- Tuduhan Terhadap Islam
Para orientalis, pendeta agama masehi,
kelompok sekuleris dan kalangan anti Islam pada hari ini sedang gencar
mengkampanyekan gerakan anti poligami.
Kampanye mereka itu mulai dari yang
bersifat sindiran, pernyataan sinis sampai kepada yang langsung mencaci
maki, baik syariat Islam sebagai sebuah sistem hidup maupun pribadi
Rasulullah SAW.
Kambing hitam yang selalu disudutkan
tidak lain adalah syariat Islam. Menurut mereka, syariat Islam itu tidak
sesuai dengan jiwa keadilan, mendorong laki-laki mengumbar syahwat,
juga tidak berpihak kepada wanita yang selalu berada dalam posisi
terzhalimi. Sampai-sampai dengan sengaja mereka membuat tayangan
sinetron yang menggambarkan betapa hancurnya sebuah rumah tangga yang
melakukan poligami.
Lebih jauh lagi, mereka juga menuduh
bahwa Rasulullah SAW adalah budak nafsu, karena menikah dengan 12 orang
wanita.. Sehingga mereka menuduh bahwa nabi itu kerjanya tukang kawin
dan main perempuan. Nauzu billahi min zalik.
Dalam catatan sirah nabawiyah, Rasulullah SAW tercatat pernah menikahi 12 orang wanita.Yaitu :
- Khodijah binti Khuwailid RA, ia dinikahi oleh Rasulullah SAW di Mekkah ketika usia beliau 25 tahun dan Khodijah 40 tahun.
- Saudah binti Zam’ah RA, dinikahi oleh Rasulullah SAW pada bulan Syawwal tahun kesepuluh dari kenabian beberapa hari setelah wafatnya Khodijah. Ia adalah seorang janda yang ditinggal mati oleh suaminya yang bernama As-Sakron bin Amr.
- Aisyah binti Abu Bakar RA, dinikahi oleh Rasulullah SAW bulan Syawal tahun kesebelas dari kenabian.
- Hafsoh binti Umar bin Al-Khotob RA, beliau ditinggal mati oleh suaminya Khunais bin Hudzafah As-Sahmi, kemudian dinikahi oleh Rasulullah SAW pada tahun ketiga Hijriyah. Beliau menikahinya untuk menghormati bapaknya Umar bin Al-Khotob.
- Zainab binti Khuzaimah RA, dari Bani Hilal bin Amir bin Sho’sho’ah dan dikenal sebagai Ummul Masakin karena ia sangat menyayangi mereka. Sebelumnya ia bersuamikan Abdulloh bin Jahsy akan tetapi suaminya syahid di Uhud, kemudian Rasulullah SAW menikahinya pada tahun keempat Hijriyyah. Alasan beliau menikahinya adalah untuk menghormati Ummu Salamah dan memelihara anak-anak yatim tersebut.
- Zainab binti Jahsyi bin Royab RA, dari Bani Asad bin Khuzaimah dan merupakan puteri bibi Rasulullah SAW. Sebelumnya ia menikah dengan Zaid bin Harits kemudian diceraikan oleh suaminya tersebut. Ia dinikahi oleh Rasulullah SAW di bulan Dzul Qo’dah tahun kelima dari Hijrah.
- Juwairiyah binti Al-Harits RA, pemimpin Bani Mustholiq dari Khuza’ah. Ia merupakan tawanan perang yang sahamnya dimiliki oleh Tsabit bin Qais bin Syimas, kemudian ditebus oleh Rasulullah SAW dan dinikahi oleh beliau pada bulan Sya’ban tahun ke 6 Hijrah. Alasan beliau menikahinya adalah untuk menghormatinya dan meraih simpati dari kabilahnya (karena ia adalah anak pemimpin kabilah tersebut) dan membebaskan tawanan perang.
- Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan RA, sebelumnya ia dinikahi oleh Ubaidillah bin Jahsy dan hijrah bersamanya ke Habsyah. Suaminya tersebut murtad dan menjadi nashroni dan meninggal di sana. Ummu Habibbah tetap istiqomah terhadap agamanya. Alasan yang paling kuat adalah untuk menghibur beliau dan memberikan sosok pengganti yang lebih baik baginya. Serta penghargaan kepada mereka yang hijrah ke Habasyah karena mereka sebelumnya telah mengalami siksaan dan tekanan yang berat di Mekkah.
- Shofiyyah binti Huyay bin Akhtob RA, dari Bani Israel, ia merupakan tawan perang Khoibar lalu Rasulullah SAW memilihnya dan dimeredekakan serta dinikahinya setelah menaklukan Khoibar tahun 7 Hijriyyah. Pernakahan tersebut bertujuan untuk menjaga kedudukan beliau sebagai anak dari pemuka kabilah.
- Maimunah binti Al- Harits RA, saudarinya Ummu Al-Fadhl Lubabah binti Al-Harits. Ia adalah seorang janda yang sudah berusia lanjut, dinikahi di bulan Dzul Qa’dah tahun 7 Hijrah pada saat melaksanakan Umroh Qadho.
Kampanye itu rupanya berjalan sangat
efektif dalam menyudutkan Islam, karena mampu menggerakkan banyak
kalangan yang tidak sehat berpikir termasuk para aktifis wanita untuk
ikut-ikutan menyudutkan Islam. Dan dengan bahasa wanita, mereka terus
menggelembungkan semangat anti poligami sekaligus semangat anti Islam di
kalangan publik terutama di kalangan wanita.
Lucunya, sebagian dari tokoh agama yang
terlalu dekat dengan kalangan mereka pun ikut-ikutan menentang poligami,
lalu mensitir sekian ayat dan hadits yang diplintir sedemikian rupa
untuk menentang keabsahan poligami dalam Islam. Entah karena mau
dibilang moderat atau motivasi lainnya.
2. Poligami Sudah Ada jauh Sebelum Islam
2. Poligami Sudah Ada jauh Sebelum Islam
Padahal poligami itu bukan semata-mata
produk syariat Islam. Jauh sebelum Islam lahir di tahun 610 masehi,
peradaban manusia di penjuru dunia sudah mengenal poligami.
Dr. Yusuf Al-Qaradawi menuliskan bahwa di
masa lalu, peradaban manusia sudah mengenal poligami dalam bentuk yang
sangat mengerikan, karena seorang laki-laki bisa saja memiliki bukan
hanya 4 istri, tapi lebih dari itu. Ada yang sampai 10 bahkan ratusan
istri. Bahkan dalam kitab orang yahudi perjanjian lama, Daud disebutkan
memiliki 300 orang istri, baik yang menjadi istri resminya maupun
selirnya. (Dr. Yusuf Al-Qaradawi, Ruang lingkup Aktivitas Wanita
Muslimah, hal. 184)
Dalam Fiqhus-Sunnah, As-Sayyid Sabiq
dengan mengutip kitab Hak-hak Wanita Dalam Islam karya Ustaz Dr. Ali
Abdul Wahid Wafi menyebutkan bahwa poligami bila kita runut dalam
sejarah sebenarnya merupakan gaya hidup yang diakui dan berjalan dengan
lancar di pusat-pusat peradaban manusia. Bahkan bisa dikatakan bahwa
hampir semua pusat peradaban manusia (terutama yang maju dan berusia
panjang) mengenal poligami dan mengakuinya sebagai sesuatu yang normal
dan formal. Para ahli sejarah mendapatkan bahwa hanya peradaban yang
tidak terlalu maju saja dan tidak berusia panjang yang tidak mengenal
poligami.
Bahkan agama nasrani sekalipun mengenal
dan mengajarkan poligami. Berbeda dengan apa yang sering mereka
ungkapkan hari ini, namun Nabi Isa dan para pengikutnya mengajarkan dan
mengakui poligami. Masih menurut ahli sejarah, karena saat itu
penyebaran nasrani terjadi di romawi dan yunani, sementara kedua
peradaban ini memang tidak mengenal poligami, jadilah akhirnya
seolah-olah agama nasrani itu melarang poligami. Sesuatu yang sebenarnya
bertentangan dengan sumber asli ajaran mereka sendiri.
Ustaz As-Sayyid Sabiq menyebutkan bahwa
peradaban maju seperti Ibrani yang melahirkan bangsa yahudi mengenal
poligami. Begitu juga dengan peradaban Shaqalibah yang melahirkan bangsa
Rusia, Lituania, Ustunia, Chekoslowakia dan Yugoslavia semuanya sangat
mengenal poligami. Begitu juga dengan Bangsa Jerman, Swis, Saksonia,
Belgia, Belanda, Denmark, Swedia, Norwegia dan Enggris. Jadi pendapat
bahwa poligami itu hanya produk hukum Islam adalah tidak benar. Begitu
juga dengan bangsa Arab sebelum Islam, mereka pun mengenal poligami.
Dalam salah satu hadits disebutkan bahwa ada seorang masuk islam dan
masih memiliki 10 orang istri. Lalu oleh Rasulullah SAW diminta untuk
memilih empat saja dan selebihnya diceraikan. Beliau bersabda,”Pilihlah 4
orang dari mereka dan ceraikan sisanya”. (Hadits itu adalah hadits
Iibnu Umar yang diriwayatkan oleh At-tirmizy hadits no. 1128, oleh Ibnu
Majah hadits no. 1953)
Masih menurut beliau, poligami itu bukan
hanya milik peradaban masa lalu dunia, tetapi hari ini masih tetap
diakui oleh negeri dengan sistem hukum yang bukan Islam seperti Afrika,
India, China dan Jepang.
Sehingga jelaslah bahwa poligami adalah
produk umat manusia, produk kemanusiaan dan produk peradaban besar
dunia. Islam hanyalah salah satu yang ikut di dalamnya dengan memberikan
batasan dan arahan yang sesuai dengan jiwa manusia.
Islam datang dalam kondisi dimana
masyarakat dunia telah mengenal poligami selama ribuan tahun dan telah
diakui dalam sistem hukum umat manusia. Justru Islam memberikan aturan
agar poligami itu tetap selaras dengan rasa keadilan dan keharmonisan.
Misalnya dengan mensyaratkan adanya keadilan dan kemampuan dalam nafkah.
Begitu juga Islam sebenarnya tidak membolehkan poligami secara mutlak,
sebab yang dibolehkan hanya sampai empat orang istri. Dan segudang
aturan main lainnya sehingga meski mengakui adanya poligami, namun
poligami yang berkeadilan sehingga melahirkan kesejahteraan.
3. Barat Adalah Pendukung Poligami Yang Tidak Manusiawi
Dan kini karena masyarakat barat banyak
menganut agama nasrani, ditambah lagi latar belakang budaya mereka yang
berangkat dari romawi dan yunani kuno, maka mereka pun ikut-ikutan
mengharamkan poligami. Namun anehnya, sistem hukum dan moral mereka
malah membolehkan perzinahan, homoseksual, lesbianisme dan gonta ganti
pasangan suami istri. Padahal semua pasti tahu bahwa poligami jauh lebih
beradab dari semua itu. Sayangnya, ketika ada orang berpoligami dan
mengumumkan kepoligamiannya, semua ikut merasa `jijik`, sementara ketika
hampir semua lapisan masyarakat menghidup-hidupkan perzinahan,
pelacuran, perselingkuhan, homosek dan lesbianisme, tak ada satu pun
yang berkomentar jelek. Semua seakan kompak dan sepakat bahwa perilaku
bejat itu adalah `wajar` terjadi sebagai bagian dari dinamika kehidupan
modern.
Dr. Yusuf Al-Qaradawi mengatakan bahwa
pada hakikatnya apa yang dilakukan oleh Barat pada hari ini dengan
segala bentuk pernizahan yang mereka lakukan tidak lain adalah salah
satu bentuk poligami juga meski tidak dalam bentuk formal.
Dan kenyataaannya mereka memang terbiasa
melakukan hubungan seksual di luar nikah dengan siapapun yang mereka
inginkan. Di tempat kerja, hubungan seksual di luar nikah menjadi
sesuatu yang lazim dilakukan mereka baik sesama teman kerja, antara
atasan dan bawahan atau pun klien mereka. Ditempat umum mereka terbiasa
melakukan hubungan seksual di luar nikah baik dengan wanita penghibur,
pelayan restoran, artis dan selebritis. Di sekolah pun mereka menganggap
wajar bila terjadi hubungan seksual baik sesama pelajar, antara pelajar
dengan guru atau dosen, antar karyawan dan seterusnya. Bahkan di dalam
rumaah tangga pun mereka menganggap boleh dilakukan dengan tetangga,
pembantu rumah tangga, sesama angota keluarga atau dengan tamu yang
menginap. Semua itu bukan mengada-ada karena secara jujur dan polos
mereka akui sendiri dan tercermin dalam film-film hollywood dimana
hampir selalu dalam setiap kesempatan mereka melakukan hubungan seksual
dengan siapa pun.
Jadi peradaban barat membolehkan poligami
dengan siapa saja tanpa batas, bisa dengan puluhan bahkan ratusan orang
yang berlainan. Dan sangat besar kemungkinannya mereka pun telah lupa
dengan siapa saja pernah melakukannya karena saking banyaknya. Dan semua
itu terjadi begitu saja tanpa pertanggung-jawaban, tanpa ikatan, tanpa
konsekuensi dan tanpa pengakuan. Apabila terjadi kehamilan, sama sekali
tidak ada konsekuensi hukum untuk mewajibkan bertanggung-jawab atas
perbuatan itu. Poligami tidak formal alias seks di luar nikah itu
alih-alih dilarang, malah sebaliknya dilindungi dan dihormati sebagai
hak asasi. Lucunya, banyak negara yang mengharamkan poligami formal yang
mengikat dan menuntut tanggung jawab, sebaliknya seks bebas yang tidak
lain merupakan bentuk poligami yang tidak bertanggung jawab malah
dibebaskan, dilindungi dan dihormati.
Untuk kasus ini, Syiekh Abdul Halim
Mahmud menceritakan sebuah kejadian lucu yang terjadi di sebuah negeri
sekuler di benua Afrika. Ada seorang tokoh Islam yang menikah untuk
kedua kalinya (berpoligami) secara syah menurut aturan syar`i. Namun
berhubungan negeri itu melarang poligami secara tegas, maka pernikahan
itu dilakukan tanpa melaporkan kepada pemerintah. Rupanya, inteljen
sempat mencium adanya pernikah itu dan setelah melakukan pengintaian
intensif, dikepunglah rumah tokokh ini dan diseretlah dia ke pengadilan
untuk dijatuhi hukuman seberat-beratnya. Melihat situasi yang timpang
seperti ini, maka akal digunakan. Tokoh ini dengan kalem menjawab bahwa
wanita yang ada di rumahnya itu bukan istrinya, tapi teman
selingkuhannya. Agar tidak ketahuan istri pertamanya, maka mereka
melakukannya diam-diam. Mendengar pengakuannya, kontak pihak pengadilan
atas nama pemerintah meminta maaf yang sebesar-besarnya atas
kesalah-pahaman itu. Dan memulangkannya dengan baik-baik serta tidak
lupa tetap meminta maaf atas insiden itu. (Dr. Yusuf Al-Qaradawi, Ruang
lingkup Aktivitas Wanita Muslimah, hal. 213-214)
4. Tujuan dan Syarat Poligami Dalam Islam
Poligami atau dikenal dengan ta`addud
zawaj pada dasarnya mubah atau boleh. Bukan wajib atau anjuran. Karena
melihat siyaq ayatnya memang mensyaratkan harus adil. Dan keadilan itu
yang tidak dimiliki semua orang.
Allah berfirman :
Dan jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil terhadap perempuan yang yatim, maka kawinilah wanita-wanita
yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil , maka seorang saja , atau budak-budak
yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya.(QS. An-Nisa : 3)
Jadi syarat utama adalah adil terhadapat
istri dalam nafkah lahir dan batin. Jangan sampai salah satunya tidak
diberi cukup nafkah. Apalagi kesemuanya tidak diberi cukup nafkah, maka
hal itu adalah kezaliman.
Sebagaimana hukum menikah yang bisa
memiliki banyak bentuk hukum, maka begitu juga dengan poligami, hukumnya
sangat ditentukan oleh kondisi seseorang, bahkan bukan hanya kondisi
dirinya tetapi juga menyangkut kondisi dan perasaan orang lain, dalam
hal ini bisa saja istrinya atau keluarga istrinya. Pertimbangan orang
lain ini tidak bisa dimentahkan begitu saja dan tentunya hal ini sangat
manusiawi sekali.
Karena itu kita dapati Rasulullah SAW
melarang Ali bin abi Thalib untuk memadu Fatimah yang merupakan putri
Rasulullah SAW. Sehingga Ali bin Abi Thalim tidak melakukan poligami.
Kalau hukum poligami itu sunnah atau
dianjurkan, maka apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW untuk melarang
Ali berpoligami akan bertentangan.
Selain itu yang sudah menjadi syarat
paling utama dalam pertimbangan poligami adalah masalah kemampuan
finansial. Biar bagaimana pun ketika seorang suami memutuskan untuk
menikah lagi, maka yang harus pertama kali terlintas di kepalanya adalah
masalah tanggung jawab nafkah dan kebutuhan hidup untuk dua keluarga
sekaligus. Nafkah tentu saja tidak berhenti sekedar bisa memberi makan
dan minum untuk istri dan anak, tapi lebih dari itu, bagaiman dia
merencakan anggaran kebutuhan hidup sampai kepada masalah pendidikan
yang layak, rumah dan semua kebutuhan lainnya.
Ketentuan keadilan sebenarnya pada
garis-garis umum saja. Karena bila semua mau ditimbang secara detail
pastilah tidak mungkin berlaku adil secara empiris. Karena itu dibuatkan
garis-garis besar seperti maslaah pembagian jatah menginap. Menginap di
rumah istri harus adil. Misalnya sehari di istri tua dan sehari di
istri muda. Yang dihitung adalah malamnya atau menginapnya, bukan
hubungan seksualnya. Karena kalau sampai hal yang terlalu mendetail
harus dibuat adil juga, akan kesulitan menghitung dan menimbangnya.
Secara fitharah umumnya, kebutuhan
seksual laki-laki memang lebih tinggi dari wanita. Dan secara faal,
kemampuan seksual laki-laki memang dirancang untuk bisa mendapatkan
frekuensi yang lebih besar dari pada wanita.
Nafsu birahi setiap orang itu
berbeda-beda kebutuhannya dan cara pemenuhannya. Dari sudut pandang
laki-laki, masalah `kehausan` nafsu birahi sedikit banyak dipengaruhi
kepada kepuasan hubungan seksual dengan istri. Bila istri mampu
memberikan kepuasan skesual, secara umum kehausan itu bisa terpenuhi dan
sebaliknya bila kepuasan itu tidak didapat, maka kehausan itu bisa-bisa
tak terobati. Akhirnya, menikah lagi sering menjadi alternatif solusi.
Umumnya laki-laki membutuhkan kepuasan
seksual baik dalam kualitas maupun kuantitas. Namun umumnya kepuasan
kualitas lebih dominan dari pada kepuasan secara kuantitas. Bila
terpenuhi secara kualitas, umumnya sudah bisa dirasa cukup. Sedangkan
pemenuhan dari sisi kuantitas saja sering tidak terlau berarti bila
tidak disertai kualitas, bahkan mungkin saja menjadi sekedar rutinitas
kosong. Lagi-lagi menikah lagi sering menjadi alternatif solusi.
Secara pisik, terkadang memang ada
pasangan yang agak ekstrim. Dimana suami memiliki kebutuhan kualitas dan
kuantitas lebih tinggi, sementara pihak istri kurang mampu
memberikannya baik dari segi kualitas dan juga kuantitas.
Ketidak-seimbangan ini mungkin saja terjadi dalam satu pasangan suami
istri. Namun biasanya solusinya adalah penyesuaian diri dari
masing-masing pihak. Dimana suami berusaha mengurangi dorongan kebutuhan
untuk kepuasan secara kualitas dan kuantitas. Dan sebaliknya istri
berusaha meningkatkan kemampuan pelayanan dari kedua segi itu. Nanti
keduanya akan bertemu di satu titik.
Tapi kasus yang ekstrim memang mungkin
saja terjadi. Suami memiliki tingkat dorongan kebutuhan yang melebihi
rata-rata, sebaliknya istri memiliki kemampuan pelayanan yang justru di
bawah rata-rata. Dalam kasus seperti ini memang sulit untuk mencari
titik temu. Karena hal ini merupakan fithrah alamiah yang ada begitu
saja pada masing-masing pihak. Dan kasus seperti ini adalah alasan yang
paling logis dan masuk akal untuk terjadinya penyelewengan, selingkuh,
prostitusi, pelecehan seksual dan perzinahan.
Sehingga jauh-jauh hari Islam sudah
mengantisipasi kemungkinan terjadinya fenomena ini dengan membuka pintu
untuk poligami dan menutup pintu ke arah zina. Dari pada zina yang
merusak nilai kemanusiaan dan harga diri manusia, lebih baik kebutuhan
itu disalurkan lewat jalur formal dan legal. Yaitu poligami.
Dan kenyataanya, angka kasus sejenis
lumayan banyak. Namun antisipasinya sering terlihat kurang cerdas bahkan
mengedepankan ego. Hukum agama nasrani jelas-jelas melarang poligami
yang legal. Begitu juga hukum positif di banyak negeri umumnya cenderung
menganggap poligami itu tidak bisa diterima. Apalagi hukum non formal
yang berbentuk penilaian masyarakat yangumumnya juga menganggap poligami
itu hina dan buruk.
Secara tidak sadar semuanya lebih
memaklumi kalau dalam kasus seperti yang kita bicarakan ini, solusinya
adalah ZINA dan bukan poligami. Nah, inilah terjungkir baliknya
nilai-nilai agama yang dikalahkan dengan rasa dan selera subjektif hawa
nafsu manusia.
5. Berlebihan Dalam Memahami Masalah Poligami Dalam Islam
Ada orang yang terlalu berlebihan dalam
memahami kebolehan poligami dalam Islam. Dan sebaliknya, ada kalangan
yang berusaha mengahalang-halangi terjadinya poligami dalam Islam, meski
tidak sampai menolak syariatnya.
a. Pihak yang berlebihan
Menurut kalangan ini, poligami adalah
perkara yang sangat utama untuk dikerjakan bahkan merupakan sunnah
muakkadah dan pola hidup Rasulullah SAW. Kemana-mana mereka selalu
mendengungkan poligami hingga seolah hamir mendekati wajib.
Pemahaman keliru seperti itu sering
menggunakan ayat poligami yang memang bunyinya seolah seperti
mendahulukan poligami dan bila tidak mampu, barulah beristri satu saja.
Istilahnya, poligami dulu, kalau tidak mampu, baru satu saja.
“Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu
senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil, maka seorang saja , atau budak-budak yang kamu
miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya.(QS. An-Nisa : 3)
Padahal makna ayat itu sama sekali tidak
demikian. Karena meski sepintas ayat itu kelihatan mendahulukan poligami
lebih dahulu, tapi dalam kenyataan hukum hasil dari istinbath para
ulama dengan membandingkannya dengan dalil-dalil lainnya menunjukan bahw
poligami merupakan jalan keluar atau rukhshah (bentuk keringanan) atas
sebuah kebutuhan. Bukan menempati posisi utama dalam masalah pernikahan.
Alasan agar tidak jatuh ke dalam zina adalah alasan yang ma`qul dan
sangat bisa diterima. Karena Allah SWT memang memerintahkan agar seorang
mukmin menjaga kemaluannya.
Allah SWT berfiramn :
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, (QS. Al-Mukminun : 5)
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang
beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. (QS. An-Nur
: 30)
Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, (QS. Al-Ma`arij : 29)
Bila satu istri saja masih belum bisa
menahan gejolak syahwatnya, sementara secara nafkah dia mampu berbuat
adil, bolehlah seseorang untuk menikah lagi dengan niat menjaga
agamanya. Bukan sekedar memuaskan nafsu syahwat saja.
Bentuk kekeliruan yang lain adalah rasa
terlalu optimis atas kemampuan menanggung beban nafkah. Padahal Islam
tetap menutut kita berlaku logis dan penuh perhitungan. Memang rezeki
itu Allah SWT yang memberi, tapi rezeki itu tidak datang begitu saja.
Bahkan untuk orang yang baru pertama kali
menikah pun, Rasulullah SAW mensyaratkan harus punya kemampuan
finansial. Dan bila belum mampu, maka hendaknya berpuasa saja.
Jangan sampai seseorang yang
penghasilannya senin kamis, tapi berlagak bak seorang saudagar kaya yang
setiap hari isi pembicaraannya tidak lepas dari urusan ta`addud. Ini
jelas sangat `njomplang`, jauh asap dari api.
b. Pihak yang mencegah poligami
Di sisi lain, ada kalangan yang menentang
poligami atau paling tidak kurang bersimpati terhadap poligami. Mereka
pun sibuk membolak balik ayat Al-Quran Al-Karim dan Sunnah Rasulullah
SAW untuk mencari dalih yang bisa melarang atau minimal memberatkan
jalan menuju poligami.
Misalnya dengan mengikat seorang suami
untuk janji tidak menikah lagi ketika melangsungkan pernikahan
pertamanya. Janji itu diqiyaskan dengan sighat ta’liq yang bila
dilanggar maka istrinya diceraikan.
Menanggapi hal ini, para ulama berbeda
pendapat tentang syarat tidak boleh melakukan poligami bagi suami yang
diajukan oleh isterinya pada saat aqad nikah. Apakah pensyaratan
tersebut dibolehkan atau tidak?
Sebahagian ulama menyatakan bahwa
pensyaratan tersebut diperbolehkan, sedangkan yang lain berpendapat hal
tersebut dimakruhkan tetapi tidak haram. Karena dengan adanya
pensyaratan tersebut maka suami akan merasa terbelenggu yang pada
akhirnya akan menimbulakn hubungan yang kurang harmonis di antara
keduanya.
Lantas bagaimana sikap suami, apakah
harus memenuhi syarat tersebut atau tidak? Ada dua pendapat ulama.
Pendapat pertama menyatakan bahwa hukum memenuhi pensyaratan tersebut
hanya sunah saja dan tidak wajib. Oleh karena itu suami bisa saja
menikah dengan wanita yang lain. Hal tersebut berdasarkan sabda
Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Aisyah RA.
“Barangsiapa yang mensyaratkan suatu
syarat yang tidak terdapat dalam kitab Allah, maka ia tidak berhak
melakukannya (Dan tidak perlu dipenuhi), meskipun ia mensyaratakan
seratus persyaratan. Persyaratan Allah-lah yang lebih berhak dan lebih
kuat” (HR Bukhori/Fathul Bari 6/115)
Ali bin Abi Tholib pernah berkata:
“Syarat Allah sebelum syaratnya (wanita tersebut)”. Ibun Abdil Barr
mengomentari bahwa Allah telah membolehkan melarang apa yang engkau
kehendaki dengan sejumlah syarat, sedangkan apa yang Allah perbolehkan
adalah lebih utama” (At-Tamhid 18/168-169)
Pendapat kedua menyatakan bahwa suami
wajib memenuhi persyaratan isterinya tersebut disebabkan pensyaratan
tersebut adalah syah secara agama. Oleh karena itu ia tidak boleh
melakukan poligami. Hal tersebut berdasarkan hadis :
“Pensyaratan yang paling utama untuk
dipenuhi adalah syarat yang menghalakan terjadinya hubungan badan” (HR
Muslim 3/573, Tirmidzi No. 1124, Abu Daud 2139, Nasa’i 6/93 dan Ibnu
Majah No. 1954)
Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa
Nabi SAW bersabda :”Orang-orang muslim itu berdasarkan syarat-syarat
mereka (yang disepakati) kecuali syarat yang menghalakan yang haram atau
syarat yang mengharamkan yang halal” (HR. Muslim 2/1036)
Pendapat kedua ini dipegang oleh sejumlah
sahabat dan ulama antara lain Umar bin Al-Khottob, Amr bin Al-Ash,
Syuraikh Al-Qodhi, Ishaq, Imam Ahmad, Ibnu Taimiyyah dan lain-lain
(Jami’ Ahkamun-Nisaa III/361-370)
Ada bentuk lain lagi dalam perkara
mengahalangi poligami, yaitu mereka mengatakan bahwa Rasulullah SAW
tidak pernah melakukan poligami kecuali hanya kepada janda saja. Tidak
pernah kepada wanita yang perawan. Memang ketika menikahi Aisyah ra,
status Rasulullah SAW adalah seorang duda yang ditinggal mati istrinya.
Dalam menjawab masalah ini, sebenarnya
syarat harus menikahi wanita yang berstatus janda bukanlah syarat untuk
poligami. Meski Rasulullah SAW memang lebih banyak menikahi janda
ketimbang yang masih gadis. Namun hal itu terpulang kepada pertimbangan
teknis di masa itu yang umumnya untuk memuliakan para wanita atau
mengambil hati tokoh di belakang wanita itu. Pertimbangan ini tidak
menjadi syarat untuk poligami secara baku dalam syariat Islam.
Sebagian kalangan juga ingin menghalangi
poligami dengan dasar bahwa syarat berlaku adil dalam Al-Quran Al-Karim
adalah sesuatu yang tidak mungkin bisa dilakukan. Dengan demikian, maka
poligami dilarang dalam Islam.
Padahal, meski ada ayat yang demikian,
yang dimaksud dengankeadilantidak dapat dilakukan adalah keadilan yang
bersifat menyeluruh baik materi maupun ruhi. Sementara keadilan yang
dituntut dalam sebuah poligami hanay sebatas keadilan secara sesuatu
yang bisa diukur dan lebih bersifat materi. Sedangkan masalah cinta
dalam dada, sangat sulit untuk diidentifikasi. Namun demikian,
Rasulullah SAW mengancam orang yang berlaku tidak adil kepada istrinya
dengan ancaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan komentar...