Rabu, 19 September 2012

NABI MUHAMMAD SAW DIHINA : BEREAKSI ATAU BIARKAN SAJA??



Setelah Geert Wilders, Sergey Aslanyan, Jasmine, Terry Jhons dan masih banyak lagi, kini muncul lagi Sam Bacile dengan video penghinaan pada Nabi Muhammad SAW berjudul “Innocence of Muslims.” Reaksi kemarahan umat Islam sedunia sudah ditunjukkan di berbagai negara yang meluas menjadi isu politik global. Di samping gemuruh sikap protes itu, sikap pro kontra pun muncul. Yang menarik adalah di kalangan intern umat Islam sendiri: perlukah bereaksi keras seperti itu? Atau cukup diamkan saja? Toh hinaan-hinaan dan pelecehan itu akan berhenti dengan sendirinya? Bukankah bila disikapi dengan diam tak terpancing, kaum Muslim akan lebih simpatik dan mulia? Di kalangan Muslim, muncul sikap-sikap dan pandangan yang mencontoh kemuliaan Nabi SAW: biarkan saja, sabar, tawakal, lebih baik do’akan, tidak perlu reaktif, tak perlu emosional, jangan ikut-ikut terpancing, balas dengan film lagi, dll.

Sikap dan pandangan seperti itu menggoda saya untuk berefleksi lebih jauh: Benarkah sikap seperti itu? Ketika Nabi Muhammad SAW yang dihormati, dimuliakan dan diagungkan dihina, mana sebenarnya sikap yang lebih baik? Bereaksi atau biarkan saja??

Sikap-sikap ‘mulia’ itu semua pada kasus penghinaan Nabi Muhammad SAW, seperti baik dan benar, padahal sebenarnya pemahaman yang salah.

Pertama, diam adalah tanda kelemahan, mending kalau hanya sikap diri, ngajak orang untuk diam, lebih lemah lagi karena berarti menularkan kelemahan pada banyak orang. Sudah banyak orang tahu, sabar itu bukan diam, tapi berusaha maksimal merubah diri dan situasi. Sabar bila salah konteksnya akan salah kaprah.

Kedua, Nabi SAW menyatakan, “idza ra-a minkum munkaran falyughayirhu biyadihi, wa inlam yastati’ fa bilisanihi, wa inlam yastati’ fa bi qalbihi, fahuwa ad’aaful ‘iiman” (HR. Muslim). Bila terjadi kemungkaran diantara kalian cegahlah dengan tangan (perbuatan), –ada yang menafsirkan kekuasaan pemerintah– kalau tidak sanggup dengan lisan (ucapan), bila juga tidak sanggup, cukup membenci dalam hati, tapi itu “adh’aful iman” (selemah-lemahnya iman). Apakah penghinaan pada Nabi termasuk kemunkaran? Bukan lagi kemunkaran itu adalah permusuhan karena dilakukan oleh non-Muslim. Muslim tidak dibenarkan memusuhi orang lain, tapi bila dimusuhi tidak boleh lemah. Muslim tidak dibenarkan menyerang (kecuali dalam perang), tapi bila diserang tidak boleh mundur.

Ketiga, untuk melitigimasi sikap diam, sabar dan tak perlu bereaksi, banyak dikutip kisah-kisah kemuliaan akhlak Nabi SAW. Salah satunya, ada kisah ketika Nabi ketika sedang berkumpul dengan para sahabatnya di Masjid Nabawi, tiba-tiba seorang Badui gurun datang dan langsung masuk masjid dan mengikatkan kuda di salah satu tiang masjid. Si Badui turun dari kuda tanpa melepas terompahnya dan bertanya: “Saya mencari Muhammad”. Melihat ulah si Badui, Umar bin Khattab marah dan meminta izin untuk menghajar si Badui, tapi dilarang oleh Nabi SAW. Kemudian, si Badui menuju ke salah satu sudut masjid dan kencing disitu. Umar makin marah dan meminta izin untuk memenggal leher si Badui. Lagi-lagi, Nabi kita yang mulia melarangnya. Selesai buang air kecil, si Badui mendatangi kumpulan Nabi dan bertanya; “Siapa di antara kalian yang bernama Muhammad?” Nabi berdiri dan menjawab: “Sayalah Muhammad, Rasulullah. Ada apa?”Jawaban yang santun dari Nabi ternyata membuat Badui tidak hanya tertegun, karena pikirnya Nabi Muhammad akan marah. Melihat sikap lembut Nabi, si Badui yang merupakan kepala rombongan dari kelompoknya itu, langsung menyatakan: “Asyhadu alla ilaha illallah, Muhammad Rasulullah” yang kemudian diikuti oleh rombongan Badui. Setelah itu, Nabi bertanya kepada Umar: “Andai saja tadi kamu saya izinkan memenggal kepalanya, apa yang akan terjadi?” Umar diam, dan justru para sahabat itu disuruh membersihkan bekas buang air kecil si badui.

Kita lihat dalam kisah itu, Nabi, Umar dan para sahabat tidak ada yang diam, semuanya bereaksi. Hanya reaksinya dibawah dikontrol Nabi. Mengapa Nabi membiarkan? Karena Nabi sudah membaca, untuk orang keras seperti si Badui, metodenya harus dengan kelembutan, dia akan luluh hatinya dan terbukti benar. Nabi mencegah Umar bukan menyalahkannya, tapi menerapkan metode Nabi yang lebih tepat. Bayangkan, bila saat si Baduy masuk masjid dengan tidak sopan dan kencing, lalu para sahabat hanya diam saja. Pasti Nabi akan memarahi mereka. “Mana pembelaan kalian pada agama dan Nabimu?” Kemarahan sahabat adalah pembelaan, kecintaan dan aset Nabi, tapi Nabi memenejnya dengan sempurna dan semua sahabat taat.

Keempat, kita harus membedakan antara “kesadaran pada diri” dan “kesadaran pada orang lain.” Substansi kedua ini jauh berbeda dan memiliki dampak salah kaprah yang luas. Contohnya begini. Nabi SAW dihina, sikapnya mulia: sabar, tawakkal dan mendo’akan. Kita pun bila dihina, harus berusaha mencontoh Nabi, bersikap mulia seperti itu. Tapi, sikap kita pada Nabi yang dihina, jangan seperti Nabi menyikapi dirinya. Kita umatnya, jangan menggunakan kesadaran Nabi untuk dirinya, gunakanlah kesadaran kita pada Nabi yaitu membelanya dengan penuh rasa cinta. Maka, diam, sabar dan tawakkal saat Nabi dihina dan dilecehkan adalah salah kaprah. Sabar dan tawakkal itu bila hinaannya untuk kita. Perbedaan dua kesadaran ini jarang disadari oleh kebanyakan orang. “Kesadaran pada diri” jangan diterapkan atau diproyeksikan pada orang lain. Akan salah kaprah. Sabar dan tawakkal jangan menjadi sikap kita saat hinaan itu datang pada Nabi, orang tua atau guru kita. Sabar dan tawakkal itu bila hinaan pada diri kita, sebagaimana Nabi pada dirinya.

Di sisi lain, diam, sabar, membalas dengan kebaikan, tak perlu reaktif, tidak emosional, mendo’akan dll saat Nabi Muhammad SAW dihina, itu kualitas diri Nabi. Nabi harus begitu, masa Nabi pemarah dan pendendam? Nabi diberi kemampuan dan kualitas akhlak seperti itu karena ia teladan umat. Kita? Seperti dijelaskan di atas, salah kalau harus seperti Nabi karena kita bukan nabi dan kualitas kita tidak seperti Nabi. Yang tepat adalah Nabi bersikap mulia, kita membelanya sesanggup mungkin. Bila kita memuliakan diri seperti Nabi –dan tak akan pernah bisa– ya salah dan bisa celaka. Bayangkan, ibu kita dihina orang di depan kita, ibu kita sabar dan tidak marah. Kita sebagai anaknya, ikut seperti ibu, diam dan tak bereaksi apa-apa mendengar hinaan pada ibu. Itu bukan anak yang baik, tapi anak tak tahu diri. Walaupun mungkin ibu tidak suka reaksi kita, bagi anaknya, menghajar si penghina lebih mulia daripada bersikap seperti ibu. Itu menunjukkan sikap pembelaan dan kecintaan. Begitulah seharusnya semangat anak pada ibunya. Itu pada orang tua, pada Nabi harus lebih dari itu karena Nabi sendiri menyatakan, “Tidak beriman seorang di antara kamu sehingga aku lebih ia cintai daripada bapaknya sendiri, anaknya sendiri dan seluruh manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kelima, yang bahaya adalah, kita tidak memiliki semangat pembelaan pada Nabi SAW dengan berlindung dibalik kisah-kisah kemuliaan Nabi. Sikap begitu, bukan mulia, tapi tergolong pengecut dan sebagai kelemahan iman, apalagi menghadapi para penghina Nabi dewasa ini yang sudah sangat keterlaluan.

Jadi, yang normal, wajar dan benar sebagai umat adalah kita bereaksi dengan semangat dan melawan sebisa mungkin menunjukkan pembelaan pada Nabi tercinta. Minimal dengan sikap, ucapan atau tulisan yang menunjukkan kekesalan dan kemarahan kita. Tujuannya, untuk menunjukkan kekuatan dan memberi pelajaran bahwa umat Islam bukan umat yang lemah dan mudah dipermainkan. Dengan begitu, makna keberimanan dan makna sebagai “umat Nabi” akan terasa. Agama adalah persoalan makna bukan semata-mata rasional. Kalau hanya diam, tidak tersentuh dan terpanggil untuk ikut bereaksi, bahayanya bisa termasuk “qalbun mayit” (hati yang mati). Jadi, pada penghinaan-penghinaan Nabi SAW, umat Islam harus bereaksi dan tujukkan sikap yang wajar dan proporsional. Yang harus digarisbawahi adalah jangan destruktif, merusak benda yang ada di sekeliling, apalagi mengorbankan orang yang tak berdosa.[] Wallahu a’lam!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan komentar...

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...