Definisi nafsu ini juga mengandung banyak pengertian yang hampir serupa. Yang menyangkut dalam pembahasan kami daripadanya ada dua pengertian:
Pengertian pertama, bahwa yang dimaksudkan dengan definisi nafsu
ialah pengertian yang menghimpun pada kekuatan marah dan nafsu syahwat
pada manusia, yang akan diuraikan pada kesempatan yang lain.
Pemakaian
ini adalah yang biasa pada ahli tasawuf, karena yang mereka maksudkan
dengan nafs (nafsu) ialah : pokok yang menghimpun akan sifat yang
tercela pada manusia.
Lalu
mereka berkata, bahwa mau tidak mau harus melawan nafsu dan
menghancurkannya. Dalam kaitan ini Nabi Muhammad saw memberi isyarat
dengan sabdanya:
“A’daa ‘aduwwika nafsuka-allatii baina janbaika.”
Artinya: “Musuhmu yang terbesar, nafsumu yang berada diantara dua lambungmu.”
Pengertian
kedua, yaitu: yang halus (lathifah) yang telah kami sebutkan diatas,
dimana pada hakekatnya, itulah manusia. Yaitu : diri manusia dan zatnya.
Tetapi disifatkan dengan bermacam-macam sifat, sesuai dengan
keadaannya.
Apabila
dia itu tenang, dibawah perintah dan jauh dari kegoncangan disebabkan
karena tantangan dari nafsu syahwat, maka dinamakan nafsu muthmainnah
(diri atau jiwa yang tenang). Allah Ta’ala berfirman tentang contohnya:
“Yaa ayyatuhannafsul muthmainnatu, irji’ii ilaa rabbiki raadliyyatan mardliyyah.”
Artinya
: “Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah pada Tuhanmu, dengan merasa
senang (kepada Tuhan), dan (Tuhan) merasa senang kepadanya.”
Nafsu
(jiwa) menurut pengertian yang pertama, tidaklah tergambar kembalinya
kepada Allah Ta’ala, malahan menjauhi dari Allah, dan dia itu termasuk
golongan syetan.
Apabila
tidak sempurna ketenangannya, akan tetapi jadi pendorong pada nafsu
syahwat, maka dinamakan nafsu lawwamah (jiwa yang mencela). Karena jiwa
itu mencela tuannya karena teledor dalam menyembah Tuhannya. Tuhan
berfirman:
“Wa laa uqsimu bin nafsil lawwamah.”
Artinya: “Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat mencela (pada kejahatan).”
Kalau
nafsu (jiwa) itu meninggalkan tantangan, tunduk dan patuh menurut
kehendak nafsu syahwat dan panggilan syetan, maka dinamakan : nafsu yang
menurut kepada sesuatu yang jahat (an nafsul ammarah bissuu’).
Dalam kaitannya dengan nafsu ammarah ini, Allah berfirman, menceritakan tentang Yusuf as. atau isteri seorang pembesar Mesir yang membujuk Yusuf as. :
“Wa maa ubarriu nafsii, inan nafsa la ammaaratun bis suu-i.”
Artinya:
“Dan aku tidaklah membebaskan diriku (dari kesalahan) karena
sesungguhnya nafsu itu cenderung kepada menyuruh yang buruk.”
Kadangkala
boleh dikatakan bahwa yang dimaksud dengan suka menyuruh kepada yang
buruk itu, ialah : nafsu dengan pengertian pertama. Jadi, nafsu dengan
pengertian pertama itu, sangat tercela.
Sedangkan nafsu
dengan pengertian yang kedua amatlah terpuji, karena dia adalah nafsu
(diri) manusia. Artinya : zat dan hakekatnya, yang mengetahui Allah
Ta’ala dan pengetahuan-pengetahuan lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan komentar...