Ruqyah dan Kedudukannya dalam Islam
Ruqyah adalah sebuah terapi dengan membacakan
jampi-jampi. Sedangkan Ruqyah Syar’iyah yaitu sebuah terapi syar’i dengan cara
membacakan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan do’a-do’a perlindungan yang bersumber
dari sunnah Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam. Ruqyah syar’iyah dilakukan oleh
seorang muslim, baik untuk tujuan penjagaan dan perlindungan diri sendiri atau
orang lain, dari pengaruh buruk pandangan mata manusia dan jin (al-ain)
kesurupan, pengaruh sihir, gangguan kejiwaan, dan berbagai penyakit fisik dan
hati. Ruqyah juga bertujuan untuk melakukan terapi pengobatan dan penyembuhan
bagi orang yang terkena pengaruh, gangguan dan penyakit tersebut.
Ruqyah adalah terapi atau pengobatan yang sudah
ada di masa jahiliyah. Dan ketika Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam diutus
menjadi Rasulullah, maka ditetapkanlah Ruqyah yang dibolehkan dalam Islam.
Allah menurunkan surat al-Falaq dan An-Naas salah satu fungsinya sebagai
pencegahan dan terapi bagi orang beriman yang terkena sihir. Diriwayatkan oleh
‘Aisyah bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa membaca kedua
surat tersebut dan meniupkannya pada kedua telapak tangannya, mengusapkan pada
kepala dan wajah dan anggota badannya. Dari Abu Said bahwa Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam dahulu senantiasa berlindung dari pengaruh mata
jin dan manusia, ketika turun dua surat tersebut, Beliau mengganti dengan
keduanya dan meninggalkan yang lainnya” (HR At-Tirmidzi).
Berkata Ibnu Hajar al-Atsqalani dalam Fathul
Bari (10/70),” Pengobatan cara nabi tidak diragukan kemampuan menyembuhkannya
karena datang dari wahyu”. Berkata Ibnul Qoyyim dalam kitab as-Shahihul Burhan,
“Al-Qur’an adalah tempat kesembuhan yang sempurna dari semua penyakit hati dan
semua penyakit dunia dan akhirat. Jika Allah tidak menyembuhkan anda dengan
al-Qur’an, maka Allah tidak akan menyembuhkan anda dengan yang lainnya”.
Sedangkan yang terkait langsung dengan landasan ruqyah disebutkan dalam
beberapa hadits, di antaranya:
Dari Abu Said al-Khudri ra berkata, “ Ketika
kami sedang dalam suatu perjalanan, kami singgah di suatu tempat. Datanglah
seorang wanita dan berkata, “ Sesunggunhya pemimpin kami terkena sengatan,
sedangkan sebagian kami tengah pergi. Apakah ada diantara kalian yang biasa
meruqyah?” Maka bangunlah seoarng dari kami yang tidak diragukan kemampaunnya
tentang ruqyah. Dia meruqyah dan sembuh. Kemudian dia diberi 30 ekor kambing
dan kami mengambil susunya. Ketika peruqyah itu kembali, kami bertanya, ”Apakah
Anda bisa? Apakah Anda meruqyah?“ Ia berkata, ”Tidak, saya tidak meruqyah
kecuali dengan Al-Fatihah.” Kami berkata,“Jangan bicarakan apapun kecuali
setelah kita mendatangi atau bertanya pada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam. Ketika sampai di Madinah, kami ceritakan pada nabi shalallahu ‘alaihi
wa sallam Dan beliau berkata, “ Tidakkah ada yang memberitahunya bahwa itu
adalah ruqyah? Bagilah (kambing itu) dan beri saya satu bagian.” (HR Bukhari
dan Muslim)
Dari Auf bin Malik al-Asyja’i berkata, ”Dahulu
kami meruqyah di masa jahiliyah, dan kami bertanya, “ Wahai Rasulullah
bagaimana pendapatmu?” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
”Perlihatkan padaku ruqyah kalian. Tidak apa-apa dengan ruqyah jika tidak
mengandung kemusyrikan .” (HR Muslim)
Hukum Ruqyah
Para ulama berpendapat pada dasarnya ruqyah
secara umum dilarang, kecuali ruqyah syariah. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
إِنَّ
الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
“Sesungguhnya ruqyah (mantera), tamimah (jimat)
dan tiwalah (pelet) adalah kemusyrikan.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan
Al-Hakim).
مَنْ
تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ
"Barangsiapa menggantungkan sesuatu, maka
dirinya akan diserahkan kepadanya." (HR Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud dan
Al-Hakim).
Dari Imran berkata, Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,” Akan masuk surga dari umatku 70 ribu dengan tanpa
hisab”. Sahabat bertanya, “Siapa mereka wahai Rasulullah ?” Rasul shalallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,” Mereka adalah orang yang tidak berobat dengan kay
(besi), tidak minta diruqyah dan mereka bertawakkal pada Allah”. (HR Bukhari
dan Muslim).
Para ulama banyak membicarakan hadits ini,
diantaranya yang terkait dengan ruqyah. Ulama sepakat bahwa ruqyah secara umum
dilarang, kecuali tidak ada unsur kemusyrikan. Dan mereka juga sepakat
membolehkan ruqyah syar’iyah, yaitu membacakan al-Qur’an dan doa’do’a ma’tsurat
lainnya untuk penjagaan dan menyembuhkan penyakit.
Disebutkan dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi syarh
kitab Sunan at-Tirmidzi, kesimpulan hukum ruqyah adalah bahwa jika ruqyah
dengan tidak menggunakan Asma Allah, sifat-sifat-Nya, firman-Nya dalam
kitab-kitab suci, atau tidak menggunakan bahasa Arab dan menyakini bahwa itu
bermanfaat, maka hal itu bagian dari bersandar pada ruqyah. Oleh karenannya
dilarang. Dalam konteks inilah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
menyebutkan dalam haditsnya: ”Tidaklah bertawakkal orang yang minta
diruqyah.” (HR At-Tirmidzi).
Adapun selain itu, seperti berlindung dengan
Al-Qur’an, Asma Allah Ta’ala dan ruqyah yang telah diriwayatkan (dalam hadits),
maka itu tidak dilarang. Dan dalam konteks ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda kepada orang yang meruqyah dengan Al-Qur’an dan mengambil upah:
”Orang mengambil ruqyah dengan batil, sedang saya mengambil ruqyah dengan
benar. ” (HR At-Tirmidzi).
Imam Hasan Al-Banna berkata, “Jimat, mantera,
guna-guna, ramalan, perdukunan, penyingkapan perkara ghaib dan sejenisnya
merupakan kemungkaran yang wajib diperangi, kecuali ruqyah (mantera) dari
ayat-ayat Al-Qur’an atau ruqyah ma’tsurah (dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wa sallam).”
Praktik Ruqyah
Secara umum ruqyah terbagi menjadi dua, ruqyah
sesuai dengan nilai-nilai Syariah dan ruqyah yang tidak sesuai dengan
nilai-nilai Syariah. Adapaun ruqyah sesuai Syari’ah harus sesuai dengan dhawabit
syari’ah (kaidah Syari’at), yaitu:
1.
Bacaan ruqyah berupa ayat-ayat al-Qur'an dan
do’a atau wirid dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
2.
Do'a yang dibacakan jelas dan diketahui
maknanya.
3.
Berkeyakinan bahwa ruqyah tidak berpengaruh
dengan sendirinya, tetapi dengan takdir Allah SWT.
4.
Tidak isti'anah (minta tolong) kepada jin (atau
yang lainnya selain Allah).
5.
Tidak menggunakan benda-benda yang menimbulkan
syubhat dan syirik.
6.
Cara pengobatan harus sesuai dengan nilai-nilai
Syari'ah, khususnya dalam penanganan pasien lawan jenis.
7.
Orang yang melakukan terapi harus memiliki
kebersihan aqidah, akhlak yang terpuji dan istiqomah dalam ibadah.
8.
Tidak minta diruqyah kecuali terpaksa. Sehingga
ruqyah yang tidak sesuai dengan dhawabit atau kriteria di atas dapat dikatakan
sebagai ruqyah yang tidak sesuai dengan Syari’ah.
Di bawah ini beberapa contoh ruqyah dan
pengobatan yang tidak sesuai Syariah:
1.
Memenuhi permintaan jin.
2.
Ruqyah yang dibacakan oleh tukang sihir.
3.
Bersandar hanya pada ruqyah, bukan pada Allah.
4.
Mencampuradukan ayat-ayat Al-Qur’an dengan
bacaan lain yang tidak diketahui artinya.
5.
Meminta bantuan jin
6.
Bersumpah kepada jin
7.
Ruqyah dengan menggunakan sesajen
8.
Ruqyah dengan menggunakan alat yang dapat
mengarah kepada syirik dan bid’ah
9.
Memenjarakan jin dan menyiksanya.
Ruqyah Dzatiyah
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam
berbagai kesempatan menyampaikan kepada para sahabatnya untuk melakukan ruqyah
dzatiyah, yaitu seorang mukmin melakukan penjagaan terhadap diri sendiri dari
berbagai macam gangguan jin dan sihir. Hal ini lebih utama dari meminta
diruqyah orang lain. Dan pada dasarnya setiap orang beriman dapat melakukan
ruqyah dzatiyah. Berkata Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa,” Sesungguhnya
tauhid yang lurus dan benar yang dimiliki seorang muslim adalah senjata untuk
mengusir syetan”.
Beberapa hadits di bawah adalah anjuran
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang beriman untuk melakukan
ruqyah dzatiyah
"من قرأ
آية الكرسي في دبر الصلاة المكتوبة كان في ذمة الله إلى الصلاة الأخرى"
“Siapa yang membaca ayat Al-Kursi setelah
shalat wajib, maka ia dalam perlindungan Allah sampai shalat berikutnya” (HR
At-Tabrani).
عن عبد
الله بن خُبَيْبٍ عن أَبيهِ قالَ: "خَرَجْنَا في لَيْلَةٍ مَطِيرَةٍ
وظُلْمَةٍ شَدِيدَةٍ نَطْلُبُ رَسُولَ الله صلى الله عليه وسلم يُصَلّي لَنَا قالَ
فأَدْرَكْتُهُ فقالَ: قُلْ. فَلَمْ أَقُلْ شَيْئاً. ثُمّ قالَ: قُلْ فَلَمْ أَقُلْ شَيْئاً.
قالَ قُلْ فَقُلْتُ مَا أقُولُ قال قُلْ: قُلْ هُوَ الله أَحَدٌ
وَالمُعَوّذَتَيْنِ حِينَ تُمْسِي وتُصْبِحُ ثَلاَثَ مَرّاتٍ تَكْفِيكَ مِنْ كُلّ
شَيْء".
Dari Abdullah bin Khubaib dari bapaknya
berkata, ”Kami keluar di suatu malam, kondisinya hujan dan sangat gelap, kami
mencari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengimami kami, kemudian
kami mendapatkannya.” Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata,” Katakanlah”.
“ Saya tidak berkata sedikitpun”. Kemudian beliau berkata, “Katakanlah.”
“Sayapun tidak berkata sepatahpun.” “Katakanlah, ”Saya berkata, ”Apa yang harus
saya katakan?“ Rasul bersabda, ”Katakanlah, qulhuwallahu ahad dan
al-mu’awidzatain ketika pagi dan sore tiga kali, niscaya cukup bagimu dari
setiap gangguan.” (HR Abu Dawud, At-tirmidzi dan an-Nasa’i).
مَنْ
قَرَأَ بِالْآيَتَيْنِ مِنْ آخِرِ سُورَةِ الْبَقَرَةِ فِي لَيْلَةٍ كَفَتَاهُ
“Siapa yang membaca dua ayat dari akhir surat
Al-Baqarah setiap malam, maka cukuplah baginya.” (Muttafaqun ‘alaihi).
مَنْ
نَزَلَ مَنْزلاً ثُمَّ قالَ: أعُوذُ بِكَلِماتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرّ
مَا خَلَقَ، لَم يَضُرُّهُ شَيْءٌ حَتى يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذلكَ".
“Siapa yang turun di suatu tempat, kemudian
berkata, ‘A’udzu bikalimaatillahit taammaati min syarri maa khalaq’, niscaya
tidak ada yang mengganggunya sampai ia pergi dari tempat itu.” (HR Muslim).
Oleh karena itu orang beriman harus senantiasa
melakukan ruqyah dzatiyah dalam kesehariannya. Hal-hal yang harus dilakukan
dengan ruqyah dzatiyah adalah:
1.
Memperbanyak dzikir dan do’a yang ma’tsur dari
Nabi SAW, khususnya setiap pagi, sore dan setelah selesai shalat wajib.
2.
Membaca Al-Qur’an rutin setiap hari
3.
Meningkatkan ibadah dan pendekatan diri kepada
Allah.
4.
Menjauhi tempat-tempat maksiat
5.
Mengikuti majelis ta’lim dan duduk bersama
orang-orang shalih.
Mengambil Upah dari Ruqyah
Para ulama sepakat membolehkan mengambil upah
dari mengobati dengan cara ruqyah syar’iyah. Bahkan dalam hadits terkenal
tentang para sahabat yang meruqyah kepala suku yang terkena bisa ular, Abu
Sa’id Al-Khudri berkata, “ Saya tidak bersedia meruqyah sampai kalian memberiku
upah”. Sehingga dalam kitab Shahih Al-Bukhari, salah satunya memasukkan hadits
ini dalam bab al-ijarah. Dalam ujung hadits Abu Said Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Bagilah (upah itu), dan beri aku satu
bagian.”(Bukhari dan Muslim).
Sedangkan upaya menjadikan pengobatan ruqyah
sebagai usaha rutin dan tafarrugh, maka hukumnya sama dengan mengambil upah
dari pengobatan yang lainnya. Hal ini karena pengobatan ruqyah membutuhkan
waktu yang cukup dan dilakukan secara profesional. Begitu juga para peruqyah
dituntut senantiasa meningkatkan ilmu dan keikhlasan/ ketaqwaan.
Syekh Abdullah bin Baaz dalam kumpulan ceramah
yang berjudul liqo-al ahibbah memfatwakan boleh tafarrugh (bekerja full time)
dalam pengobatan ruqyah, beliau beralasan karena terkait dengan maslahat
syar’iyat. Demikian juga fatwa syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dalam
Liqo-ul qurra membolehkan tafarrugh dalam pengobatan ruqyah.
Namun demikian karena pengobatan ruqyah adalah
bagian dari fardhu kifayah dan kebutuhan ummat, maka sebaiknya jangan dijadikan
sarana komersial atau bisnis murni, demikian halnya dengan pengurusan jenazah,
khutbah, imam shalat, adzan dan iqomah, mengajarkan Al-Qur’an, bimbingan haji
dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan komentar...