Rabu, 02 Januari 2013

Ucapan Kebencian

Ucapan kebencian adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, cacat[1], orientasi seksual[2] ,kewarganegaraan, agama, dan lain-lain.[3]
Dalam arti hukum, Hate speech adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak pelaku Pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut. Website yang menggunakan atau menerapkan Hate Speech ini disebut Hate Site. Kebanyakan dari situs ini menggunakan Forum internet dan Berita untuk mempertegas suatu sudut pandang tertentu.
Para kritikus berpendapat bahwa istilah Hate speech merupakan contoh modern dari novel Newspeak, ketika Hate speech dipakai untuk memberikan kritik secara diam-diam kepada kebijakan sosial yang diimplementasikan dengan buruk dan terburu-buru seakan-akan kebijakan tersebut terlihat benar secara politik.[4][5][6]
Sampai saat ini, belum ada pengertian atau definisi secara hukum mengenai apa yang disebut Hate speech dan pencemaran nama baik dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Inggris, pencemaran nama baik diartikan sebagai sebagai defamation, libel, dan slander yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah fitnah (defamation), fitnah lisan (slander), fitnah tertulis (libel). Dalam bahasa Indonesia, belum ada istilah yang sah untuk membedakan ketiga kata tersebut[7]

Daftar isi

Undang-Undang Hate speech

Hampir semua negara di seluruh Dunia mempunyai undang-undang yang mengatur tentang hate speech. Contohnya adalah Inggris, pada saat munculnya Public Order Act 1986 menyatakan bahwa suatu perbuatan dikategorikan sebagai tindakan kriminal adalah ketika seseorang melakukan perbuatan "mengancam, menghina, dan melecehkan baik dalam perkataan maupun perbuatan" terhadap "warna kulit, ras, kewarganegaraan, atau etnis". Di Brazil, negara mempunyai konstitusi yang melarang munculnya atau berkembangnya propaganda negatif terhadap agama, ras, kecurigaan antarkelas, dll. Di Turki, seseorang akan divonis penjara selama satu sampai tiga tahun apabila melakukan penghasutan terhadap seseorang yang membuat kebencian dan permusuhan dalam basis kelas, agama, ras, sekte, atau daerah. Di Jerman, ada hukum tertentu yang memperbolehkan korban dari pembinasaan untuk melakukan tindak hukum terhadap siapapun yang manyangkal bahwa pembinasaan itu terjadi. Di Kanada, Piagam Kanada untuk hak dan kebebasan (Canadian Charter of Rights and Freedoms) menjamin dalam kebebasan berekspresi namun dengan ketentuan-ketentuan tertentu agar tidak terjadi penghasutan.[8

Indonesia

Sementara di Indonesia, R. Susilo menerangkan bahwa yang dimaksud dari "menghina" adalah "menyerang kehormatan dan nama baik seseorang". Yang terkena dampak hate speech biasanya merasa malu. Menurutnya, penghinaan terhadap satu individu ada 6 macam yaitu[9]
  1. Menista secara lisan (smaad)
  2. Menista dengan surat/tertulis (smaadschrift)
  3. Memfitnah (laster)
  4. Penghinaan ringan (eenvoudige belediging)
  5. Mengadu secara memfitnah (lasterlijke aanklacht)
  6. Tuduhan secara memfitnah (lasterlijke verdachtmaking)
Semua penghinan tersebut hanya dapat dituntut jika ada pengaduan dari individu yang terkena dampak penghinaan, kecuali kalau penghinaan tersebut dilakukan kepada seorang pegawai negeri yang sedang melakukan pekerjaannya secara sah.
Pasal-pasal yang mengatur tindakan Hate speech terhadap seseorang semuanya terdapat di dalam Buku I KUHP Bab XVI khususnya pada Pasal 310, Pasal 311, Pasal 315, Pasal 317, dan Pasal 318 KUHP. Sementara, penghinaan atau pencemaran nama baik terhadap pemerintah, organisasi, atau suatu kelompok diatur dalam pasal-pasal khusus, yaitu[9]:
  1. Penghinaan terhadap kepala negara asing (Pasal 142 dan Pasal 143 KUHP)
  2. Penginaan terhadap segolongan penduduk/kelompok/organisasi (Pasal 156 dan Pasal 157 KUHP)
  3. Penghinaan terhadap pegawai agama (Pasal 177 KUHP)
  4. Penghinaan terhadap kekuasaan yang ada di Indonesia (Pasal 207 dan pasal 208 KUHP)

Hate Speech dalam Internet

Etika dalam dunia online perlu ditegaskan, mengingat dunia online merupakan hal yang sudah dianggap penting bagi masyarakat dunia. Namun, semakin banyak pihak yang menyalahgunakan dunia maya untuk menyebarluaskan hal-hal yang tidak lazim mengenai sesuatu, seperti suku bangsa, agama, dan ras. Penyebaran berita yang sifatnya fitnah di dunia Internet, misalnya, menjadi hal yang patut diperhatikan. Internet Service Provider (ISP) biasanya menjadi pihak yang dianggap bertanggung jawab atas segala isi yang mengandung fitnah. Sesungguhnya, isi yang mengandung fitnah berada di luar tanggung jawab ISP; terlebih ada pihak ke tiga yang memasukkannya tanpa sepengetahuan ISP. Sama halnya seperti manajemen dalam toko buku, dunia Internet membedakan peran antara distributor dan publisher. Dalam hal ini, ISP sekadar bertindak sebagai publisher yang mengontrak distributor untuk mengelola jaringan mereka. Hal di ataslah yang sering disebut dengan Libel yakni sebuah pernyataan ataupun ekspresi seseorang yang mengakibatkan rusaknya reputasi orang lain dalam komunitas tertentu karena ekspresinya itu. Ataupun bisa dalam bentuk pembunuhan karakter dan dalam dunia profesional sekalipun.[10]

Dalam bukunya yang berjudul ‘The New Communication Technology’, Mirabito menyatakan ada 12 ribu pengguna Internet yang menjadi korban kejahatan di Internet yang berkenaan dengan: suku bangsa, ras, agama, etnik, orientasi seksual, hingga gender. Nyatanya, kemajuan Internet berjalan seiring dengan peningkatan teror di dunia maya. Contoh kasus pada seorang anak muda berusia 19 tahun yang menggunakan komputer di sekolahnya untuk mengirim surat elektronik berisi ancaman pembunuhan pada 62 siswa lain yang keturunan Asia-Amerika. Contoh kasus di atas adalah salah satu contoh kasus mengenai istilah hate yang sering dihadapi oleh Amerika dan merupakan sebuah dilema dari kebebasan berekspresi dari first amandment mereka. Kejahatan Hate merupakan masalah serius yang dihadapi oleh Amerika, pada tahun 2001 sendiri terdapat 12.000 individu yang menjadi korban dari kejahatan Hate ini biasanya dikarenakan ras, etnis, negara asal, agama atau kepercayaan mereka, orientasi sex, atau bahkan karena gender mereka.[10]

Di Amerika, pernah muncul sebuah aksi yang bernama The Hate Crime Prevention Act of 2003 yang masih diperdebatkan dalam kongres yang ke-108. Jika aksi ini disahkan k edalam hukum, maka perlindungan dari hate speech akan semakin terjamin dari lembaga federal. Aksi tersebut didasarkan pada premis legal yaitu:[10]
  • Individu yang menjadi target Hate crime akan mencoba untuk pergi keluar batas negara agar tidak menjadi korban penghinaan
  • Pelaku kejahatan Hate crime akan mencoba untuk pergi melewati batas negara untuk melakukan penghinaan terhadap korban
  • Pelaku mungkin menggunakan artikel, termasuk komputer yang mampu menyebarkan informasi ke berbagai negara, untuk melakukan Hate crime

Indonesia

Tanpa kita sadari, sebenarnya hate speech masih banyak terjadi di Indonesia. Termasuk blogosphere (situs-situs blog) Indonesia. Contoh kasus hate speech di Indonesia adalah kasus ketika Luna Maya memaki infotainment lewat twitter yang terjadi pada akhir tahun 2009. Kalimat yang diucapkan Luna Maya pada saat itu adalah, “Jadi bingung kenapa manusia sekarang lebih kaya setan dibandingkan dengan setannya sendiri...apa yang disebut manusia udah jadi setan semua??”; “Infotement derajatnya lbh HINA daripada PELACUR, PEMBUNUH!!!! May your soul burn in hell!!” Peristiwa ini diduga ketika Luna menghadiri acara premier film “Sang Pemimpi” yang berlokasi di EX Plaza, tanggal 15 Desember malam hari. Pada saat itu, Luna sedang menggendong anak kandung dari Ariel. Meski sempat dilaporkan ke polisi, bahkan melibatkan Tantowi Yahya untuk mediasinya dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), akhirnya damai menjadi jalan tengah. PWI, atas nama Priyo Wibowo, mencabut laporan terhadap Luna Maya yang dituding telah melakukan pencemaran nama baik melalui akun Twitter.[11]
Selain itu ada contoh kasus lain, yaitu kasus Prita yang dituduh mencemarkan nama baik RS Omni Internasional lewat e-mail. Kronologis dimulai pada tanggal 7 Agustus 2008 sekitar pukul 20.30 ketika Prita datang ke UGD karena keluhan panas selama 3 hari, sakit kepala berat, mual, muntah, sakit tenggorokan, tidak BAB selama 3 hari, dan tidak nafsu makan. Pada saat pemeriksaan darah, ternyata terbilang jumlah trombosit Prita 181.000/ul dan kemudian dilakukan terapi. Selama 4 hari dirawat, ternyata gejala-gejala tersebut sudah mulai menghilang, namun timbul gondongan yang muncul di lehernya. Setelah mengetahui adanya gondongan di lehernya, Prita Lansung izin pulang dan mengisi form suggestion karena merasa tidak puas dengan layanan yang diberikan oleh rumah sakit. Tidak hanya lewat form suggestion, tetapi juga membuat surat lewat e-mail dan situs dengan judul "Penipuan OMNI Internasional Hospital Alam Sutera Tangerang", yang kemudian disebarluaskan ke berbagai alamat e-mail.[12]

Referensi

  1. ^ http://www.legislation.gov.uk/ukpga/2003/44/section/146.
  2. ^ An Activist's Guide to the Yogyakarta Principles; by Yogyakarta Principles in Action.
  3. ^ Definitions for "hate speech", Dictionary.com, diakses pada tanggal 16 Maret 2012.
  4. ^ UK-USA : The British Character of America.
  5. ^ The PCspeak of Diversity.
  6. ^ George Owell Meets the OIC.
  7. ^ ratiyu. 2011 Pencemaran Nama Baik Menurut Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. http://ratiyu.blogspot.com/2011/04/pencemaran-nama-baik-menurut-peraturan.html. diakses pada tanggal 24 Maret 2011
  8. ^ Walker, Samuel. 1996. Hate Speech : The History of an American Controversy. Lincoln, NE : University of Nebraska Press.
  9. ^ a b ratiyu. 2011. Defamation dan Hate speech menurut seorang pengamat. http://ratiyu.blogspot.com/2011/04/defamation-dan-hate-speech-menurut.html. diakses pada tanggal 23 Maret 2012.
  10. ^ a b c Mirabito, M.A.M., & Morgenstern, B.L. 2004. New Communication Technology: Applications, Policy, and Impact. Fifth Edition. UK: Focal Press.
  11. ^ Ichsan, Adhie. 2009. Luna Maya Ngamuk di Twitter. http://hot.detik.com/read/2009/12/16/113338/1261034/230/luna-maya-ngamuk-di-twitter. diakses pada tanggal 28 Maret 2012
  12. ^ Sandro. 2009. RS Omni Klarifikasi Tuduhan Prita http://megapolitan.kompas.com/read/2009/06/03/16571030%20/rs.omni.klarifikasi.tuduhan.prita. diakses pada tanggal 28 Maret 2012
BACA SELENGKAPNYA »»  

Kode Etik Jurnalistik

WARTAWAN adalah sebuah profesi. Dengan kata lain, wartawan adalah seorang profesional, seperti halnya dokter, bidan, guru, atau pengacara yang punya kode etik. Sebuah pekerjaan bisa disebut sebagai profesi jika memiliki empat hal berikut, sebagaimana dikemukakan seorang sarjana India, Dr. Lakshamana Rao:
  1. Harus terdapat kebebasan dalam pekerjaan tadi.
  2. Harus ada panggilan dan keterikatan dengan pekerjaan itu.
  3. Harus ada keahlian (expertise).
  4. Harus ada tanggung jawab yang terikat pada kode etik pekerjaan. (Assegaf, 1987).
Menurut saya, wartawan (Indonesia) sudah memenuhi keempat kriteria profesioal tersebut.



1.     Wartawan memiliki kebebasan yang disebut kebebasan pers, yakni kebebasan mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. UU No. 40/1999 tentang Pers menyebutkan, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, bahkan pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran (Pasal 4 ayat 1 dan 2). Pihak yang mencoba menghalangi kemerdekaan pers dapat dipidana penjara maksimal dua tahun atau dena maksimal Rp 500 juta (Pasal 18 ayat 1).
Meskipun demikian, kebebasan di sini dibatasi dengan kewajiban menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah (Pasal 5 ayat 1).
Memang, sebagai tambahan, pada prakteknya, kebebasan pers sebagaimana dipelopori para penggagas Libertarian Press pada akhirnya lebih banyak dinikmati oleh pemilik modal atau owner media massa. Akibatnya, para jurnalis dan penulisnya harus tunduk pada kepentingan pemilik atau setidaknya pada visi, misi, dan rubrikasi media tersebut. Sebuah koran di Bandung bahkan sering “mengebiri” kreativitas wartawannya sendiri selain mem-black list sejumlah penulis yang tidak disukainya.

2.     Jam kerja wartawan adalah 24 jam sehari karena peristiwa yang harus diliputnya sering tidak terduga dan bisa terjadi kapan saja. Sebagai seorang profesional, wartawan harus terjun ke lapangan meliputnya. Itulah panggilan dan keterikatan dengan pekerjaan sebagai wartawan. Bahkan, wartawan kadang-kadang harus bekerja dalam keadaan bahaya. Mereka ingin –dan harus begitu– menjadi orang pertama dalam mendapatkan berita dan mengenali para pemimpin dan orang-orang ternama.

3.     Wartawan memiliki keahlian tertentu, yakni keahlian mencari, meliput, dan menulis berita, termasuk keahlian dalam berbahasa tulisan dan Bahasa Jurnalistik.

4.     Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik (Pasal 7 ayat (2) UU No. 40/1999 tentang Pers). Dalam penjelasan disebutkan, yang dimaksud dengan Kode Etik Jurnalistik adalah Kode Etik yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers.

Kode Etik Jurnalistik (KEJ) pertama kali dikeluarkan dikeluarkan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). KEJ itu antara lain menetapkan.

  1. Berita diperoleh dengan cara yang jujur.
  2. Meneliti kebenaran suatu berita atau keterangan sebelum menyiarkan (check and recheck).
  3. Sebisanya membedakan antara kejadian (fact) dan pendapat (opinion).
  4. Menghargai dan melindungi kedudukan sumber berita yang tidak mau disebut namanya. Dalam hal ini, seorang wartawan tidak boleh memberi tahu di mana ia mendapat beritanya jika orang yang memberikannya memintanya untuk merahasiakannya.
  5. Tidak memberitakan keterangan yang diberikan secara off the record (for your eyes only).
  6. Dengan jujur menyebut sumbernya dalam mengutip berita atau tulisan dari suatu suratkabar atau penerbitan, untuk kesetiakawanan profesi.
Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI)
Ketika Indonesia memasuki era reformasi dengan berakhirnya rezim Orde Baru, organisasi wartawan yang tadinya “tunggal”, yakni hanya PWI, menjadi banyak. Maka, KEJ pun hanya “berlaku” bagi wartawan yang menjadi anggota PWI.
Namun demikian, organisasi wartawan yang muncul selain PWI pun memandang penting adanya Kode Etik Wartawan. Pada 6 Agustus 1999, sebanyak 24 dari 26 organisasi wartawan berkumpul di Bandung dan menandatangani  Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI). Sebagian besar isinya mirip dengan KEJ PWI.
KEWI berintikan tujuh hal sebagai berikut:
  1. Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.
  2. Wartawan Indonesia menempuh tatacara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi.
  3. Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta dengan opini, berimbang, dan selalu meneliti kebenaran informasi serta tidak melakukan plagiat.
  4. Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.
  5. Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi.
  6. Wartawan Indonesia memiliki Hak Tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai kesepakatan.
  7. Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani Hak Jawab.
KEWI kemudian ditetapkan sebagai Kode Etik yang berlaku bagi seluruh wartawan Indonesia. Penetapan dilakukan Dewan Pers sebagaimana diamanatkan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers melalui SK Dewan Pers No. 1/SK-DP/2000 tanggal 20 Juni 2000.
Penetapan Kode Etik itu guna menjamin tegaknya kebebasan pers serta terpenuhinya hak-hak masyarakat. Kode Etik harus menjadi landasan moral atau etika profesi yang bisa menjadi pedoman operasional dalam menegakkan integritas dan profesionalitas wartawan. Pengawasan dan penetapan sanksi atas pelanggaran kode etik tersebut sepenuhnya diserahkan kepada jajaran pers dan dilaksanakan oleh organisasi yang dibentuk untuk itu.
KEWI harus mendapat perhatian penuh dari semua wartawan. Hal itu jika memang benar-benar ingin menegakkan citra dan posisi wartawan sebagai “kaum profesional”. Paling tidak, KEWI itu diawasi secara internal oleh pemilik atau manajemen redaksi masing-masing media massa
BACA SELENGKAPNYA »»  

Selasa, 01 Januari 2013

SEJARAH WAHABI

 copas http://www.akhirzaman.info/islam/saudi-dan-wahhabi/1780-sejarah-wahhabi.html
sejarah perkembangannya semaksimal mungkin berdasarkan berbagai sumber dan rujukan kitab-kitab yang dapat dipertanggung-jawabkan, diantaranya, Fitnatul Wahabiyah karya Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, I’tirofatul Jasus AI-Injizy pengakuan Mr. Hempher, Daulah Utsmaniyah dan Khulashatul Kalam karya Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, dan lain-lain. Nama Aliran Wahabi ini diambil dari nama pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahab (lahir di Najed tahun 1111 H / 1699 M). Asal mulanya dia adalah seorang pedagang yang sering berpindah dari satu negara ke negara lain dan diantara negara yang pernah disinggahi adalah Baghdad, Iran, India dan Syam. Kemudian pada tahun 1125 H / 1713 M, dia terpengaruh oleh seorang orientalis Inggris bernama Mr. Hempher yang bekerja sebagai mata-mata Inggris di Timur Tengah. Sejak itulah dia menjadi alat bagi Inggris untuk menyebarkan ajaran barunya. Inggris memang telah berhasil mendirikan sekte-sekte bahkan agama baru di tengah umat Islam seperti Ahmadiyah dan Baha’i. Bahkan Muhammad bin Abdul Wahab ini juga termasuk dalam target program kerja kaum kolonial dengan alirannya Wahabi.
Mulanya Muhammad bin Abdul Wahab hidup di lingkungan sunni pengikut madzhab Hanbali, bahkan ayahnya Syaikh Abdul Wahab adalah seorang sunni yang baik, begitu pula guru-gurunya. Namun sejak semula ayah dan guru-gurunya mempunyai firasat yang kurang baik tentang dia bahwa dia akan sesat dan menyebarkan kesesatan. Bahkan mereka menyuruh orang-orang untuk berhati-hati terhadapnya. Ternyata tidak berselang lama firasat itu benar. Setelah hal itu terbukti ayahnya pun menentang dan memberi peringatan khusus padanya. Bahkan kakak kandungnya, Sulaiman bin Abdul Wahab, ulama besar dari madzhab Hanbali, menulis buku bantahan kepadanya dengan judul As-Sawa’iqul Ilahiyah Fir Raddi Alal Wahabiyah. Tidak ketinggalan pula salah satu gurunya di Madinah, Syekh Muhammad bin Sulaiman AI-Kurdi as-Syafi’i, menulis surat berisi nasehat: “Wahai Ibn Abdil Wahab, aku menasehatimu karena Allah, tahanlah lisanmu dari mengkafirkan kaum muslimin, jika kau dengar seseorang meyakini bahwa orang yang ditawassuli bisa memberi manfaat tanpa kehendak Allah, maka ajarilah dia kebenaran dan terangkan dalilnya bahwa selain Allah tidak bisa memberi manfaat maupun madharrat, kalau dia menentang bolehlah dia kau anggap kafir, tapi tidak mungkin kau mengkafirkan As-Sawadul A’zham (kelompok mayoritas) diantara kaum muslimin, karena engkau menjauh dari kelompok terbesar, orang yang menjauh dari kelompok terbesar lebih dekat dengan kekafiran, sebab dia tidak mengikuti jalan muslimin.”
Sebagaimana diketahui bahwa madzhab Ahlus Sunah sampai hari ini adalah kelompok terbesar. Allah Azza wa Jalla berfirman: “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu (Allah biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan) dan kami masukkan ia ke dalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS: An-Nisa 4:115).
Salah satu dari ajaran yang (diyakini oleh Muhammad bin Abdul Wahab, adalah mengkufurkan kaum muslim sunni yang mengamalkan tawassul, ziarah kubur, maulid nabi, dan lain-lain. Berbagai dalil akurat yang disampaikan ahlussunnah wal jama’ah berkaitan dengan tawassul, ziarah kubur serta maulid, ditolak tanpa alasan yang dapat diterima. Bahkan lebih dari itu, justru berbalik mengkafirkan kaum muslimin sejak 600 tahun sebelumnya, termasuk guru-gurunya sendiri.
Pada satu kesempatan seseorang bertanya pada Muhammad bin Abdul Wahab, “Berapa banyak Allah membebaskan orang dari neraka pada bulan Ramadhan?” Dengan segera dia menjawab, “Setiap malam Allah membebaskan 100 ribu orang, dan di akhir malam Ramadhan Allah membebaskan sebanyak hitungan orang yang telah dibebaskan dari awal sampai akhir Ramadhan” Lelaki itu bertanya lagi “Kalau begitu pengikutmu tidak mencapai satu persen pun dari jumlah tersebut, lalu siapakah kaum muslimin yang dibebaskan Allah tersebut? Dari manakah jumlah sebanyak itu? Sedangkan engkau membatasi bahwa hanya pengikutmu saja yang muslim.” Mendengar jawaban itu Ibn Abdil Wahab pun terdiam seribu bahasa. Sekalipun demikian Muhammad bin Abdul Wahab tidak menggubris nasehat ayahnya dan guru-gurunya itu.
Dengan berdalihkan pemurnian ajaran Islam, dia terus menyebarkan ajarannya di sekitar wilayah Najed. Orang-orang yang pengetahuan agamanya minim banyak yang terpengaruh. Termasuk diantara pengikutnya adalah penguasa Dar’iyah, Muhammad bin Saud (meninggal tahun 1178 H / 1765 M) pendiri dinasti Saudi, yang dikemudian hari menjadi mertuanya. Dia mendukung secara penuh dan memanfaatkannya untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Ibn Saud sendiri sangat patuh pada perintah Muhammad bin Abdul Wahab. Jika dia menyuruh untuk membunuh atau merampas harta seseorang dia segera melaksanakannya dengan keyakinan bahwa kaum muslimin telah kafir dan syirik selama 600 tahun lebih, dan membunuh orang musyrik dijamin surga.
Sejak semula Muhammad bin Abdul Wahab sangat gemar mempelajari sejarah nabi-nabi palsu, seperti Musailamah Al-Kadzdzab, Aswad Al-Ansiy, Tulaihah Al-Asadiy dll. Agaknya dia punya keinginan mengaku nabi, ini tampak sekali ketika ia menyebut para pengikut dari daerahnya dengan julukan Al-Anshar, sedangkan pengikutnya dari luar daerah dijuluki Al-Muhajirin. Kalau seseorang ingin menjadi pengikutnya, dia harus mengucapkan dua syahadat di hadapannya kemudian harus mengakui bahwa sebelum masuk Wahabi dirinya adalah musyrik, begitu pula kedua orang tuanya. Dia juga diharuskan mengakui bahwa para ulama besar sebelumnya telah mati kafir. Kalau mau mengakui hal tersebut dia diterima menjadi pengikutnya, kalau tidak dia pun langsung dibunuh. Muhammad bin Abdul Wahab juga sering merendahkan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam  dengan dalih pemurnian akidah, dia juga membiarkan para pengikutnya melecehkan Nabi di hadapannya, sampai-sampai seorang pengikutnya berkata : “Tongkatku ini masih lebih baik dari Muhammad, karena tongkat-ku masih bisa digunakan membunuh ular, sedangkan Muhammad telah mati dan tidak tersisa manfaatnya sama sekali. Muhammad bin Abdul Wahab di hadapan pengikutnya tak ubahnya seperti Nabi di hadapan umatnya. Pengikutnya semakin banyak dan wilayah kekuasaan semakin luas. Keduanya bekerja sama untuk memberantas tradisi yang dianggapnya keliru dalam masyarakat Arab, seperti tawassul, ziarah kubur, peringatan Maulid dan sebagainya. Tak mengherankan bila para pengikut Muhammad bin Abdul Wahab lantas menyerang makam-makam yang mulia. Bahkan, pada 1802, mereka menyerang Karbala-Irak, tempat dikebumikan jasad cucu Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, Husein bin Ali bin Abi Thalib. Karena makam tersebut dianggap tempat munkar yang berpotensi syirik kepada Allah. Dua tahun kemudian, mereka menyerang Madinah, menghancurkan kubah yang ada di atas kuburan, menjarah hiasan-hiasan yang ada di Hujrah Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Keberhasilan menaklukkan Madinah berlanjut. Mereka masuk ke Mekkah pada 1806, dan merusak kiswah, kain penutup Ka’bah yang terbuat dari sutra. Kemudian merobohkan puluhan kubah di Ma’la, termasuk kubah tempat kelahiran Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, tempat kelahiran Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Ali, juga kubah Sayyidatuna Khadijah, masjid Abdullah bin Abbas. Mereka terus menghancurkan masjid-masjid dan tempat-tempat kaum solihin sambil bersorak-sorai, menyanyi dan diiringi tabuhan kendang. Mereka juga mencaci-maki ahli kubur bahkan sebagian mereka kencing di kubur kaum solihin tersebut. Gerakan kaum Wahabi ini membuat Sultan Mahmud II, penguasa Kerajaan Usmani, Istanbul-Turki, murka. Dikirimlah prajuritnya yang bermarkas di Mesir, di bawah pimpinan Muhammad Ali, untuk melumpuhkannya. Pada 1813, Madinah dan Mekkah bisa direbut kembali. Gerakan Wahabi surut. Tapi, pada awal abad ke-20, Abdul Aziz bin Sa’ud bangkit kembali mengusung paham Wahabi. Tahun 1924, ia berhasil menduduki Mekkah, lalu ke Madinah dan Jeddah, memanfaatkan kelemahan Turki akibat kekalahannya dalam Perang Dunia I. Sejak itu, hingga kini, paham Wahabi mengendalikan pemerintahan di Arab Saudi. Dewasa ini pengaruh gerakan Wahabi bersifat global. Riyadh mengeluarkan jutaan dolar AS setiap tahun untuk menyebarkan ideologi Wahabi. Sejak hadirnya Wahabi, dunia Islam tidak pernah tenang penuh dengan pergolakan pemikiran, sebab kelompok ekstrem itu selalu menghalau pemikiran dan pemahaman agama Sunni-Syafi’i yang sudah mapan.
Kekejaman dan kejahilan Wahabi lainnya adalah meruntuhkan kubah-kubah di atas makam sahabat-sahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang berada di Ma’la (Mekkah), di Baqi’ dan Uhud (Madinah) semuanya diruntuhkan dan diratakan dengan tanah dengan mengunakan dinamit penghancur. Demikian juga kubah di atas tanah Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dilahirkan, yaitu di Suq al Leil diratakan dengan tanah dengan menggunakan dinamit dan dijadikan tempat parkir onta, namun karena gencarnya desakan kaum Muslimin International maka dibangun perpustakaan. Kaum Wahabi benar-benar tidak pernah menghargai peninggalan sejarah dan menghormati nilai-nilai luhur Islam.  Semula AI-Qubbatul Khadra (kubah hijau) tempat Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dimakamkan juga akan dihancurkan dan diratakan dengan tanah tapi karena ancaman International maka orang-orang biadab itu menjadi takut dan mengurungkan niatnya. Begitu pula seluruh rangkaian yang menjadi manasik haji akan dimodifikasi termasuk maqom Ibrahim akan digeser tapi karena banyak yang menentangnya maka diurungkan.
Pengembangan kota suci Makkah dan Madinah akhir-akhir ini tidak mempedulikan situs-situs sejarah Islam. Makin habis saja bangunan yang menjadi saksi sejarah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam  dan sahabatnya. Bangunan itu dibongkar karena khawatir dijadikan tempat keramat. Bahkan sekarang, tempat kelahiran Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam terancam akan dibongkar untuk perluasan tempat parkir. Sebelumnya, rumah Rasulullah pun sudah lebih dulu digusur. Padahal, disitulah Rasulullah berulang-ulang menerima wahyu. Di tempat itu juga putra-putrinya dilahirkan serta Khadijah meninggal.
Islam dengan tafsiran kaku yang dipraktikkan Wahabisme paling punya andil dalam pemusnahan ini. Kaum Wahabi memandang situs-situs sejarah itu bisa mengarah kepada pemujaan berhala baru. Pada bulan Juli yang lalu, Sami Angawi, pakar arsitektur Islam di wilayah tersebut mengatakan bahwa beberapa bangunan dari era Islam kuno terancam musnah. Pada lokasi bangunan berumur 1.400 tahun Itu akan dibangun jalan menuju menara tinggi yang menjadi tujuan ziarah jamaah haji dan umrah.
“Saat ini kita tengah menyaksikan saat-saat terakhir sejarah Makkah. Bagian bersejarahnya akan segera diratakan untuk dibangun tempat parkir,” katanya kepada Reuters. Angawi menyebut setidaknya 300 bangunan bersejarah di Makkah dan Madinah dimusnahkan selama 50 tahun terakhir. Bahkan sebagian besar bangunan bersejarah Islam telah punah semenjak Arab Saudi berdiri pada 1932. Hal tersebut berhubungan dengan maklumat yang dikeluarkan Dewan Keagamaan Senior Kerajaan pada tahun 1994. Dalam maklumat tersebut tertulis, “Pelestarian bangunan bangunan bersejarah berpotensi menggiring umat Muslim pada penyembahan berhala.” (Mirip Masonic bukan?)
Nasib situs bersejarah Islam di Arab Saudi memang sangat menyedihkan. Mereka banyak menghancurkan peninggalan-peninggalan Islam sejak masa Ar-Rasul Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Semua jejak jerih payah Rasulullah itu habis oleh modernisasi ala Wahabi. Sebaliknya mereka malah mendatangkan para arkeolog (ahli purbakala) dari seluruh dunia dengan biaya ratusan juta dollar untuk menggali peninggalan-peninggalan sebelum Islam baik yang dari kaum jahiliyah maupun sebelumnya dengan dalih obyek wisata. Kemudian dengan bangga mereka menunjukkan bahwa zaman pra Islam telah menunjukkan kemajuan yang luar biasa, tidak diragukan lagi ini merupakan pelenyapan bukti sejarah yang akan menimbulkan suatu keraguan di kemudian hari.
Gerakan wahabi dimotori oleh para juru dakwah yang radikal dan ekstrim, mereka menebarkan kebencian permusuhan dan didukung oleh keuangan yang cukup besar. Mereka gemar menuduh golongan Islam yang tak sejalan dengan mereka dengan tuduhan kafir, syirik dan ahli bid’ah. Itulah ucapan yang selalu didengungkan di setiap kesempatan, mereka tak pernah mengakui jasa para ulama Islam manapun kecuali kelompok mereka sendiri. Di negeri kita ini mereka menaruh dendam dan kebencian mendalam kepada para Wali Songo yang menyebarkan dan meng-Islam-kan penduduk negeri ini.
Mereka mengatakan ajaran para wali itu masih kecampuran kemusyrikan Hindu dan Budha, padahal para Wali itu telah meng-Islam-kan 90 % penduduk negeri ini. Mampukah wahabi-wahabi itu meng-Islam-kan yang 10% sisanya? Mempertahankan yang 90 % dari terkaman orang kafir saja tak bakal mampu, apalagi mau menambah 10 % sisanya. Justru mereka dengan mudahnya mengkafirkan orang-orang yang dengan nyata bertauhid kepada Allah SWT. Jika bukan karena Rahmat Allah yang mentakdirkan para Wali Songo untuk berdakwah ke negeri kita ini, tentu orang-orang yang menjadi corong kaum wahabi itu masih berada dalam kepercayaan animisme, penyembah berhala atau masih kafir. (Naudzu billah min dzalik).
Oleh karena itu janganlah dipercaya kalau mereka mengaku-aku sebagai faham yang hanya berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka berdalih mengikuti keteladanan kaum salaf apalagi mengaku sebagai golongan yang selamat dan sebagainya, itu semua omong kosong belaka. Mereka telah menorehkan catatan hitam dalam sejarah dengan membantai ribuan orang di Makkah dan Madinah serta daerah lain di wilayah Hijaz (yang sekarang dinamakan Saudi). Tidakkah anda ketahui bahwa yang terbantai waktu itu terdiri dari para ulama yang sholeh dan alim, bahkan anak-anak serta balita pun mereka bantai di hadapan ibunya. Tragedi berdarah ini terjadi sekitar tahun 1805. Semua itu mereka lakukan dengan dalih memberantas bid’ah, padahal bukankah nama Saudi sendiri adalah suatu nama bid’ah” Karena nama negeri Rasulullah SAW diganti dengan nama satu keluarga kerajaan pendukung faham wahabi yaitu As-Sa’ud.
Sungguh Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam  telah memberitakan akan datangnya Faham Wahabi ini dalam beberapa hadits, ini merupakan tanda kenabian beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam  dalam memberitakan sesuatu yang belum terjadi. Seluruh hadits-hadits ini adalah shahih, sebagaimana terdapat dalam kitab shahih BUKHARI & MUSLIM dan lainnya. Diantaranya: “Fitnah itu datangnya dari sana, fitnah itu datangnya dari arah sana,” sambil menunjuk ke arah timur (Najed). (HR. Muslim dalam Kitabul Fitan).
“Akan keluar dari arah timur segolongan manusia yang membaca Al-Qur’an namun tidak sampai melewati kerongkongan mereka (tidak sampai ke hati), mereka keluar dari agama seperti anak panah keluar dari busurnya, mereka tidak akan bisa kembali seperti anak panah yang tak akan kembali ketempatnya, tanda-tanda mereka ialah bercukur (Gundul).” (HR Bukho-ri no 7123, Juz 6 hal 20748). Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Majah, Abu Daud, dan Ibnu Hibban.
Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam  pernah berdo’a: “Ya Allah, berikan kami berkah dalam negara Syam dan Yaman,” Para sahabat berkata: Dan dari Najed, wahai Rasulullah, beliau berdo’a: “Ya Allah, berikan kami berkah dalam negara Syam dan Yaman,” dan pada yang ketiga kalinya beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: “Di sana (Najed) akan ada keguncangan fitnah serta di sana pula akan muncul tanduk syaitan.” Dalam riwayat lain dua tanduk syaitan.
Dalam hadits-hadits tersebut dijelaskan, bahwa tanda-tanda mereka adalah bercukur (gundul). Dan ini adalah merupakan nash yang jelas ditujukan kepada para penganut Muhammad bin Abdul Wahab, karena dia telah memerintahkan setiap pengikutnya mencukur rambut kepalanya hingga mereka yang mengikuti tidak diperbolehkan berpaling dari majlisnya sebelum bercukur gundul. Hal seperti ini tidak pernah terjadi pada aliran-aliran sesat lain sebelumnya. Seperti yang telah dikatakan oleh Sayyid Abdurrahman Al-Ahdal: “Tidak perlu kita menulis buku untuk menolak Muhammad bin Abdul Wahab, karena sudah cukup ditolak oleh hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam itu sendiri yang telah menegaskan bahwa tanda-tanda mereka adalah bercukur (gundul), karena ahli bid’ah sebelumnya tidak pernah berbuat demikian.” Al-Allamah Sayyid AIwi bin Ahmad bin Hasan bin Al-Quthub Abdullah AI-Haddad menyebutkan dalam kitabnya Jala’uzh Zholam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abbas bin Abdul Muthalib dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam: “Akan keluar di abad kedua belas (setelah hijrah) nanti di lembah BANY HANIFAH seorang lelaki, yang tingkahnya bagaikan sapi jantan (sombong), lidahnya selalu menjilat bibirnya yang besar, pada zaman itu banyak terjadi kekacauan, mereka menghalalkan harta kaum muslimin, diambil untuk berdagang dan menghalalkan darah kaum muslimin” AI-Hadits.
BANY HANIFAH adalah kaum nabi palsu Musailamah Al-Kadzdzab dan Muhammad bin Saud. Kemudian dalam kitab tersebut Sayyid AIwi menyebutkan bahwa orang yang tertipu ini tiada lain ialah Muhammad bin Abdul Wahab. Adapun mengenai sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang mengisyaratkan bahwa akan ada keguncangan dari arah timur (Najed) dan dua tanduk setan, sebagian, ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan dua tanduk setan itu tiada lain adalah Musailamah Al-Kadzdzab dan Muhammad Ibn Abdil Wahab. Pendiri ajaran Wahabiyah ini meninggal tahun 1206 H / 1792 M.
Diambil dari rubrik Bayan, majalah bulanan Cahaya Nabawiy No. 33 Th. III Sya’ban 1426 H / September 2005 M
BACA SELENGKAPNYA »»  

Tahun Baru Masehi: Sejarah Kelam Penghapusan Jejak Islam


Dalam beberapa hari ke depan, tahun 2009 akan segera berganti, dan tahun 2010 akan menjelang. Ini tahun baru Masehi, tentu saja, karena tahun baru Hijriyah telah terjadi satu pekan yang lalu. Bagi kita orang Islam, ada apa dengan tahun baru Masehi?
Sejarah Tahun Baru Masehi
Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM. Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir.
Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.

Perayaan Tahun Baru
Saat ini, tahun baru 1 Januari telah dijadikan sebagai salah satu hari suci umat Kristen. Namun kenyataannya, tahun baru sudah lama menjadi tradisi sekuler yang menjadikannya sebagai hari libur umum nasional untuk semua warga Dunia.
Pada mulanya perayaan ini dirayakan baik oleh orang Yahudi yang dihitung sejak bulan baru pada akhir September. Selanjutnya menurut kalender Julianus, tahun Romawi dimulai pada tanggal 1 Januari. Paus Gregorius XIII mengubahnya menjadi 1 Januari pada tahun 1582 dan hingga kini seluruh dunia merayakannya pada tanggal tersebut.
Perayaan Tahun Baru Zaman Dulu
Seperti kita ketahu, tradisi perayaan tahun baru di beberapa negara terkait dengan ritual keagamaan atau kepercayaan mereka—yang tentu saja sangat bertentangan dengan Islam. Contohnya di Brazil. Pada tengah malam setiap tanggal 1 Januari, orang-orang Brazil berbondong-bondong menuju pantai dengan pakaian putih bersih. Mereka menaburkan bunga di laut, mengubur mangga, pepaya dan semangka di pasir pantai sebagai tanda penghormatan terhadap sang dewa Lemanja—Dewa laut yang terkenal dalam legenda negara Brazil.
Seperti halnya di Brazil, orang Romawi kuno pun saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci untuk merayakan pergantian tahun. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Janus, dewa pintu dan semua permulaan. Menurut sejarah, bulan Januari diambil dari nama dewa bermuka dua ini (satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang).

Sedangkan menurut kepercayaan orang Jerman, jika mereka makan sisa hidangan pesta perayaan New Year’s Eve di tanggal 1 Januari, mereka percaya tidak akan kekurangan pangan selama setahun penuh. Bagi orang kristen yang mayoritas menghuni belahan benua Eropa, tahun baru masehi dikaitkan dengan kelahiran Yesus Kristus atau Isa al-Masih, sehingga agama Kristen sering disebut agama Masehi. Masa sebelum Yesus lahir pun disebut tahun Sebelum Masehi (SM) dan sesudah Yesus lahir disebut tahun Masehi.
Pada tanggal 1 Januari orang-orang Amerika mengunjungi sanak-saudara dan teman-teman atau nonton televisi: Parade Bunga Tournament of Roses sebelum lomba futbol Amerika Rose Bowl dilangsungkan di Kalifornia; atau Orange Bowl di Florida; Cotton Bowl di Texas; atau Sugar Bowl di Lousiana. Di Amerika Serikat, kebanyakan perayaan dilakukan malam sebelum tahun baru, pada tanggal 31 Desember, di mana orang-orang pergi ke pesta atau menonton program televisi dari Times Square di jantung kota New York, di mana banyak orang berkumpul. Pada saat lonceng tengah malam berbunyi, sirene dibunyikan, kembang api diledakkan dan orang-orang menerikkan "Selamat Tahun Baru" dan menyanyikan Auld Lang Syne.Di negara-negara lain, termasuk Indonesia? Sama saja!

Bagi kita, orang Islam, merayakan tahun baru Masehi, tentu saja akan semakin ikut andil dalam menghapus jejak-jejak sejarah Islam yang hebat. Sementara beberapa pekan yang lalu, kita semua sudah melewati tahun baru Muharram, dengan sepi tanpa gemuruh apapun.
BACA SELENGKAPNYA »»  

Sekali Lagi, Hukum Mengucap “Selamat Natal”

SETIAP datang saat Natal (dan Tahun Baru Masehi) kerap kali muncul perdebatan seputar boleh-tidaknya mengucapkan “Selamat Natal”. Sebagian mengharamkan, sebagian membolehkan. Namun akhir-akhir ini, suara kalangan yang membolehkan semakin kencang. Jusuf Kalla membolehkan ucapan itu, Shalahuddin Wahid membolehkan juga, Menteri Agama Suryadarma Ali membolehkan, Fahri Hamzah (anggota DPR PKS) juga membolehkan, Ketua PP Muhammadiyah membolehkan.
Untuk melegitimasi pembolehan ucapan “Selamat Natal” ini, banyak pihak bersandar pada fatwa Dr. Yusuf Al Qaradhawi, fatwa Dewan Ulama Al Azhar, fatwa Dewan Ulama Palestina, hingga fatwa pemimpin Ikhwanul Muslimin dan Presiden Mursi di Mesir. Rata-rata semua fatwa ini berporos pada ayat Al Qur’an:
وَإِذَا حُيِّيْتُم بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّواْ بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيباً
“Jika mereka memberikan ucapan selamat kepada kalian, maka balaslah dengan ucapan yang lebih baik, atau yang semisalnya; sesungguhnya Allah atas segala sesuatu Maha Memperhitungkan.” [Surat An Nisaa’: 86].
Hal demikian ini tentu sangat membuat bingung kaum Muslimin di Indonesia, yang sekian lama mengacu kepada fatwa MUI tentang haramnya mengucapkan “Selamat Natal”. Mereka pun bertanya-tanya: mana yang benar, diharamkan atau dibolehkan? Demi meluruskan persepsi keliru seputar ucapan “Selamat Natal” ini, berikut kami haturkan beberapa catatan penting.
[1]. Sekitar tahun 80-an Buya Hamka rahimahullah, sebagai Ketua MUI, telah menetapkan fatwa haramnya ucapan Natal. Fatwa itu terus menjadi pegangan MUI, sampai saat ini. Ketika itu Buya Hamka ditekan oleh pemerintah Soeharto, terkait dengan fatwanya. Namun beliau bersikukuh, tidak mau mundur dari fatwanya; namun beliau mau mundur sebagai Ketua MUI, sebagai bukti sikap konsisten-nya dalam mempertahankan fatwa haram ucapan “Selamat Natal”.
[2]. Di dunia Islam modern, ada sebagian ulama yang membolehkan ucapan “Selamat Natal”, seperti Syaikh Dr. Yusuf Al Qaradhawi. Beliau mendasarkan fatwanya dengan pertimbangan berbuat baik kepada orang lain, termasuk Ahlul Kitab (Kristiani-Yahudi). Beliau berdalil dengan ayat Al Qur’an: “Allah tidak melarang kalian berbuat baik dan berbuat adil kepada orang-orang yang tidak memerangi kalian karena agama dan tidak mengusir kalian dari kampung halaman kalian, karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil. Bahwasanya Allah hanya melarang kalian loyal  kepada orang-orang yang memerangi kalian karena agama dan mengusir kalian dari kampung halaman kalian,  dan mereka mengusir kalian dengan terang-terangan, maka siapa yang loyal kepadanya,  mereka itulah orang-orang yang zhalim.” (Surat Al Mumtahanah). Sementara Dewan Fatwa Al Azhar memilih sikap pertengahan, yaitu membolehkan mengucap “Selamat Natal” dengan syarat-syarat ketat (6 syarat). Intinya, mengucap selamat tanpa membenarkan agama dan akidah mereka, juga tanpa ikut terlibat dalam ritual agama mereka.
[3]. Dalam salah satu pertimbangan fatwanya, Dewan Ulama Al Azhar berdalih, bahwa tidak ada larangan qath’iy dalam Syariat yang menetapkan haramnya ucapan “Selamat Natal”. Tetapi alasan ini bisa dibantah oleh riwayat yang dibawakan oleh Dewan Fatwa ini sendiri, bahwa Nabi Saw bersabda: “Sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya, maka ini adalah hari raya kita (Idul Fithri dan Idul Adha).” (HR. Bukhari). Jika merujuk hadits ini, maka setiap kaum memiliki hari raya masing-masing. Termasuk Ahlul Kitab (Nashrani-Yahudi) berarti memiliki hari raya juga. Berarti di zaman Rasulullah Saw, mereka sudah memiliki hari raya juga. Lalu pertanyaannya, apakah Nabi Saw, para Khulafaur Rasyidin, serta Ijma’ para Shahabat Radhiyallahu ‘Anhum; apakah mereka di masa hidupnya pernah mengucapkan “Selamat Natal”? Atau katakanlah, apa mereka pernah mengucapkan, “Selamat Hari Raya Ahli Kitab”? Kenyataannya, tidak ada contoh perbuatan seperti itu di masa Nabi Saw dan Khulafaur Rasyidin. Jadi, andaikan ada yang membolehkan ucapan “Selamat Natal” itu, ia adalah perbuatan baru dalam Syariat; atau unsur luar agama yang hendak diislamisasikan. Nas’alullah al ‘afiyah.
[4]. Kita mesti ingat, bahwa asal-usul perayaan Natal, bukan berasal dari ajaran Injil atau Taurat. Ia adalah perayaan yang muncul kemudian, dan menurut sebagian pendapat, momen 25 Desember itu dikaitkan dengan hari lahir “Dewa Matahari”. Perayaan Natal ini semacam kompromi antara basis agama Nashrani yang berasal dari risalah Samawi dengan paganisme Romawi.
[5]. Kalau kita sepakat membolehkan atau menghalalkan ucapan “Selamat Natal”, maka hal ini merupakan kemenangan besar bagi SYIAR agama Kristiani. Mereka akan merasa memiliki kesejajaran dengan kaum Muslimin dalam syiar keagamaan. Dr. Yusuf Al Qaradhawi menolak pendapat Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Al Iqtidha, bahwa ucapan “Selamat Natal” tidak ada kaitannya dengan perasaan ridha terhadap akidah orang kafir; ucapan Selamat Natal di satu lembah, perasaan ridha di lembah yang lain, keduanya tidak dapat dicampur-adukkan (kata Al Qaradhawi). Tanggapannya: bagi ulama yang bersih hatinya dan kuat imannya, mungkin ucapan “Selamat Natal” itu tak akan menodai keimanannya; tapi bagaimana dengan orang awam dari kalangan Muslimin? Siapa bisa menjamin bahwa mereka tak akan terjerumus lebih jauh lantaran telah dibukanya pintu-pintu menuju pengakuan terhadap kebenaran agama lain itu?
[6]. Jika kita membolehkan ucapan “Selamat Natal”, berarti kita akan membolehkan juga ucapan-ucapan selamat yang lain yang berkaitan dengan hari-hari raya orang Kristiani dan Yahudi itu? Misalnya, kita harus juga mengucapkan “Selamat Paskah”, “Selamat Misa Kudus”, “Selamat Barnispah” (hari raya Yahudi), dan lainnya. Bahkan hal ini bisa berkembang lebih jauh, menjadi “Selamat Hari Raya Nyepi”, “Selamat Hari Raya Galungan”, “Selamat Imlek”, “Selamat Hari Raya Komunis”, dan seterusnya. Toh, pertimbangannya, mereka tidak selalu memerangi kaum Muslimin secara agama dan mengusir kaum Muslimin dari kampung halaman. Jika demikian cara berpikirnya, ya hancur agama ini. Masya Allah, laa haula wa laa quwwata illa billah.
[7]. Andaikan kita tidak mengucap “Selamat Natal” bukan berarti kita menutup pintu-pintu perbuatan baik kepada Kristiani-Yahudi. Tidak demikian. Kita boleh sopan-santun dan ramah kepada mereka; kita boleh bertetangga dan bergaul dengan mereka; kita boleh menghormati ibadah dan ritual mereka; kita boleh muamalah dengan mereka; kita boleh saling bantu-membantu dan kerjasama dalam menghadapi tantangan bersama, dan lain-lain. Hanya karena Anda tidak mengucapkan “Selamat Natal”; tidak akan membuat Anda kehilangan kesempatan untuk berbuat baik kepada mereka. Apalagi, kalau alasan ucapan “Selamat Natal” itu sebatas basa-basi belaka. Sudah basa-basi, melanggar prinsip akidah, dan tidak ada madharatnya kalau kita tidak mengucap “Selamat Natal”. Coba sebutkan hujjah kepada kita, apakah dengan tidak mengucap “Selamat Natal”, lalu kita tidak bisa berbuat baik kepada kaum Kristiani dan Yahudi? Sebutkan hujjah-mu, wahai manusia berakal.
[8]. Kalau Anda harus menjelaskan, mengapa tidak mengucapkan “Selamat Natal”. Katakan saja dengan baik dan santun: “Maaf, urusan ucapan selamat Natal ini dalam agama kami termasuk perkara ibadah. Kami dilarang mengucapkan demikian. Kalau Anda merasa keberatan dengan sikap kami, silakan Anda tidak mengucapkan selamat hari raya kepada kami. Atau kalau Anda tidak keberatan, ketahuilah bahwa di luar urusan ucapan selamat ini, masih banyak kesempatan bagi kita untuk saling berbuat baik. Terimakasih atas pengertian Anda.” Ucapkan kata-kata demikian.
[9]. Setidaknya, menurut MUI di Indonesia, ucapan “Selamat Natal” itu haram diucapkan. Bisa jadi fatwa yang berlaku di Indonesia berbeda dengan di negeri lain. Hal itu karena alasan historis, sosiologis, budaya, dan sebagainya. Tentu MUI sudah memperhitungkan segala macam konsiderans (pertimbangan), sebelum menyatakan haramnya ucapan “Selamat Natal”. Kalau di negeri Syaikh Al Qaradhawi atau di Mesir, disana diperbolehkan ucapan “Selamat Natal”, mungkin itu terkait dengan kondisi mereka. Sedangkan keadaan di Indonesia, terutama terkait dengan missi-missi Kristenisasi, sangat berbeda dengan di negara lain.
[10]. Jika mengucap “Selamat Natal” itu dianggap syubhat, yang belum jelas halal-haramnya; maka dalam menyikapi syubhat, lebih baik kita meninggalkannya, agar tidak terjerumus ke dalam perkara haram. Kaidahnya: “Da’ maa yuribuka ila ma laa yuribuk” (tinggalkan apa yang meragukanmu, berpindahlah ke yang tidak meragukanmu).
Dan akhirnya kita tutup kajian ringkas ini dengan meneguhkan satu pendapat kuat di kalangan Salafus Shalih, bahwa Nabi Saw, para Khulafaur Rasyidin, menurut Ijma’ para Shahabat, menurut Ijma’ empat Imam Madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali); bahwa tak satu pun dari mereka yang pernah mengucapkan “Selamat Natal” atau “Selamat Hari Raya Yahudi-Nashrani”. Jika Nabi dan para Shahabat tidak pernah melakukan perbuatan itu, lalu apa artinya pendapat ulama-ulama yang membolehkan itu? Apakah mereka menjadi sumber Syariat, selain Nabi Saw?
Ingat sebuah riwayat ketika Nabi Saw berjalan di perkampungan kaum Yahudi, lalu mendapati mereka sedang berpuasa. Lalu beliau bertanya, “Ini hari apa? Mengapa mereka berpuasa?” Lalu dijawab, saat itu adalah hari 10 Muharram (Asyura), kaum Yahudi sedang merayakan hari terbebasnya Musa ‘As dan kaumnya dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya. Maka Nabi menegaskan, bahwa beliau lebih berhak mewarisi sejarah Musa daripada kaum Yahudi. Atas peristiwa itu, lalu Nabi Saw mulai mensunnahkan puasa Sunnah Asyura. Agar berbeda dengan Yahudi, beliau tambahkan puasanya menjadi Tasu’a Asyura (puasa tanggal 9 dan 10 Muharram). Ini berarti, andaikan kaum Nabi Musa dan Nabi Isa memiliki hari raya yang haq di sisi Allah, maka ummat Islam lebih berhak mewarisi hari raya itu dengan amal-amal kebaikan, bukan mereka.
Semoga kajian sederhana ini bermanfaat. Amin Allahumma amin
BACA SELENGKAPNYA »»  
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...