Senin, 03 Maret 2014

kajian hukum

sumber:1591 K/Pid.Sus/2012
Anotasi:
  1. Pendahuluan
 
Untuk dapat dipidananya suatu delik atau tindak pidana perlu dibuktikan bahwa perbuatan tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan. Di samping itu jaksa harus dapat membuktikan bahwa semua unsur-unsur dalam rumusan tindak pidana itu terpenuhi.  Unsur suatu tindak pidana mencakup unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif adalah unsur yang berkaitan dengan pelaku tindak pidana, terutama sekali unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan atau kealpaan. Sedangkan unsur objektif adalah berkaitan dengan unsur perbuatan seperti yang terdapat perumusan pasal atau delik yang bersangkutan.[1]
Unsur objektif suatu perbuatan adalah bahwa perbuatan itu melawan hukum atau bertentangan dengan aturan hukum (pidana), sedangkan unsur subjektif menyangkut unsur kesalahan. Dalam perumusan suatu delik, unsur melawan hukum adakalanya tidak disebutkan. Walaupun demikian unsur tersebut dianggap ada dalam setiap rmusan tindak pidana (delik). Unsur ini disebut dengan ciri (kenmerk). Sebaliknya unsur objektif harus dirumuskan secara tegas dalam setiap delik, karena merupakan inti dari perbuatan yang dilarang (beestandeel).
Mengingat perumusan suatu pasal atau delik yang dituangkan dalam suatu rumusan dalam kata atau konsep, akan selalu terdapaat perbedaan dalam memaknai kata atau konsep yang menjadi unsur inti (bestendeel) suatu delik tersebut. Oleh sebab, itu hakim akan selalu menggunakan penafisran dalam memaknai sautu konsep terebut, dengan berbagai metode penafsiran yang dimungkinkan dalam hukum pidana. Sepanjang suatu kata atau konsep yang dirumuskan dalam suatu tindak pidana tidak diberikan secara otentik  dalam suatu undang-undang pidana, maka akan selalu terjadi  perkembangan terhadap pemahaman suatu konsep tersebut.[2]   
Perkembangan pemahaman unsur suatu tindak pidana yang sering melahirkan perbedaaan terutama sekali berkaitan dengan tindak pidana yang bukan konvensional melainkan tindak pidana yang dikateogrikan sebagai  White Collar Crime[3] atau Corporate Crime, seperti  delik-delik yang terkait dengan kejahatan harta kekayaan (vermogen delicten) atau tindak pidana ekonomi. Oleh sebab itu hakim tentu harus berusaha memberikan penafsiran secara kreatif, namun tidak menyimpang dari asas legalitas atau dengan menggunakan analogi. Salah satu unsur yang dapat menimbulkan perbedaaan pemahaman tersebut adalah unsur memperoleh keuntungan dalam tindak pidana penadahan seperti yang terjadi dalam kasus perkara pidana yang diperiksa di tingkat kasasi , Mahakamah Agung yakni perkara  Nomor. 1591 K/Pid.Sus/2012.
  1. Posisi Kasus
Kasus bermula dari Saudara Tablawi, seorang pedagang yang bermaksud untuk mengangkut dan menjual Pupuk Urea Bersubsisi yang dibelinya di berbagai kios  pengecer di Kabupaten Pidie, Aceh. Pupuk tersebut akan dijual kembali ke Medan Sumatera Utara. Tablawi menghubungi terdakwa M. Yusuf bin Abdullah yang ketika itu sedang membongkar barang dari  truk tronton Tronton merk Mitsubishi warna ungu metalic No. Pol. BK 9111 CH. Hal itu disanggupi oleh terdakwa dan kemudian oleh Tablawi pengangkutan barang tersebut oleh terdakwa dikawal dari belakang dengan menggunakan sebuah mobil Avanza.  Namun sesampai di perbatasan Kabupaten Pidie Jaya dengan Kabupaten Bireuen, sekitar pukul 03.00 wib, Truck Tronton merk Mitsubishi warna ungu Metalik No.Pol. BK 9111 CH yang dikemudi oleh terdakwa M.Yusuf kemudikan distop/dihentikan oleh Petugas Kepolisian dari Polres Pidie. Dalam pemeriksaan Terdakwa M.YUSUF tidak bisa menunjukkan Surat Izin/Dokumen untuk membawa Pupuk bersubsidi tersebut keluar wilayah Kabupaten Pidie.
Perbuatan tersebut kemudian diajukan ke persidangan dan Jaksa Penuntut Umum (JPU)  menggunaan dakwaan alternatif. Dakwaan pertama adalah melanggar Pasal 19 ayat (4) jo Pasal 14 ayat (2) Peraturan Menteri Perdagangan R.I No.07/M-DAG/PER/2/2009 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan R.I. No.21/M/DAG/PER/6/2008 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian jo Pasal 2 Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 77 Tahun 2005 tentang Penetapan Pupuk Bersubsidi sebagai barang dalam pengawasan jo Pasal 8 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 8 Tahun 1962 tentang Perdagangan Barang-Barang dalam Pengawasan jo Pasal 1 Sub 3 e jo Pasal 6 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Dalam  dakwaan kedua, JPU menggunakan ancaman pidana dalam Pasal 480 ayat (1) KUHP atau penadahan.
Selanjutnya dalam tuntutannya jaksa menyatakan bahwa  terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana sengaja memperjual belikan Pupuk Bersubsidi, sebagaimana dakwaan Pertama yang diatur dan diancam pidana dalam Pasal 19 ayat (4) jo Pasal 14 ayat (2) Peraturan Menteri Perdagangan R.I No.07/M-DAG/PER/2/2009 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan R.I No.21/M-DAG/PER/6/2008 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk sektor Pertanian jo Peraturan Presiden Republik Indonesia No.77 Tahun 2005 tentang Penetapan Pupuk Bersubsidi sebagai Barang dalam Pengawasan jo Pasal 8 ayat (1) Peraturan PemerintahPengganti Undang-undang No.8 Tahun 1962 tentang Perdagangan Barang-Barang dalam Pengawasaan jo Pasal 1 sub 3 e jo Pasal 6 ayat (1) huruf b Undang-undang Darurat No.7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi dan  menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa M. Yusuf bin Abdullah dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 3 (tiga) bulan dengan dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan sementara dan denda Rp100.000,00 (seratus ribu Rupiah) subsidair 1 (satu) bulan kurungan.
Pengadilan Negeri Sigli  dalam putusannya menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan Jaksa/Penuntut Umum tersebut dan Membebaskan Terdakwa M. YUSUF bin ABDULLAH dari segala dak waan Jaksa/Penuntut Umum tersebutdan  Memulihkan harkat dan martabatnya dalam kemampuan serta kedudukannya ke dalam keadaan semula.
Terhadap putusan PN tersebut JPU kemudian mengajukan upaya hukum kasasi dengan pertimbangan bahwa Putusan Pengadilan Negeri tersebut telah dijatuhkan adalah putusan bebas yang tidak murni sifatnya. Alasan yang dikemukakan JPU adalah bahwa:
  1. Bahwa judex facti tidak menerapkan peraturan hukum atau menerapkan peraturan hukum tidak sebagaimana mestinya dalam hal menafsirkan unsur pasar Memperjualbelikan Pupuk Bersubsidi dengan maksud dan tujuan apapun dalam Pasal 19 ayat (4) jo Pasal 14 ayat (2) Peraturan Menteri Perdagangan R.I. No. 07/M-DAG/PER/2/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan R.I. No.21/M-DAGPER/6/2008 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian.
  2. Bahwa judex facti telah keliru menerapkan peraturan hukum atau menerapkan peraturan hukum tidak sebagaimana mestinya dalam hal penafsiran unsur delik yaitu membeli, menyewa, menukar, menerima gadai,  menerima hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau menyembunyi- kan sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnva harus diduga bahwa diperoleh kejahatan dalam Pasal 480 ayat (1) KUHP, dengan alasan sebagai berikut :
Dalam pertimbangan putusan Hakim Pengadilan Negeri Sigli telah menyatakan bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum yang telah diuraikan maka dilihat dari keseluruhan sub unsur yang terdapat dalam unsur kedua tersebut di atas yang paling relevan untuk dipertimbangkan bila dihubungkan dengan perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa adalah sub unsur "membawa" namun perbuatan membawa tersebut harus pula diikuti dengan niat dari si pembawa in casu ia Terdakwa bahwa tujuan membawa tersebut harus dibarengi dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan. Bahwa bila dilihat dari syarat yang ditentukan dari rumusan tersebut di atas bahwa harus ada tujuan dari pihak yang membawa barang tersebut untuk memperoleh keuntungan ...... dst. dari pelaksanaan tugasnya mengangkut tersebut maka ia Terdakwa akan memperoleh imbalan atau ongkos.
Terhadap putusan Pengadilan Negeri majelis hakim kasasi memutuskan menyatakan tidak dapat diterima permohonan kasasi dari pemohon. Dalam putusan tersebut terdapat dissenting opinin dari salah seorang hakim anggota dengan dasar pertimbangan bahwa judex factie dalam membebaskan Terdakwa salah menafsirkan unsur “memperjualbelikan Pupuk Bersubsidi dengan maksud dan tujuan apapun” dengan pertimbangan sebagai berikut :
  1. Bahwa Terdakwa selaku pengemudi mobil Truck Tronton ditangkap petugas pada saat mengangkut Pupuk Urea Bersubsidi sebanyak 400 zak, bertempat di di perbatasan Kabupaten Pidie;
  2. Bahwa Pupuk Bersubsidi tersebut milik Terdakwa Tablawi (berkasnya diajukan terpisah), dibeli dari para Pengecer atau kedai-kedai di wilayah Meurandeh dan Uleglee dan daerah lainnya di Kabupaten Pidie, dengan harga subsidi/harga lebih murah, dengan maksud dan tujuan pupuk tersebut akan dijual di daerah Medan (Sumatera Utara) dengan harga yang lebih mahal;
  3. Bahwa Terdakwa yang bertindak selaku pengemudi mobil Truck yang mengangkut Pupuk tersebut, juga berperan dalam kerjasama pembelian Pupuk Bersubsidi dengan Tablawi, sudah seharusnya mengetahui kalau Pupuk tersebut bersubsidi tidak dilindungi Dokumen, dan dilarang untuk diperdagangkan atau diperjualbelikan guna untuk mencari keuntungan. Demikian pula hal tidak diperbolehkan Pupuk Bersubsidi yang sudah dialokasi di suatu daerah, dibawa keluar ke daerah lain;
  4. Bahwa perbuatan Terdakwa yang mengangkut Pupuk Urea milik Tablawi tanpa ada Dokumen yang melindungi  untuk diperdagangkan adalah perbuatan yang dilarang.
 
  1. Analisis Kasus
  1. Lemahnya Pemahaman Unsur delik.
Dalam dakwaan petama JPU mendakwa dengan pelanggaran Pasal 14 ayat (1) Peraturan Menteri Perdagangan R.I No. 071M-DAG/PER/2/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdangangan R.I No.211M-DAG/PER/6/2008 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian disebutkan bahwa "Distributor dan Pengecer dilarang memperjual-belikan Pupuk Bersubsidi di luar peruntukannya dan atau di luar wilayah tanggung jawabnya"
            Mengingat unsur utama delik atau perbuatan yang dilarang adalah memperjualbelikan, maka adalah tepat putusan judex factie yang menyatakan tidak terpenuhinya unsur objektif yakni perbuatan memperjualbelikan. Dalam pertimbangannya hakim judex factie menyatakan bahwa untuk terpenuhinya unsur jual beli harus memenuhi adanya dua pihak yakni penjual dan pembeli. Jelas sekali dalam kasus ini terdakwa tidak bertindak sebagai penjual, karena dia hanya membawa. Di samping itu dalam unsur jual beli harus ada unsur permintaan dan penawaran dan harga. Kalau JPU menyatakan bahwa unsur jual beli belum selesai karena perbuatan tersebut dapat digagalkan oleh kepolisian, maka seharusnya JPU menghubungkan dakwaan dengan adanya percobaan, namun JPU dalam dakwaan tidak menghubungkan dengan pasal 53 KUHP.
Kelemahan lain dari dakwaan JPU adalah bahwa Keputusan Meneteri Perdagangan tersebut juga menyebutkan subjek delik  yang bersifat khusus yakni distributor atau pengecer. Jelas sekali bahwa dalam kasus ini terdakwa bukanlah seorang distributor atau pengecer, melainkan seorang sopir atau seorang yang punya usaha di bidang pengangkutan barang. Putusan yang diberikan Judex factie dalam hal adalah tepat, karena bila suatu rumusan delik menyebutkan subjek suatu tindak pidana, maka berarti orang-yang memenuhi kapasitas itulah yang bisa dipidana dengan delik tersebut.
Dalam alasan kasasi yang diajukan JPU dinyakatan bahwa putusan itu seharusnya bebas tidak murni karena hakim dapat menggunakan pasal turut serta. Namun karena JPU tidak menghubungkan dakwaan dengan ajaran turut serta (deelneming), dalam hal ini membujuk melakukan atau sekurang-kurangnya membantu melakukan, maka hakim kasasi menolak pertimbangan JPU.  Dari gambaran di atas terlihat bahwa berkaitan dengan dakwaan pertama terdapat ketidakcermatan yang sangat kentara dari dakwaan JPU, baik dalam pemahaman unsur delik atau konsep suatu perbuatan dalam hal ini konsep memperjualbelikan, maupun dalam pemilihan pasal-pasal dakwaan dan tuntutan yakni ketidakcermatan dalam memasukkan pasal-pasal yang relevan yakni pasal-pasal percobaan dan pasal turut serta melakukan tindak pidana. Putusan majelis hakim kasasi yang menolak dakwaan pertama adalah tepat.
Pandangan anggota majelis hakim kasasi yang dissenting, dengan mengatakan bahwa pertimbangan judex factie yang membebaskan terdakwa    tidak tepat dengan alasan bahwa perbuatan itu mengacu kepada perbuatan saksi Tablawi yang memang membeli dan menjual pupuk bersubsidi, serta terdakwa berperan dalam memperjualbelikan pupuk bersubsidi serta perbuatan terdakwa yang mengangkut pupuk yang bersubsisidi tanpa dokumen adalah wujud memperjualbelikan, juga tidak tepat dan terlalu luas. Untuk mengatasi hal tersebutlah dalam KUHP datur ajaran tentang deelneming, untuk menentukan peran pelaku dan sekaligus menentukan pertannggungjawaban pidananya
Di samping itu dakwaan jaksa yang tidak mendakwa dan menuntut dengan perbuatan percobaan dan membujuk, adalah tepat kalau hakim tidak mengabulkannya karena bila  dikabulkan berarti hakim memutus bukan berdasarkan dakwaan dan tuntuan jaksa (ultra petitum). Dalam hukum pidana pemeriksaan perkara pidana dan putusan hakim harus mengacu kepada surat dakwaan. Hakim tidak dapat memutus sesutu yang tidak didakwakan. Dengan demikian pandangan atau pertimbangan majelis hakim yang dissenting juga tidak tepat dan terlalu meluas.  
 
  1. Unsur mendapatkan keuntungan
Terhadap putusan judex factie  yang juga menolak dakwaan kedua dengan pertimbangan unsur dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan tidak terpenuhi karena ditentang oleh JPU dengan mengemukakan pendapat dari R Soesilo berkaitan dengan unsur penadahan. Walaupun demikian, majelis hakim kasasi sependapat dengan pandangan judex factie. Dengan demikian majelis hakim yang menangani kasus ini mengguakan penafsiran yang sempit terhadap memperoleh  keuntungan dengan mengartikan kuntungan hanya diperoleh dari sebuah transaksi. Kalau berpegang kepada dakwaan kedua JPU, bila mencermati Pasal 480 KUHP jelas perbuatan terdakwa memenuhi rumusan pasal, karena perbuatan yang dilarang itu mencakup, membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima sebagai hadiah, atau dengan harapan akan memeperoleh keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, penyimpan atau menyembunyikan benda  yang ia ketahui atau secara patut harus diduga  bahwa benda itu berasal dari kejahatan. Dengan demikian konsep memperoleh keuntungan harus dihubungkan dengan perbuatan berikutnya seperti menjual, menyewakan dan seterusnya. Pengertian memperoleh keuntungan di sini tidak hanya terkait dengan jual beli, melainkan bentuk keuntungan secara umum, termasuk keuntungan dengan mengangkut atau menyimpan barang tersebut. Secara sederhana terdakwa yang berprofesi sebagai sopir atau pengusaha pengangkutan tidak akan bersedia membawa barang kalau tidak akan medapatkan keuntungan. Hanya saja pengertian keuntungan dalam hal ini disebut dengan upah atau bayaran.
Sehubungan dengana pengertian memperoleh keuntungan dalam delik penadahan ini Hoge Raad dalam putusannya tanggal 6 Desember 1937 menganut pemahaman dalam arti luas. Dalam pertimbangannya Hoge Raad mengatakan bahwa: makanan yang dibeli dengan uang yang diperoleh dengan kejahatan merupakan hasil dari uang tersebut. Perbuatan yang menerima makanan  seperti itu merupkan perbuatan mengambil keuntungan  dari hasil tersebut.[4] Bahkan sebagian sarjana juga mengartikan memperoleh keuntungan bilamana seseorang menerima sebagai pembayaran utang dengan uang hasil kejahatan. Pandangan ini misalnya disetujui oleh Wirjono Prodjodikoro.[5] Dengan demikian, pertimbangan Judex factie dan majelis kasasi yang menolak dakwaan kedua dengan pertimbangan unsur memperoleh keuntungan tidak terpenuhi adalah tidak tepat.
Walaupun demikian putusan majelis kasasi yang menolak dakwaan kedua sebenarnya dapat diterima kalau dengan pertimbangan lain yakni dengan alasan bahwa dakwaan jaksa seharusnya menyebutkan bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan gabungan tindak pidana atau samenloop (concursus). Mengingat perbuatan tersebut sudah diatur secara khusus dalam Undang-Undang pemberantasan Tindak Pidana Ekonomi, maka seharusnya jaksa tidak lagi menggunakan KUHP.[6] Hal itu adalah konsekuensi dari adanya perbuatan yang tergolong kedalam concursus idelalis atau eendaadse samenloop seperti yang diatur dalam pasal 63 ayat (2) KUHP. Menurut Utrecht, perumusan Pasal 63 ayat (2), pembuat undang-undang membuat  pidana khusus dan hal ini sejalan dengan asas lex specialis derogat legi generalis.[7] Namun  pengadilan Judex factie dan kasasi  tidak menyinggung sama sekali mengenai konkursus dalam putusannya. Hoge Raad  dalam putusannya tanggal 6 desember 1960, N.J.1960 No.54 membebaskan dari segala tuntutan hukum karena dakwaan jaksa tersebut sudah diatur dalam suatu hukum pidna khusus.[8]
 
  1. Penyusunan surat dakwaan.
Dalam perkara pidana pemeriksaan perkara didasari oleh surat dakwaan. Dengan demikian baik tuntutan atau putusan hakim harus didasari oleh surat dakwaan.  Salah satu keberatan yang diajukan JPU dalam kasasi adalah bahwa walaupun perbuatan terdakwa tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan “memperjualbelikan”, namun toh perbuatan terdakwa memenuhi salah satu unsur deelneming, seperti yang diatur dalam pasal 55 ayat (1) angka 1e dan pasal 56, walaupun tidak disebutkan dalam dakwaan JPU. Terhadap persoalan ini adalah tepat bahwa putusan Judex factie dan kasasi menolak dakwaan JPU yang tidak mencantumkan pasal-pasal tersebut. Walaupun kedua ketentuan tersebut berkaitan dengan pidana namun toh dalam persidangan harus dibuktikan apakah perbuatan itu memenuhi unsur-unsur deelneming atau tidak.
Pandangan anggota majelis hakim kasasi yang dissenting, dengan dasar pertimbangan bahwa pencantuman pasal-pasal tersebut dalam surat dakwaan JPU hanya sebagai dasar menentukan berat ringannya putusan.  Anggota majelis yang dissenting juga merujuk pepada jurisprudensi MA sebagaimana putusan MA-RI No.868 K/Pid/1994 tanggal 10 Agustus 1994. Terhadap pandangan ini terdapat kelemahan argumentasi. Pertama pandangan itu tidak didasari prinsip bahwa persidangan perkara pidana harus berdasarkan surat dakwaan.  Penegasan prinsip ini sejalan dengan Putusan Mahkamah Agung 16 Desember 1976, No.68 K/KR/1973 yang menyatakan bahwa putusan pengadilan harus berdasarkan kepada tuduhan.[9]
Kedua, dalam lembaga turut serta baik sebagai menyuruh, membujuk ataupun membantu juga harus dibuktikan bahwa perbuatan tersebut memenuhi unsur-unsurnya, demikian juga harus dibuktikan unsur kesengajaan dalam masing-masing turut serta. Dengan demikian dasar pertimbangan majelis yang dissenting tidak tepat.
Permasalahan berikutnya yang berkaitan dengan pertimbangan JPU mengajukan kasasi adalah bahwa perbuatan terdakwa melanggar Undang-undang pemberantasan tindak pidana ekonomi yakni berupa memperjualbelikan pupuk bersubsidi. Walaupun demikian baik pengadilan judex factie mapun kasasi menolaknya, dengan pertimbangan bahwa perbuatan terdakwa tidak termasuk jual beli, karena terdakwa yang berprofesi sebagai sopir atau usaha pengangkutan bukan sebagai pedagang. Jaksa selanjutnya mengemukakan walaupun perbuatan memperjualbelikan tidak terbukti, namun perbuatan itu bisa memenuhi unsur percobaan. Tetapi karena JPU tidak mencantumkan pasal percobaan yakni pasal 53 KUHP, maka tepatlah pengadilan judex factie dan kasasi menolaknya. Tetapi walaupun JPU memasukkan pasal percobaan dalam dakwaan JPU, toh pengadilan harus tetap menolak karena perbuatan menperjualbelikan tidak terbukti. Kalau seandaikan perbuatan dapat dikategorikan sebagai memperjualbelikan, dan unsur percobaan dimasukkan, maka JPU harus tetap mengemukakan perbuatan tersebut adalah delik selesai karena tindak pidananya adalah pelanggaran Pemberatasan Tindak Pidana Ekonomi. Salah satu penyimpangan tindak pidana ekonomi adalah bahwa percobaan dianggap sebagai delik yang sudah selesai.[10]
 
  1. Penutup.
Pemahaman tentang memperoleh keuntungan sebagai unsur suatu tindak pidana seharusnya tidak hanya dimaksudkan sebagai keuntungan dalam sebuah transaksi dalam bentuk jual beli. Dalam jurisprudensi pengertian memperoleh keuntangan diartikan dalam arti luas, yakni berupa setiap kemanfaatan yang diperoleh dari perbuatan tersebut. Dalam delik-delik Tindak Pidana Ekonomi unsur atau motif ekonomi akan lebih menonjol oleh sebab itu perbuatan tersebut akan selalu ada dalam setiap tindak pidananya.
Kalau sebuah perbuatan sudah diatur dalam undang-undang pidana khusus JPU seharusnya hanya mendakwa dengan aturan yang bersifat khusus tersebut. JPU dapat menggunakan lembaga turut serta (deelneming) atau percobaan untuk menjerat pihak lain yang terlibat, tidak dengan mendakwakan dengan delik lain yang diatur dalam hukum pidana umum. Hal ini sejalan dengan konsekuensi diaturnya samenloop atau concursus dan asas lex specialis derogat legi generalis.
Putusan hakim yang tidak menghukum perbuatan yang tidak didakwakan dalam dakwaan jaksa adalah tepat, dan putuan yang menolak upaya hukum berkaitan dengan putusan yang tidak menghukum sebuah perbuatan yang tidak didakwakan juga tepat. Setiap pemeriksaan perkara pidana dan putusan perkara pidana harus berdasarkan surat dakwaan dari JPU.
 
 
 
Daftar Pustaka
A Hamzah, Hukum Pidana Ekonomi, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1991
E Utrecht, Ringkasan Sari Kuliah Hukum Pidana II, Pustaka inta Mas Surabaya, 1987
________, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Pustaka Tintamas, Surabaya, 1986,
John E Conklin, Criminology, Fourth Edition Macmillan Publishing Co, New York, 1992,
M Sudradjat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu dalam KUHP, Remadja Karya, Jakarta,1984
 PAF Lamintang, Dasar- Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, jakarta, 1997,
___________, Delik-Delik Khusus Kejahatan  terhadap Harta Kekayaan, Sinar Baru, bandung, 1989
M Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 1985
Zainal Arifin Darid, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 199 5, hlm. 229-234
 


*Yoserwan, SH.MH,LLM adalah dosen Fakultas hukum Universitas Andalas
[1]E utrecht menyebut kelakuan yang bertentangan dengan  hukum sebagai unsur objektif dan kemampuan bertanggungjawab sebagai unsur objektif. E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Pustaka Tintamas, Surabaya, 1986, hlm.259 Pemahaman tentang unsur delik dipengaruhi oleh teori yakni teori monisme dan dualisme. Teori monisme tidak memisahkan antara unsur pertanggungjawaban pidana dan dengan unsur tindak pidana. Sebaliknya  teori dualisme memisahkan antara unsur pertanggungjawaban pidana dan unsur tindak pidananya. Lihat selanjutnya Zainal Arifin Darid, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hlm. 229-234
[2] Walaupun asas legalitas sangat membatasi hakim dalam hukum pidana, namun mengingat perkembangan hakim semakin dituntut untuk melakukan penasiran dengan tujuan untuk menentukan arti yang sebenarnya dari pembuat-undang-undang. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, bandung, 1997, hlm. 40
[3] Istilah kejahatan kerah Putih atau white Collar Cime, pertama dikemukan oleh E Sutherland, untuk menggambarkan tindak pidana yanag dilakukan oleh orang yang kedudukanya terhotmat dalam masyarakat. White Collar Crime include any illegal act, punisable by a criminal saction that is committed in the course of legitimate occupation or pursuit by a corporation or by an otherwise respectable individual of high social standing.  John E Conklin, Criminology, Fourth Edition Macmillan Publishing Co, New York, 1992, hlm.40
[4] P.A.F. Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan  terhadap Harta Kekayaan, Sinar Bru, bandung, 1989, hlm.358
[5] M Sudradjat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu dalam KUHP, Remadja Karya, jakarta,1984, hlm.105
[6] Sehubungan dengan ini Lamintang mengemukakan bahwa bila tindak pidana yang sudah dituduhkan diatur dalam tindak pidana umum ternyata bahwa tindak pidana itu juga diatur dalam tindak pidana khusus, maka unsur-unsur khususlah yang harus dicantumkan... kemudian bila dalam persidangan terbukti bahwa  perbuatan yang dituduhkan memenuhi unsur  tindak pidana khusus maka hakim harus membebaskan. PAF Lamintang, Dasar- Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, jakarta, 1997, hlm. 719
[7] E Utrecht, Ringkasan Sari Kuliah Hukum Pidana II, Pustaka inta Mas Surabaya, 1987, hlm175.
[8] PAF Lamintang, loc cit.
[9] M yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 1985, hlm.379
[10] A Hamzah, Hukum Pidana Ekonomi, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1991, hlm.32
 
BACA SELENGKAPNYA »»  

Menperindag keluarkan Aturan Baru Tentang Pengadaan Dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi Untuk Sektor Pertanian





 Menperindag keluarkan Aturan Baru Tentang Pengadaan Dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi Untuk Sektor Pertanian

 MENPERINDAG KELUARKAN ATURAN BARU

TENTANG  PENGADAAN DAN PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI

UNTUK SEKTOR PERTANIAN



            Dalam rangka mendukung ketahanan pangan nasional sangat diperlukan adanya dukungan penyediaan pupuk yang memenuhi prinsip 6 tepat yaitu : jenis, jumlah,harga, tempat, waktu dan mutu. Untuk membantu petani dalam mendapatkan pupuk dengan harga yang terjangkau, Pemerintah memandang perlu menyediakan subsidi pupuk.



            Dengan adanya keterbatasan Pemerintah dalam penyediaan subsidi pupuk dalam rangka program pemerintah, maka pupuk bersubsidi hanya diperuntukan bagi usaha pertanian yang meliputi Petani Tanaman Pangan, Peternakan dan Perkebunan Rakyat.  Dan untuk menjamin pengadaan dan mencegah terjadinya penyimpangan dalam penyaluran pupuk bersubsidi perlu ditetapkan Keputusan Menteri, yaitu melalui Surat Keputusan Menperindag No. 70/MPP/Kep/2/2003 tanggal 11 Pebruari 2003, tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi Untuk Sektor Pertanian, yang di dalamnya mengatur hal-hal sebagai berikut :



Pasal 1



Yang dimaksud dengan :

  1.   Pupuk bersubsidi adalah pupuk yang pengadaan dan penyalurannya mendapat subsidi dari Pemerintah untuk kebutuhan petani yang dilaksanakan atas dasar program Pemerintah.
  2.  Pupuk non subsidi adalah pupuk yang pengadaan dan penyalurannya di luar program Pemerintah dan tidak mendapat subsidi.
  3. Produsen adalah perusahaan yang memproduksi Pupuk Urea, SP-36,ZA dan NPK di dalam negeri yang terdiri dari PT Pupuk Sriwidjaja, PT Pupuk Kujang, PT Pupuk Kalimantan Timur, Tbk, PT Pupuk Iskandar Muda dan PT Petrokimia Gresik.
  4.  Produsen Importir (PI) adalah Produsen yang disetujui untuk mengimpor sendiri barang sejenis dengan hasil produksinya yang diperlukan untuk memenuhi kekurangan kebutuhan pupuk bersubsidi.
  5.  Importir Pupuk Terdaftar (IPT) adalah Importir yang diberikan pengakuan sebagai Importir Pupuk Terdaftar oleh Menteri.   
  6. Distributor adalah badan usaha yang syah ditunjuk oleh Produsen untuk melakukan pembelian, penyimpanan, penjualan serta pemasaran pupuk bersubsidi dalam partai besar untuk dijual kepada Konsumen akhir melalui Pengecernya. 
  7.  Pengecer adalah perorangan atau badan usaha yang ditunjuk oleh Distributor yang kegiatan pokoknya melakukan penjualan secara langsung kepada Konsumen akhir dalam partai kecil. 
  8. Lini I adalah lokasi gudang pupuk di wilayah pabrik pupuk dalam negeri atau di wilayah pelabuhan tujuan untuk pupuk impor.
  9.   Lini II adalah lokasi gudang di wilayah Ibukota Propinsi dan Unit Pengantongan Pupuk (UPP) atau diluar wilayah pelabuhan.
  10. Lini III adalah lokasi gudang Distributor pupuk dan atau Produsen di wilayah Kabupaten/Kotamadya yang ditunjuk/ditetapkan oleh Produsen.
  11. Lini IV adalah lokasi gudang Pengecer yang ditunjuk/ditetapkan oleh Distributor.
  12. Harga Eceran Tertinggi disingkat HET adalah harga tertinggi pupuk Urea, SP-36, dan ZA dalam kemasan 50 kg dan atau 20 kg untuk NPK yang dibayar tunai oleh Petani kepada Pengecer resmi di Lini IV.

Pasal 2


  1.  Pupuk bersubsidi dinyatakan sebagai barang yang diawasi peredarannya.
  2.  Pengawasan peredaran pupuk meliputi pengawasan terhadap jumlah, mutu, alokasi, wilayah, harga eceran tertinggi dan sistem distribusi.
  3. Penetapan jumlah, alokasi, wilayah dan sistem distribusi dilakukan oleh Menteri berdasarkan rencana kebutuhan yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian.



Pasal 3 

  1. Pupuk bersubsidi dimaksud adalah Urea, SP-36, ZA dan NPK dengan komposisi     N : P : K = 15 : 15 : 15 dan 20 : 10 : 10
  2. Jenis-jenis pupuk  yang dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI).

Pasal 4

  1.    Produsen berkewajiban mendahulukan pengadaan pupuk untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
  2.    Produsen bertanggung jawab atas pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi mulai dari Lini I sampai dengan Lini IV pada wilayah propinsi yang menjadi tanggungjawabnya, sebagaimana tercantum dalam lampirang I Keputusan ini.
  3. Bagi produsen yang tidak mampu memenuhi alokasi pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi pada wilayah yang menjadi tanggungjawabnya wajib melakukan kerjasama dengan produsen lainnya dengan Surat Perjanjian Jual Beli (SPJB).
  4.   Produsen wajib menyampaikan rencana pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi di setiap wilayah yang menjadi tanggung jawabnya setiap 3 (tiga) bulan secara berkala kepada Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri

Pasal 5

  1.    Apabila terjadi lonjakan permintaan atau adanya kekurangan pasokan pupuk bersubsidi sebagai akibat adanya gangguan operasi dan atau distribusi dari salah satu Produsen, Produsen lain wajib memenuhi kekurangan tersebut.
  2.   Ketentuan realokasi pengadaan pupuk bersubsidi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Direktur Jenderal Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan.


Pasal 6

  1.  Apabila pengadaan pupuk bersubsidi dari produsen dalam negeri tidak mencukupi, maka dapat dilakukan pengimporan.
  2.   Impor pupuk bersubsidi yang dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan oleh Produsen Importir.
  3. Impor pupuk non subsidi dilakukan oleh Importir Pupuk Terdaftar.
  4. Besarnya jumlah dan alokasi pupuk impor serta penunjukan Importir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3) ditetapkan oleh Direktur jenderal Perdagangan Luar Negeri setelah mendapat rekomendasi dari Direktur jenderal Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan.

Pasal 7

  1.    Pelaksanaan pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi ditetapkan sebagai berikut :

  • a.   Produsen melaksanakan pengadaan Pupuk bersubsidi sampai dengan Lini III di wilayah yang menjadi tanggung jawabnya.
  • b.    Produsen melaksanakan penjualan pupuk bersubsidi di gudang Lini III kepada Distributor.
  • c.    Distributor melaksanakan penjualan pupuk bersubsidi dari gudang Lini III kepada Pengecer.
  • d.      Pengecer melaksanakan penjualan pupuk bersubsidi di Lini IV kepada Petani.

2.   Produsen wajib menguasai gudang di Lini III pada wilayah yang menjadi tanggung jawabnya.

3.   Dalam mendukung kelancaran pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi, PT Pusri wajib membantu produsen lain melalui pemanfaatan sarana dan prasarana distribusi yang dimilikinya dengan harga yang kompetitif.

4.    Tugas dan tanggung jawab Distributor, sebagaimana tercantum dalam Lampiran II keputusan ini.

5.    Apabila penyaluran pupuk bersubsidi oleh Distributor dan atau Pengecer tidak berjalan lancar dan atau tidak mungkin dilaksanakan, maka Produsen harus melakukan penjualan langsung ke Lini IV.

Pasal 8
  1.    Penunjukkan dan pemberhentian Distributor ditetapkan oleh Produsen sesuai persyaratan penunjukkan distributor sebagaimana tercantum pada Lampiran III Keputusan ini.
  2. Daftar dan perubahan distributor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan oleh Produsen kepada Direktur jenderal Perdagangan Dalam Negeri cq. Direktorat Bina Pasar dengan tembusan kepada Kepala Dinas Propinsi yang membidangi perdagangan dalam negeri.
  3. Distributor dalam melakukan pembelian pupuk kepada Produsen harus menyebutkan jumlah dan jenis pupuk, nama dan alamat Pengecer serta wilayah kerja yang menjadi tanggung jawabnya.
  4.   Hubungan kerja Produsen dengan Distributor diatur dengan Surat Perjanjian Jual Beli (SPJB)/Kontrak sesuai Ketentuan Umum sebagaimana tercantum pada Lampiran IV Keputusan ini.
  5. Para Distributor yang berada dalam 1 (satu) Kabupaten/Kotamadya diwajibkan bekerjasama dalam pemenuhan kebutuhan pupuk di wilayahnya.



Pasal 9
  1.    Penunjukan dan pemberhentian Pengecer pupuk bersubsidi ditetapkan oleh Distributor setelah mendapatkan persetujuan Produsen.
  2.    Daftar dan perubahan pengecer sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan oleh Distributor kepada dinas Propinsi yang membidangi perdagangan dalam negeri, dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kotamadya yang membidangi perdagangan dalam negeri.
  3.  Hubungan kerja Distributor dengan Pengecer diatur dengan Surat Perjanjian Jual Beli (SPJB)/Kontrak.
  4. Tugas dan tanggung jawab Pengecer pupuk bersubsidi, sebagaimana tercantum dalam Lampiran V Keputusan ini.
  5.   Distributor berkewajiban mengawasi dan menilai  Pengecer dalam melaksanakan penjualan pupuk bersubsidi kepada Petani.

Pasal 10
  1.   Produsen wajib menjual pupuk bersubsidi kepada Distributor dengan harga Lini III setelah mempertimbangkan HET.
  2.   Distributor wajib menjual pupuk bersubsidi kepada Pengecer dengan mempertimbangkan HET.
  3. Pengecer wajib menjual pupuk bersubsidi kepada petani dengan HET.
  4.   HET pupuk bersubsidi ditetapkan oleh Menteri Pertanian.



Pasal 11
  1. Produsen wajib menjamin ketersediaan stok minimal pupuk bersubsidi di Lini III untuk kebutuhan selama 2 (dua) minggu pada bulan berikutnya sesuai dengan rencana kebutuhan yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian.
  2. Distributor wajib menjamin tersedianya stok pupuk bersubsidi di Pengecer pada wilayah kerjanya minimal untuk kebutuhan 1  (satu) minggu bulan berikutnya.



Pasal 12



Distributor dan Pengecer dilarang memperjualbelikan pupuk bersubsidi di luar peruntukkannya.



Pasal 13


1.     Produsen wajib menyampaikan laporan pengadaan, penyaluran dan stok pupuk bersubsidi yang dikuasai di setiap wilayah yang menjadi tanggung jawabnya setiap bulan secara berkala kepada Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Direktur Jenderal Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan serta Direktur Jenderal Bina Sarana Pertanian.

2. Produsen wajib menyampaikan laporan pengadaan, penyaluran dan stok pupuk bersubsidi di wilayah yang menjadi tanggung jawabnya setiap bulan secara berkala kepada dinas terkait di Propinsi yang bersangkutan.

3.Dalam keadaan yang mengisyaratkan akan terjadi kelangkaan pupuk bersubsidi, Produsen wajib segera menyampaikan laporan tentang permasalahan dan upaya yang telah dan perlu dilaksanakan untuk mengatasinya kepada Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Direktur Jenderal Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan serta Direktur Jenderal Bina Sarana Pertanian.

4.Distributor wajib menyampaikan laporan pengadaan, penyaluran dan stok pupuk bersubsidi yang dikuasai setiap bulan secara berkala kepada Produsen.



Pasal 14



1.Produsen bersama Instansi terkait yang berwenang dibidang pengadaan dan penyaluran pupuk di daerah, melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Distributor dan Pengecer.

2. Apabila Distributor dan Pengecer melakukan penyimpangan terhadap ketentuan dalam Keputusan ini, dikenakan sanksi berupa pencabutan pengakuan sebagai Distributor atau Pengecer.

Pasal 15



Bagi Produsen, Eksportir, Importir, distributor dan Pengecer pupuk yang melakukan penimbunan, pemasaran pupuk bersubsidi diluar daerah pemasarannya serta impor dan ekspor yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dikenakan sanksi tindak pidana ekonomi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 16



Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan,



                                                                                 

                                                                                           Jakarta, 11 Pebruari 2003.



Biro Umum dan Hubungan Masyarakat



                                                                                                                                                            Ttd





                                    FAUZI AZIZ
BACA SELENGKAPNYA »»  
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...