnu Majah). Hadits ini dishahihkan Imam Turmudzi namun dianggap dhaif oleh kebanyakan ahli hadits.
Namun pandangan yang menetapkan hukum haram bagi wanita haid untuk membaca Alquran disamping mempertimbangkan hadits di atas juga mengambil qiyas dengan keharaman membaca Quran saat junub yang keharamannya lebih disepakati para ulama. Mengingat tingkat hadats saat haid dan nifas lebih tinggi dari junub maka sudah sewajarnya hal yang diharamkan bagi orang junub lebih kuat keharamannya bagi wanita haid.
Meski demikian, fatwa yang mengharamkan membaca Alquran pun memberikan pengecualian untuk hal-hal tertentu, a.l. :
1. Bacaan Alquran yang sudah lazim tidak dianggap Alquran karena berfungsi sebagai dzikir atau doa. Misalnya bacaan basmalah sebelum makan, istirja’ (innaa lillaahi dst) saat ada musibah, doa sapu jagad (rabbanaa aatinaa fiddunyya dst).
2. Bacaan Alquran untuk kepentingan dirasah (pembelajaran) yang sifatnya dharury (wajib dikuasai segera) semisal bacaan fatihah untuk kepentingan shalat.
Karenanya untuk kasus belajar membaca Alquran yang sifatnya tidak dharury menurut hemat saya lebih baik dihentikan sementara. Dengan pertimbangan bahwa meskipun tidak mengesampingkan adanya pendapat bolehnya membaca Quran bagi wanita haid, khuruj minal khilaf (keluar dari perbedaan) dengan mengambil fatwa yang lebih berhati-hati layak untuk diutamakan. Apalagi belajar dalam hal ini sifatnya anjuran sehingga wajar dikalahkan demi menghindari keharaman.
Bisa dikatakan demikian, namun budaya yang bermaterikan nilai ibadah semisal bacaan Alquran dan dzikir tentu merupakan kebaikan sesuai dengan perintah untuk melazimkan (membiasakan) ibadah meskipun hanya sesuatu yang kecil. Hanya pemahaman yang banyak dikelirukan adalah anggapan bahwa 100 hari atau setahun, dll itulah yang dianggap ibadah padahal ibadah yang sesungguhnya adalah tilawah, dzikir dan doa. Sering di kampung kalau ditanya : bikin acara apa? maka jawabannya nyatus (100 hari) atau haul (setahun) dengan anggapan bahwa nyatus dan haul itulah yang bernilai ibadah. Padahal itu hanya penetapan momen/waktu yang mubah, sedang ibadah sesungguhnya adalah dzikir, doa, dsb yang pelaksanaannya tidak mesti menunggu momen tertentu tetapi selayaknya dilakukan secara istiqamah setiap saat.
Membaca yasin atau surah tertentu
Membaca Alquran sama halnya dengan dzikir, ia sunnah dibaca kapan saja di mana saja dengan sedikit pembatasan, semisal haram bagi wanita haid/nifas atau orang sedang junub (hadats besar), makruh dibaca di tempat yang sering kotor seperti WC. Selebihnya tidak ada pembatasan waktu maupun tempat. Yasin adalah bagian dari Alquran yang tentunya hukum membacanya sama dengan membaca Alquran.
Kaitannya dengan bacaan yasin untuk jenazah, sunnahnya adalah saat ada seseorang menjelang skaratul maut, keluarga/handai taulan hendaknya membacakannya surah yasin bukan saat sudah meninggal, akan tetapi apabila surah yasin dibaca saat seseorang sudah meninggal itu juga tidak mengapa dan hukum sunnahnya mengikuti kesunnahan umum membaca Alquran meski tidak mendapatkan sunnah khusus bacaan saat orang sakaratul maut.
Kalau ada yang berkata membaca tahlil/yasin bid’ah karena tidak dilakukan Rasulullah maka pernyataan tersebut terhapuskan oleh perintah berdzikir/tilawah Quran yang bersifat umum. Artinya membaca Alquran (termasuk yasin) dan dzikir (termasuk tahlil) selamanya adalah sunnah, kapan saja dan dimana saja kecuali ada dalil qath’i tentang pelarangannya dari Quran atau hadits seperti larangan bagi wanita haid.
Adapun mengkhususkan yasin atau surat yang dibaca memang tidak dianjurkan dan makruh jika memang hanya surat tertentu itu saja yang dibaca tanpa pernah membaca surah lain dalam Alquran. Perlu digarisbawahi bahwa hukum makruh tersebut bukan dalam bacaan yasinnya namun pada tindakan “pengkhususannya”. Sedang bacaan yasinnya tetap sunnah sebagaimana hukum umum membaca Alquran. Karena itu pengkhususan yang biasa dilakukan di wilayah kita bukanlah hal terlarang, apalagi hal itu dilakukan dengan pertimbangan bahwa masyarakat yang belum mampu membaca surah lain sebaik yasin. Tentu tetap perlu mengembangkan pembelajaran kepada masyarakat namun hal tersebut bisa saja dilakukan dengan jalur lain semisal melalui kajian-2 tajwid dan qira’ah.
tambahan catatan kecil :
  •  Tahlilan adalah bersama-sama melakukan do’a bagi orang yang sudah meninggal dunia yang dilakukan di rumah-rumah, musholla, surau atau majlis-majlis dengan harapan semoga diterima amalnya dan diampuni dosanya oleh Allah SWT. yang sebelumnya diucapkan beberapa kalimah thayyibah, tahmid, tasbih, tahlil dan ayat-ayat suci Al Qur’an
  • Tahlilan bukanlah bid’ah, karena tahlil sebenarnya do’a yang bisa dilakukan oleh semua kalangan baik secara perindividu ataupun jama’ah, tetapi karena di Indonesia tahlilan terbiasa dilakukan secara berjama’ah, maka menjadi kebiasaan atau adat. Seperti dalam ushul fiqhnya “Al Adatu Muhkamatun” kebiasaan bisa dijadikan hukum.
  • Tahlilan juga merupakan wahana silaturrahmi yang bisa mengeratkan tali persaudaraan antara sesama ummat islam.
  • Tahlilan juga bisa menjadi pelipur hati bagi keluarga yang sedang terkena musibah.
sedikit saran bagi yang sering menyelisih tentang tahlilan
  1. selalu mengintropeksi diri, apakah sudah benar perbuatan kita sesuai dengan tuntutan Rosulullah ataukah belum sesuai, karena tidak dibenarkan kita selalu mencari-cari kesalahan orang lain atau golongan lain.
  2. telitilah, kajialah, belajarlah lagi dan lagi, sering kebenaran itu menyentuh hatimu, coba telitilah tahlilan secara adil
  3. Biasakanlah lisan kita untuk selalu berdzikir dengan kalimat Tahlil, Tahmid, Tasbih dan Takbir. karena lisan yang terbiasa digunakan untuk berdzikir dapat mencerminkan hati yang bersih. Dan dengan harapan ketika ruh terlepas dari jasad kita kata yang terakhir diucapkan adalah kalimat tahlil.
  4. yuk podo ngaji bareng-bareng, maring para kyai, para ulama,
  5. jangan merasa paling benar, sehingga sering menghujat dan menyalahkan yang lain.
  6. islam itu cahaya, maka jadikanlah ia cahaya penerang untuk didunia dan akheratmu
bagaimana kawan, masih ada yang membidahkah sesat tahlilan dan yasinan… padahal banyak sekali manfaatnya…semoga Allah ilhamkan pemahaman yg dalam bagi yang masih dangkal pemahaman ilmunya…

mari kita terus mengkaji ilmu Allah untuk mengkuatkan iman dan akidah kita,
masih kurang jelas…silahkan download ini saja..
Download Ebook dalil tahlilan (PDF, 727.21 KB) :
Baru versi CHM :
semoga dapat membuka hati orang-orang yang seringnya keras hatinya….
coba munculkan satu dalil yg mengharamkan acara Tahlil, (acara berkumpulnya muslimin untuk mendoakan yg wafat) tidak di Al Qur?an, tidak pula di Hadits, tidak pula di Qaul Sahabat, tidak pula di kalam Imamulmadzahib, hanya mereka saja yg mengada ngada dari kesempitan pemahamannya.
jangan hanya dalil tentang bid’ah saja yang diperdebatkan, sedangkan dirinya sendiri tidak paham apa maksud dari bid’ah
semoga bermanfaat,
BACA SELENGKAPNYA »»  
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...